Foto: Istimewa
Jakarta (TROBOSAQUA). Berdasarkan data yang telah diolah, ucap Samiono Abdullah, Direktur CV Wahana Sejahtera Foods, sebelum pandemi, sentra produksi budidaya patin di Indonesia hampir 60% nya ada di Sumatera. “Di Kalimantan sentra produksi patin sebanyak 20-25%. Sisanya di Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim), Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT),” terang Samiono dalam webinar Seafood Course Industries Seri 6 beberapa waktu lalu.
Sementara itu, unit pengolahan ikan (UPI) yang mengolah patin dan sudah bersertifikat GMP (Good Manufacturing Practice) saat ini sebanyak 126 unit. Pada 2012, sebut Samiono, ketika awal industri patin digagas, jumlahnya (UPI bersertifikat) hanya sekitar 14 unit. “Dari sini tampak adanya perkembangan atau adanya ledakan yang luar biasa dari para pengusaha untuk masuk ke dalam industri ini,” lanjut praktisi patin di Jatim ini.
Ia kemudian menjelaskan tentang pola penyebaran dari total perusahaan yang tersertifikasi. Terangnya, mayoritas pabrik pengolahan patin berada di Jatim yakni sebanyak 46% (58 unit). Selanjutnya di Jakarta dan Jabar 26,2% (33 unit), Riau dan Lampung 8,7% (11 unit), Sumatera Utara 5,6% (7 unit), Jateng dan Jogjakarta 4,8 % (6 unit). Kemudian, NTB dan NTT 4% (5 unit), Sulawesi 4% (5 unit) dan Kalimantan 0,8% (1 unit).
Kemudian muncul pertanyaan, lanjut Samiono. “Kenapa industri patin kita masih belum bisa bersaing dengan produk patin atau sejenisnya yang berasal dari Vietnam?,” ia bertanya retoris. Dengan cepat Samiono melanjutkan penjelasannya kembali kepada peserta webinar yang disiarkan oleh MPHPI (Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia) ini.
“Alasan pertamanya adalah output budidaya dan kapasitasnya masih tidak seimbang. Kedua, kualitas warna dan aroma produk hasil produksi masih belum memenuhi persyaratan atau kelayakan untuk permintaan industri. Ketiga, teknologi yang masih kalah. Lalu, harga jual kita yang masih lebih tinggi, dan beberapa alasan lainnya lagi,” urai Samiono.edt/dian