Foto: Foto Luar By Ramdan, Foto Dalam By Istimewa
Jakarta (TROBOSAQUA).Budidaya udang tradisional plus di Indonesia memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi salah satu pilar utama ekspor udang nasional. Dengan pendekatan yang tepat, sistem ini tidak hanya mampu meningkatkan produktivitas tambak tradisional tetapi juga menjadi solusi untuk menghadapi persaingan global, seperti dengan Ekuador yang saat ini menjadi salah satu eksportir udang terbesar.
Coco Kokarkin, Sekjen FUI (Forum Udang Indonesia) menuturkam, sistem tambak tradisional plus menargetkan produksi hingga 2.000 kg (2 ton) per hektare per tahun, sebuah capaian yang realistis jika dilakukan dengan pendekatan yang benar. Dalam setiap siklus budidaya selama 2 bulan, tambak tersebut bisa menghasilkan 500 kg per hektare. Dengan empat siklus dalam setahun, hasilnya mencapai 2 ton. Jika ditambah penggunaan pakan yang terukur, produksi dapat meningkat hingga 700 kg per siklus, atau menghasilkan total 2,1 ton per tahun.
Selain pakan buatan, keberadaan pakan alami seperti Prodima menjadi elemen penting dalam mendukung sistem ini. Prodima, yang tumbuh secara alami di dasar tambak, sangat digemari oleh udang windu dan vannamei besar. Kehadirannya menjadi indikator tambak sehat dan produktif, yang dapat meningkatkan efisiensi dan menekan biaya produksi.
Coco sapaan akrabnya, menceritakan berbagai uji coba di daerah yang telah membuktikan efektivitas sistem ini. Perama, sambarnya, Sulawesi Selatan. Meskipun tanpa sistem nursery, tambak tradisional mampu menghasilkan 950 kg per hektare.
“Lalu di Kalianda, Lampung, proyek pilot yang dipimpin Sukenda dari IPB menghasilkan 2,2 ton per hektare dengan biaya produksi rendah. Ketiga di Mamuju dan Wajo, dengan penerapan sistem nursery, tambak menghasilkan 800–830 kg per hektare dalam waktu 2,5–3 bulan. Terakhir di Pesawaran. Dalam siklus singkat 30 hari, tambak mampu mencapai produksi 2 ton per hektare,” beber Coco beberapa waktu dalam seminar ‘Peningkatan Produktivitas Tambak Udang Tradisional Plus Melalui Tokolan/ Nursery‘ yang disiarkan secara online di kanal Youtube FUI (9/9).
Dengan total luas tambak tradisional di Indonesia sekitar 300 ribu hektare, lanjutnya, optimalisasi 200 ribu hektare saja dengan sistem tradisional plus bisa menghasilkan 400 ribu ton udang per tahun. Bahkan, dengan menambah siklus hingga tiga kali setahun, produksi dapat meningkat menjadi 1,2 juta ton.
Namun, keberlanjutan tetap menjadi perhatian utama. Penanaman mangrove di sekitar tambak adalah salah satu langkah strategis. Selain menjaga ekosistem, mangrove juga mendukung kesehatan tambak dan daya tahan udang terhadap penyakit. Daun mangrove, misalnya, diketahui mengandung nutrisi yang dapat meningkatkan imunitas udang terhadap ancaman penyakit seperti AHPND dan WSSV.
“Udang dari tambak tradisional plus memiliki daya saing tinggi di pasar global, terutama karena biaya produksinya (HPP) lebih rendah dibandingkan negara pesaing seperti Ekuador. Hal ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasar di Amerika Serikat,” jelas Coco.
Untuk pasar premium seperti China dan Eropa, udang dari tambak intensif menjadi andalan. Udang premium memiliki ciri khas, seperti warna cerah setelah dimasak, kumis yang utuh, dan tekstur daging yang sempurna. Standar ini sulit dicapai oleh tambak tradisional, tetapi tradisional plus tetap mampu memenuhi kebutuhan pasar yang mengutamakan kuantitas dengan kualitas yang tetap baik.
“Budidaya tambak tradisional plus adalah peluang besar yang ada di depan mata. Dengan penerapan teknologi tepat guna, optimalisasi pakan alami, dan keberlanjutan lingkungan melalui penanaman mangrove, Indonesia dapat bersaing dengan negara produsen utama lainnya. Target produksi 2 ton per hektare per tahun adalah visi yang dapat dicapai jika semua pihak berkomitmen pada pengembangan sistem ini,” tutup Coco.dian/dini/edt