Melawan Lupa: Budidaya Ikan di Zaman Kolonial, Oleh: Soenan Hadi Poernomo

Melawan Lupa: Budidaya Ikan di Zaman Kolonial, Oleh: Soenan Hadi Poernomo

Foto: Dok. TROBOS


Pada tahun 1896, saudagar dari Banda Naira, Said Baadila, saat menghadap Ratu Emma di Istana Soesdijk, Belanda, mempersembahkan mutiara alam sebesar telor burung merpati. Aura mutiara Indonesia semakin gemilang, tatkala pada 1928 Sukeo Fujita bersaudara dari Jepang, berhasil melakukan budidaya mutiara pertama di dunia, berlokasi di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. 
 
Mutiara dari jenis Pinctada maxima tersebut hingga kini merupakan yang berkualitas tertinggi, dikenal sebagai South Sea Pearl, adanya hanya di Indonesia dan Australia. Baru disusul mutiara Tahiti, Jepang, Filipina dan paling rendah adalah mutiara air tawar dari China atau beberapa tempat lainnya.
 
Organisasi yang menghimpun pelaku utama, pelaku usaha, serta organisasi profesi perikanan lainnya, yakni Masyarakat Perikanan Nusantara bekerjasama dengan Yasamina, pada 2010 menerbitkan buku tentang perikanan Indonesia, sejak masa lalu, masa kini dan yang akan datang. Diantaranya adalah mengenai budidaya perikanan.
 
Budidaya perikanan di Nusantara sudah lama mengalami berbagai inovasi sederhana. Di Jawa Barat, mina-padi yang dilakukan petani pada sawahnya, banyak berkembang sejak 1872. Banyak manfaat diperoleh, yakni meningkatkan pendapatan petani, dikonsumsi keluarganya, memasok kebutuhan ikan lokal, serta mendukung efisiensi lahan. Inovasi positif tersebut selanjutnya berkembang di daerah lain, di Bukit Tinggi pada 1894, Sulawesi Utara pada 1905, dan Sulawesi Selatan pada 1930.
 
Pemerintah Hindia Belanda juga ada perhatian terhadap sektor perikanan, walau tidak sebesar pertanian, dan terutama perkebunan. Pada 1905, dibentuk Visserij Laboratorium te Batavia, yang meneliti mengenai biologi perikanan. 
 
Dua puluh dua tahun kemudian, pada 1927 dibangun Laboratorium voor de Binnenvisserij di Bogor, yang melakukan penelitian budidaya perikanan, hasilnya disuluhkan ke pembudidaya ikan melalui Dienst voor de Binnenvisserij di daerah provinsi. Pada 7 Maret 1914, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menetapkan, di bawah Department Van Landbouw, Nijverheid, en Handel (Departemen Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan) ada lembaga Afdeeling Vissery—semacam Ditjen Perikanan, yang di dalamnya ada urusan perikanan laut dan perikanan darat.
 
Saluran air untuk tambak dan kolam sudah lama dibuat oleh para pembudidaya ikan. Namun pemerintah mulai membuat saluran yang baik dan teratur adalah di Keputih, dekat Surabaya, sepanjang 3 km, pada 1919. Selanjutnya di pertambakan Madura, serta Tayu dan Jepara di Jawa Tengah, juga di Pontang-Jawa Barat. Bahkan pada 1939, pemerintah kolonial membuat peraturan, bahwa pemilik tambak wajib merawat saluran air tersebut. Efeknya memang sangat positif, produktivitas tambak menjadi sangat tinggi.
 
 
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 134/15 Juli - 14 Agustus 2023
 

 
Aqua Update + Kolom + Cetak Update +

Artikel Lain