Silvofishery Babat Permasalahan di Tambak Udang Tradisional

Silvofishery Babat Permasalahan di Tambak Udang Tradisional

Foto: Dok. Istimewa
Presentasi Prof Esti

Jakarta (TROBOSAQUA). Bertambahnya waktu, permasalahan yang harus ditemui dalam budidaya perikanan semakin beragam. Dimulai dari perubahan iklim, penurunan kualitas air, harga pakan semakin tinggi, penyakit, harga jual udang tidak menentu, masalah perizinan, serta tuduhan pengrusakan ekosistem mangrove dan pencemaran lingkungan.

 

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman, Prof Esti Handayani Hardi, menuturkan, bagi pembudidaya udang intensif, permasalahan perubahan iklim, penurunan kualitas air dan penyakit umumnya dapat ditanggulangi dengan baik. Beda cerita bagi pembudidaya udang semi intensif dan tradisional, tiga permasalahan itu menjadi momok sangat mengerikan. Karena ketiganya dapat menyebabkan kematian dan penurunan produksi yang sangat tinggi. 

 

“Hal apa yang bisa dilakukan dan mudah untuk diadopsi dalam mengatasi masalah tersebut?,” Esti melempar pertanyaan. Jawabannya, sambung wanita itu, untuk di wilayah pesisir, dapat melakukan perubahan budidaya ke arah green culture dengan mengakomodir mangrove (silvofishery) yang menjadi salah satu biota atau tumbuhan adaptif di wilayah tersebut. Dan tentu memiliki manfaat secara ekologi dan ekonomi yang sangat baik.

 

Kepada tim TROBOS Aqua, Esti menjelaskan, berdasarkan hasil riset dan percobaan di lapangan, silvofishery adalah akuakultur yang sangat adaptif terhadap perubahan iklim. Melalui silvofishery, permasalahan di perikanan yang disebabkan oleh perubahan iklim dapat diatasi.

 

Perubahan iklim, lanjutnya, banyak menyebabkan perubahan seperti penurunan kualitas air, penurunan kadar oksigen terlarut, peningkatan suhu, pH, penyakit, bahkan badai dan kerusakan tanggul. Semua hal yang disebabkan oleh perubahan iklim itu dapat diselesaikan dengan penanaman mangrove di dalam tambak

 

Silvofishery itu pengelolaannya mudah, murah dan ramah lingkungan. Juga memiliki potensi ekonomi, sosial budidaya, dan lingkungan yang berkelanjutan,” beber Esti secara online melalui kanal Youtube dalam Bincang Mina MAI #2.

 

Lalu, melalui silvofishery imbas kerusakan pada ekosistem mangrove dapat dikurangi dan memiliki potensi penyerapan karbon yang lebih tinggi dibanding budidaya lainnya. “Hal menarik lainnya dari silvofishery yaitu adanya peluang menghasilkan udang organik yang memiliki pasar ekslusif,” ungkap alumni doktoral Institut Pertanian Bogor itu beberapa waktu lalu (28/8).


“Diskusi bersama start up ataupun eksportir udang di Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan wilayah lainnya sering kali dilakukan. Dari diskusi itu didapati informasi bahwa saat ini pasar Eropa dan pasar dunia sudah mulai consent terhadap produk-produk yang dikelola atau dibudidayakan dengan menggunakan konsep ramah lingkungan. Dan ini adalah peluang,” tutupnya.dian/edt/dini

 
Aqua Update + Aqua Update + Cetak Update +

Artikel Lain