Achmad Poernomo: Penolakan di Pasar Global: Kenapa?

Achmad Poernomo: Penolakan di Pasar Global: Kenapa?

Foto: Istimewa


Produk perikanan, terutama tuna (termasuk cakalang dan tongkol) dan udang, merupakan salah satu penyumbang devisa negara. Neraca perdagangan luar negeri produk perikanan selama ini juga menunjukkan nilai positif dalam arti nilai ekspor lebih tinggi daripada impor. Negara pengimpor produk perikanan Indonesia adalah Amerika Serikat (sekitar 38%), China (18%), Jepang (12%), ASEAN (sekitar 11%),  UE (6%) dan negara lain (sekitar 14.9%).

 

Data sementara pada 2023 menunjukkan nilai ekspor produk perikanan mencapai USD 5,6 miliar sedangkan impornya USD 0,65 miliar, atau surplus hampir USD 5 miliar. Kinerja ini sungguh luar biasa dan patut mendapatkan acungan jempol. Sayangnya, tetap saja kita masih kalah dari Vietnam dan Thailand, sesama negara ASEAN, yang saat ini masih berada di 10 negara terbesar eksportir produk perikanan. 

 

Di balik keberhasilan tersebut, sebenarnya masih banyak masalah yang harus diselesaikan. Penolakan terhadap produk perikanan di pasar global masih saja terjadi.

 

 Jumlah Approval Number untuk pasar Uni Eropa masih seperti dibekukan, alias tidak dapat menerima pendaftaran baru. Infrastruktur mutu masih perlu dibenahi, sementara budaya mutu belum tumbuh di antara pelaku dan konsumen.  

 

The United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) melalui The Global Quality and Standards Programme pada 2022-2023 telah melakukan analisis penolakan produk perikanan (HS 03) di berbagai negara. Analisis ini dilakukan juga terhadap produk pangan lain dan pakan (HS 1-23), namun analisis ini tidak dibahas mendalam di sini. 

 

Negara pasar yang dianalisis adalah Australia, China, EU-28, Jepang, dan Amerika Serikat (AS). Kinerja Indonesia dibandingkan dengan Vietnam dan Malaysia di dalam analisis. 

 

Pengamatan dilakukan terhadap kasus penolakan di rentang 2010-2020. Hasil analisis telah dipublikasi pada Nopember 2023 dan diseminarkan di Jakarta pada Desember 2023 dengan mengundang pemangku kepentingan (stakeholder) pangan. 

 

Hasil Analisis Kasus Penolakan

Penolakan produk perikanan pangan (termasuk perikanan) dapat berakibat buruk kepada berbagai hal baik ekonomi maupun kredibilitas dan reputasi eksportir. Dampak negatif yang terakhir dapat merambat kepada negara.  Kerugian ekonomi dapat diperkirakan dengan memperhitungan biaya kegagalan ekspor, komunikasi, pengujian laboratorium, transportasi, dan eksekusi. 

 

Pada periode 2014-2016 penolakan produk perikanan ditaksir telah menyebabkan kehilangan nilai ekonomi lebih dari USD 10,5 juta. Penolakan didominasi oleh tuna, yaitu sekitar USD  9,5 juta diikuti oleh udang, sekitar USD 1,2 juta. 

 

Kerugian secara keseluruhan sebagian besar berasal dari biaya transportasi (59% atau USD 2,4 juta per tahun). Dari sisi volume, kasus penolakan ekspor dari sisi volume meningkat drastis sebesar 534% dari 1.459 ton menjadi 9.254 ton atau sekitar 462 kontainer ukuran 40 feet (asumsi 20 ton per kontainer).

 

Kasus penolakan produk perikanan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) dilaporkan melonjak 205% dari 76 kasus di 2020 menjadi 232 kasus di 2021 berdasarkan nomor pemasukan (shipment id). Mengingat pasar AS merupakan pasar ekspor terbesar untuk produk perikanan Indonesia, hal ini merupakan kerugian ekonomi yang sangat besar. Alasan utama penolakan adalah salmonella (88%), sementara alasan lain yang tidak terlalu sering terjadi adalah histamin, pelabelan, dan listeria.

 

Secara ringkas, penyebab utama penolakan produk perikanan Indonesia di lima negara di atas adalah Australia (kontaminasi lain 50%, dan kontaminasi bakteri 21%), China (dokumen tidak sesuai/tidak ada atau adulterasi 31% dan higienitas 17%), EU (logam berat 44%, higienitas 21% dan dokumen tidak sesuai/tidak ada atau adulterasi 18%), Jepang (dokumen tidak sesuai/tidak ada atau adulterasi 80%) dan AS(higienitas 49% dan kontaminasi bakteri 34%). Apabila diambil secara rata-rata maka, secara detil  adalah higienitas (46%), kontaminasi bakteri (32%), kontaminan lain (6%), zat aditif (5%), residu obat-obatan (4%), dokumen tidak sesuai/tidak ada atau adulterasi (3%), logam berat (2%) dan kesalahan/tidak ada label (2%).  

 

Permasalahan Menahun

Penyebab penolakan di atas bisa dikatakan sebagai permasalahan yang dari tahun ke tahun selalu muncul. Masalah higienitas misalnya. 

Secara peraturan yang masih berlaku di Indonesia, semua produk perikanan yang akan diekspor wajib mempunyai Sertifikat Kesehatan yang salah satu persyaratannya adalah Sertifikat HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points). Untuk memperoleh Sertifikat HACCP, UPI harus menerapkan GMP (Good Manufacturing Practices), dan SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures). 

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 141/ 15 Februari - 14 Maret 2024

 

 

 
Aqua Update + Kolom + Cetak Update +

Artikel Lain