Soen'an Hadi Poernomo: Melawan Lupa, Nelayan di Zaman Kolonial

Soen'an Hadi Poernomo: Melawan Lupa, Nelayan di Zaman Kolonial

Foto: Dok. TROBOS


Sistem Tanam Paksa pada abad ke-19 telah memberikan banyak keuntungan bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Namun lantas mendatangkan kritikan yang sangat tajam dari berbagai pihak. Maka sistem tersebut secara berangsur dihapuskan, diganti dengan sistem ekonomi liberal.

 

Pada kenyataannya, rakyat Indonesia masih dirundung kemiskinan dan kesengsaraan. Muncullah dorongan agar sistem pemerintahan juga dirubah, untuk meningkatkan budaya rakyat, dikenal sebagai Politik Etis. Yakni memandang diperlukan kerjasama antara golongan Eropah dengan masyarakat Indonesia, untuk memperoleh kemajuan dan kesejahteraan.

 

Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) yang merupakan organisasi kemasyarakatan beranggotakan multi-profesi; nelayan, pengusaha, sarjana, penyuluh, mahasiswa, dan sebagainya, pada 2010 menyusun semacam kisah sejarah mengenai kondisi dan perkembangan sektor perikanan, termasuk keadaan nelayannya. Hal tersebut diantaranya sebagaimana terungkap di bawah ini.

 

Kembali ke hal di atas, di awal abad ke-20 mulailah pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan berbagai perubahan administrasi pemerintahan. Pada1905 didirikan Department Van Landbouw, atau Departemen Pertanian, yang 7 Maret 2014 membentuk Afdeeling Visserij, semacam Direktorat Jenderal Perikanan.

 

Dalam hal pembinaan masyarakat, pemerintah saat itu menganggap bahwa terhadap rakyat yang hidup di pesisir atau pulau kecil, dirasa tidak semudah kepada para petani. Sehingga sektor pertanian lebih banyak diperhatikan, terutama bidang perkebunan, yang sangat terkait dengan kebutuhan ekonomi kolonial Belanda.

 

Nelayan pada umumnya menjalani kehidupan sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Alat tangkapnya berupa perahu tanpa motor, jala, pancing, tombak, dan lainnya, hanya mampu memperoleh ikan di perairan pantai.

 

Bentuk usahanya masih banyak yang dalam taraf individual, keluarga, ataupun kelompok famili.Upaya untuk memperbaiki kehidupan nelayan, diantaranya melalui pembentukan paguyuban atau koperasi, pada sekitar 1912 di Indramayu, Brebes, Tegal, Batang dan Pekalongan.

 

Sebetulnya pada 1903 pemerintah Hindia Belanda sudah mendirikan Zeevisserij Stasion, atau Balai Perikanan Laut di Jakarta. Lembaga yang kemudian pada 1 Mei 1934 diresmikan sebagai Instituut voor de Zeevisserij menerapkan motorisasi kapal ikan dari kayu jati berbobot 40 GT, dengan jaring payang, dicoba di Teluk Jakarta.

 

Hal ini untuk menyajikan keuntungan yang bisa diraih, yakni bisa menuju kawasan penangkapan ikan yang lebih jauh, tidak tergantung angin, dan dapat membawa hasil tangkapan lebih cepat sampai di tempat pelelangan ikan. Saat itu kawasan yang dianggap sesuai adalah Selat Madura dan perairan Makassar.

 

Alat lain yang dicoba adalah jaring lingkar, atau purse-seine. Alat tangkap ikan pelagis kecil ini konon sudah ada sebelumnya di Aceh, disebut pukat banting; di Kalimantan Selatan, dinamakan gae; dan di Ambon—jaring giob.

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 138/ 15 November -14 Desember 2023

 
Aqua Update + Kolom + Cetak Update +

Artikel Lain