Foto: Dok. Pribadi
Sudah saatnya perluasan dan diversifikasi produk dan pasar catfish (lele dan patin) di Indonesia
Menurut KBBI, diversifikasi adalah penganekaragaman. Memperbanyak ragam atau memvariasikan produk, sama halnya dengan memperbesar peluang pelaku usaha untuk meraup profit lebih tinggi. Serta menghindari ketergantungan pada satu produk saja.
Selain menguntungkan pelaku usaha, diversifikasi juga memberikan dampak positif pada pelaku budidaya. Semakin banyak olahan perikanan yang diproduksi, maka semakin banyak kebutuhan ikan yang diperlukan.
Direktur Pemasaran, Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Erwin Dwiyana mengatakan, secara keseluruhan, pada 2022 total serapan ikan rumah tangga Nasional sebesar 8,20 juta ton. Dimana 75% diantaranya dalam bentuk segar (6,13 juta ton) dan 25% lainnya dalam bentuk awetan/olahan/matang (2,07 juta ton).
Dibandingkan dengan 2023, total serapan ikan rumah tangga nasional meningkat 1,47% atau mencapai 8,32 juta ton dimana 71% diantaranya dalam bentuk segar (5,92 juta ton) dan 29% lainnya dalam bentuk awetan/olahan/matang (2,40 juta ton). Apabila dicermati lebih lanjut, semakin dalam Erwin menjelaskan, proporsi konsumsi ikan dalam bentuk awetan/olahan/matang mengalami peningkatan dari semula 25% di 2022 menjadi 29% di 2023. Dan begitu sebaliknya pada proporsi konsumsi ikan dalam bentuk segar yang mengalami penurunan dari semula 75% pada 2022 menjadi 71% pada 2023.
“Data tersebut mengindikasikan adanya kecenderungan pergeseran pola konsumsi ikan di masyarakat dari bentuk segar menjadi bentuk awetan/olahan/matang. Yang mana secara langsung menjadi peluang diversifikasi produk olahan hasil perikanan, tidak terkecuali pada produk olahan berbasis lele dan patin,” jelas pria berusia 51 itu dengan penuh semangat.
Setelah diam sejenak, Erwin melanjutkan penjelasannya ke arah semakin spesifik. Berdasarkan data sementara produksi ikan nasional pada 2023, produksi lele diperkirakan mencapai 1,14 juta ton atau 57,37% diantaranya terserap dalam konsumsi rumah tangga nasional dalam bentuk segar; 35,15% diantaranya terserap dalam konsumsi luar rumah tangga nasional (hotel, restoran, katering) dalam bentuk segar; dan 7,48% lainnya terserap dalam industri pengolahan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor.
Pada tahun yang sama, produksi patin diperkirakan mencapai 0,43 juta ton atau 49,63% diantaranya terserap dalam konsumsi rumah tangga nasional dalam bentuk segar. Dari data itu, 22,34% diantaranya terserap dalam konsumsi luar rumah tangga nasional (hotel, restoran, katering) dalam bentuk segar; dan 28,03% lainnya terserap dalam industri pengolahan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor.
Ragam Diversifikasi Produk
Berdasarkan informasi data yang disampaikan Erwin, dapat diketahui bahwa tren diversifikasi produk beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan ke arah positif. Salah satu pelaku usaha yang berhasil mengolah ikan lele dan patin serta menjadi bagian dari angka 7,48 % dan 28,03% itu ialah A Paryanti. Perempuan yang berprofesi sebagai pengusaha UMKM Olahan ikan dan juga seorang pedagang ikan di daerah Lampung itu telah memulai usaha pengolahannya sejak 2018 lalu dan berhasil bertahan hingga hari ini.
Kepada tim TROBOS Aqua, Paryanti-begitu sapaan akrabnya bercerita awal mula menjadi pelaku pengolahan ikan. Paryanti mengungkapkan banyaknya ikan yang tidak laku terjual setiap hari adalah pendorong baginya untuk mengolah ikan tersebut menjadi produk yang memiliki umur simpan lebih panjang.
“Produk awal yang dibuat adalah ikan asap berbahan baku lele ukuran 5-6 ekor per kg dan 8-12 ekor per kg. Demi mencapai ikan asap yang gurih dan lezat, setidaknya menghabiskan waktu enam bulan untuk melakukan berbagai uji coba,” ujarnya.
Berjalannya waktu, sambungnya, diversifikasi produk bertambah menjadi lebih beragam. Masih dengan ikan yang sama, produk yang berhasil dibuat dan diperdagangkan yakni abon lele dan krispi kulit lele.
“Dari hasil survei ke lapangan, khususnya ke pasar dan kolam-kolam lele, saya lihat ‘lele grandong’ (ukuran 1-2 ekor per kg) susah laku. Agar lele ukuran besar tersebut bisa bermanfaat, dagingnya saya olah menjadi abon lele dan kulitnya buat krispi dengan lima varian rasa. Jika mau buat krispi kulit lele maka juga harus buat abon agar dagingnya tidak terbuang. Lalu untuk ikan asap dibuat dengan memanfaatkan ikan yang tidak laku dijual,” urai Paryanti.
Khusus kulit patin krispi, sambarnya, bahan baku diperoleh dari cold storage. Kulit patin yang sebetulnya masih bisa dimanfaatkan, di sana (cold storage) dianggap menjadi limbah yang justru mencemari lingkungan jika tidak dikubur atau diolah.
Persis seperti Paryanti, Wiko sapaan akrab pria bernama lengkap Wiko Puji Susanto juga berhasil menyulap kulit patin yang sebelumnya dianggap limbah menjadi makanan ringan bernilai tambah tinggi. Founder PT Inovasi Ikan Nusantara itu menuturkan, keinginan mengolah kulit patin muncul ketika melakukan semasa kuliah dulu melakukan magang di suatu pabrik filet patin. Di lokasi magang itu, kulit patin yang merupakan produk sampingan dari filet patin tidak dimanfaatkan alias dibuang begitu saja.
“Di pikiran saya itu adalah peluang yang harus ditangkap. Di 2019 serangkaian percobaan komposisi dilakukan, akhirnya ditemukan resep yang pas gurihnya, pas kriuknya dan pas garingnya. Produk tersebut dipasarkan dengan nama Fish skin by fishsnack. Kini telah ada 3 varian rasa yang berbeda, diantaranya original, pedas, dan salted egg,” kata laki-laki yang bertempat tinggal di Kelurahan Pasir Kuda, Bogor-Jawa Barat itu.
Berbeda dengan dua pelaku usaha lainnya, Ketua Poklahsar (kelompok pengolah pemasar) Bosarmi (Bojong Rangkas Sari Mandiri), Anita khusus membeli ikan patin utuh di pasar untuk diolah menjadi berbagai produk siap santap. Dari tangan mungilnya dan anggota Poklahsar Bosarmi lainnya inovasi selalu dilakukan dan terciptalah 11 produk diversifikasi bahan baku patin.
Dengan semangat Anita menyebutkan Dengan semangat Anita menyebutkan produk-produk ber brand Patinesia itu. Produk-produk yang berhasil dibuat dan dijual antara lain; siomai, bakso tahu, pempek,bakso, sempol, basreng ikan patin, cireng, dimsum, keripik ikan patin, sambal ikan patin, dan brownis ikan patin.
“Menurut saya, patin itu ikan yang tidak terlalu berbau amis dan kadar lemaknya juga bagus. Oleh karenanya patin cocok diolah menjadi beragam produk siap santap. Masing-masing produk patin memiliki umur simpan yang cukup panjang loh. Umumnya dapat disimpan hingga 3 bulan lamanya, termasuk brownis. Karena ini brownis kering yah, bukan berbentuk bolu gitu,” papar wanita yang ditemui di lokasi produksinya di Cibungbulang-Bogor, Jawa Barat beberapa waktu lalu itu (17/9).
Permintaan Pasar
Berbicara mengenai patin utuh, suara Wiko terdengar santai, di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, itu kalau disurvei dari 10 orang yang doyan patin cuma 2 orang, 8 -nya tidak doyan. Berbeda dengan masyarakat di Sumatera dan Kalimantan, patin menjadi makanan favorit. Bahkan di warung-warung ataupun tempat makan, masakan patin itu mahal-mahal harganya.
“Nah, itu kalau kita bicara tentang ikan patin utuh, beda cerita untuk olahan patin. Jika disurvei terkait produk diversifikasi ikan patin, bisa jadi didapati hasilnya hampir seluruh masyarakat di berbagai daerah tersebut menyukai dan menikmati kudapan tersebut. Ini terbukti dari banyaknya konsumen kami yang tersebar diberbagai daerah, termasuk wilayah yang masyarakatnya kurang menyukai patin. Contohnya masyarakat sekitaran pulau Jawa konon kurang menyukai patin. Justru pasar produk olahan kami terbanyak dari sana,” celetuk Wiko.
Tidak perlu membahas produk orang lain, lanjutnya, contoh sederhananya produk Fish skin. Konsumen produknya dominan mengatakan tidak ada mencium aroma amis sama sekali akibatnya mereka merasa seperti tidak sedang mengkonsumsi ikan. Sehingga yang awalnya kurang bahkan tidak menyukai ikan, sekarang dapat dengan nyaman mengkonsumsi ikan.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 148/ 15 September - 14 Oktober 2024