Memetakan Arah ‘Jalan’ Windu

Memetakan Arah ‘Jalan’ Windu

Foto: istimewa


Sejak ‘terpinggirkan’ udang vannamei, pamor windu masih kurang sebagai komoditas ‘prioritas’, walau tetap menjadi produk ‘berkualitas’ di mata para ‘pemujanya’

 

Sebagai salah satu komoditas native (asli) di kawasan perairan Indonesia, udang windu (Penaeus monodon) nasibnya tidak jauh berbeda dengan beberapa komoditas native perikanan konsumsi. Dalam berbagai sumber yang dikutip Pantjara et al (2024), perkembangan budidaya windu tergolong lambat dibandingkan dengan udang vannamei (Litopenaeus vannamei). Permasalahan yang sering dijumpai dalam budidaya windu di tambak adalah minimnya ketersediaan benih yang bermutu dan berkesinambungan. 

 

Berdasarkan data terkait dengan perkembangan budidaya, secara total produksi udang windu berdasarkan data statistik KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) pada 2021 telah diproduksi sebanyak 133.676 ton menurun menjadi 128.573 ton pada 2022 atau hanya 15,3% dari total produksi udang secara nasional. Produksi tersebut masih didominasi dari hasil tambak teknologi sederhana yaitu 90%, teknologi semi intensif 7% dan teknologi intensif 3%. 

 

TROBOS Aqua dalam edisi 133 lalu mengangkat isu yang sama dengan pernyataan yang tak jauh berbeda. Mengutip keterangan Direktur Perbenihan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat itu, Nono Hartanto, upaya membangkitkan windu belum sepenuhnya mulus dan membuahkan hasil. Ia menyatakan, budidaya/bisnis udang windu belum bisa dikatakan bangkit dalam arti sesungguhnya. 

 

Menurut Agus Nawang, peneliti Pusat Riset Perikanan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), beberapa tahun sebelumnya salah satu program prioritas pemerintah melalui KKP adalah peningkatan produksi udang 2 juta ton pada 2024. Yang diantaranya adalah jenis windu. 

Untuk itu, terangnya, bentuk dukungan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) KKP yang memiliki tugas fungsi riset telah fokus menjalankan penelitian terkait dengan udang windu. Dimana, dengan target utamanya diantaranya adalah domestikasi untuk menghasilkan benih dan induk udang windu strain unggul. 

 

“Namun sejalan dengan waktu, dengan adanya dinamika organisasi bahwa program riset dan inovasi, tepatnya pada 2022 harus diintegrasikan di satu lembaga khusus yang menjalankan tugas fungsi riset. Sehingga kegiatan penelitian yang sudah dirintis sejak belasan tahun sebelumnya di kementerian terhenti. Adapun penelitian udang windu yang berjalan saat ini sangat terbatas, dan sangat terkendala dari segi ketersediaan fasilitas, sarana dan prasarana,” tutur Agus yang memfokuskan penelitiannya sebagian besar pada komoditas windu. 

 

Masih Terkendala Benur

Di dunia budidayanya pun, dalam Pantjara et al (2024) diungkapkan bahwa petambak lebih menyukai penebaran benih udang windu ukuran juvenil karena ukuran juvenil lebih tahan terhadap kondisi lingkungan dibandingkan benur ukuran post larva (PL). Benur windu untuk pemeliharaan tambak biasanya memiliki produktivitas yang lebih tinggi dan waktu pemeliharaan yang lebih cepat dibandingkan penggunaan benur ukuran kecil (<PL-12). 

 

Dan saat ini, produksi benur windu untuk memenuhi permintaan pasar terus dikembangkan di masyarakat tambak. Petambak memilih untuk memelihara benur dari PL 10-12 karena harganya lebih murah. Akan tetapi, jika langsung ditebar di tambak, berisiko terutama kematian yang tinggi. 

 

Penjual benur pun mematok harga benih yang disesuaikan dengan umur pemeliharaan. Makin lama pemeliharaannya, makin mahal pula harga jualnya. Sementara petambak memelihara benur tersebut selama 7–30 hari di kolam tanah, kolam beton, bak fiberglass, atau hapas di tambak yang sumber airnya dari sungai tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu sehingga berpotensi membawa patogen bagi udang.

 

Pada TROBOS Aqua edisi 133 lalu, Bambang Widigdo, akademisi dari IPB University Bogor, pasang surut budidaya udang windu berawal dari serangan penyakit Monodon baculovirus (MBV) di 1997. Selain penyakit, menurut Bambang, tantangan lainnya yakni kesulitan membesarkan udang windu hingga menjadi induk di hatchery.

 

 “Jadi indukan windu masih banyak diambil dari alam sehingga kualitas genetiknya tidak terukur. Induk hasil tangkapan bulan ini belum tentu sama dengan tangkapan bulan depan. Dan status penyakitnya pun juga tidak diketahui. Dulu ditengarai indukan windu dari Aceh, Binuangeun, Irian hampir semuanya sudah terinfeksi Baculovirus dan WSSV. Ini tentu menjadi kendala, kadang produksinya naik dan kadang turun tergantung nasib ketika menangkap induknya. Kalau genetiknya bagus, produksi tambaknya bagus,” urai Bambang. 

 

Ketika dihubungi via telepon beberapa waktu lalu, Erwin Sumitro Tjoe, Executive Director PT Sumber Kalimantan Abadi (SKA), juga menemui tantangan yang sama di lapangan. Sebagai pengekspor udang windu, kerap kali petambak windu di Tarakan-Kalimantan Utara (sumber pasokan produksi windu SKA selain Samarinda-Kalimantan Timur) mendiskusikan persoalan benur ini.

 

Apalagi ditambah produksi tahun ini yang lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ia mendapat keluhan dari petambak bahwa banyak udang yang terkena penyakit dan gagal panen sehingga turut menekan produksi. 

 

“Untuk mendapatkan induk windu masih tergantung dari alam, sementara induk alam itu susah. Kadang hatchery lokal nggak dapat induk dari alam. Makanya untuk membantu mencukupi pasokan produksi, banyak petambak yang memasok benur dari luar, antara lain dari Moana Tech Hawai. Tarakan itu daerah budidaya windu semua. Harus terus hidup windunya, jangan sampai habis,” ungkap Erwin.

 

Ketergantungan indukan dari alam, juga diamini Agus. Budidaya udang windu di masyarakat, saat ini masih dilaksanakan namun penerapan teknologi yang sederhana, dengan produktivitas dibawah 100 kg/ha.

 

Di sisi lain, indukan didapat dari hasil tangkapan nelayan. Sebagai contoh di Peureulak-Aceh, Pangkep, dan Barru-Sulawesi Selatan (Sulsel). “Dari penelitian yang kami lakukan di lapangan pada 2021 dan 2023, windu didapat terbatas di alam. Biasanya hanya 1-3 ekor yang didapat dari nelayan untuk dijadikan induk di Peureulak, serta sekitar 3-5 ekor di Pangkep,” sebut Agus.

 

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 147/ 15 Agustus  - 14 September 2024

 

 

 
Aqua Update + Inti Akua + Cetak Update +

Artikel Lain