Prof. Rokhmin Dahuri, Ph.D : Menggelorakan Kembali, Indonesia Poros Maritim Dunia

Prof. Rokhmin Dahuri, Ph.D : Menggelorakan Kembali, Indonesia Poros Maritim Dunia

Foto: 


Salah satu gagasan terobosan Jokowi yang mendapat dukungan publik dengan antusiasme membuncah dan menghantarkannya menjadi Presiden RI ke-7 pada 20 Oktober 2014 adalah mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Sebuah Indonesia yang maju, kuat, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan, hankam dan budaya maritim.  Sebagai PMD, Indonesia juga diharapkan menjadi rujukan (role model) bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang pembangunan kelautan, mulai dari IPTEK, ekonomi, pertahanan keamanan, sampai ocean governance.
 
Optimisme Presiden Jokowi tentang besarnya peluang Indonesia menjadi PMD sangatlah beralasan. Pertama, karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang 75 % wilayahnya berupa laut.  Wilayah pesisir dan laut Indonesia mengandung potensi ekonomi berupa Sumber Daya Alam (SDA) terbarukan, SDA tidak terbarukan, dan jasa-jasa lingkungan yang luar biasa besar, sekitar 1,4 triliun dolas AS per tahun atau 1,5 kali PDB Indonesia dan dapat menciptakan lapangan kerja bagi sedikitnya 45 juta orang, sekitar 3 0% total angkatan kerja. 
 
Kedua, secara geoekonomi dan geopolitik, letak Indonesia sangat strategis. Dimana sekitar 45 % total barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai ekonomi rata-rata 15 triliun dolar AS per tahun dikapalkan melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2012). 
 
Ketiga, Arlindo (Arus Lintas Indonesia) yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari Samudera Pasifik ke S. Hindia berfungsi sebagai ‘nutrient trap' (perangkap unsur-unsur hara).  Sehingga, perairan laut Indonesia merupakan habitat ikan tuna terbesar di dunia (the world tuna belt), memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi dan potensi produksi lestari ikan laut terbesar di dunia, sekitar 12,5 juta ton per tahun (Dahuri, 2004; KKP, 2017). 
 
Keempat, SDA dan ruang pembangunan di daratan semakin menipis atau sulit untuk dikembangkan. Padahal, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan daya belinya, permintaan akan SDA, ruang pembangunan, dan jasa-jasa lingkungan bakal semakin berlipat ganda.  Kelima, suatu negara-bangsa akan lulus dari jebakan negara-mengah menjadi maju, makmur, dan berdaulat, bila ia mampu mengembangkan keunggulan kompetitif berdasarkan pada keunggulan komparatif nya (Porter, 2013). Bagi Indonesia, keunggulan komparatif utamanya adalah geokonomi, SDA, dan jasa-jasa lingkungan kelautan. 
 
Keenam, sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan Emporium Inggris, Amerika Serikat, dan akhir-akhir ini China adalah karena ketiga negara adidaya tersebut menguasai lautan, baik secara ekonomi maupun hankam.  Maka, tepat yang dinubuatkan ahli strategi pertahanan dunia, AT. Mahan (1890), ‘who rules the waves, rules the world'.  Siapa yang menguasai lautan, dia akan menguasai dunia.
 
Sayang, implementasi kebijakan pembangunan PMD, terutama di periode-1 Pemerintahan Jokowi-JK (2014 – 2019) terlalu dominan (70 persen) berupa ‘rem' seperti moratorium (larangan). Mulai dari larangan penggunaan kapal pengangkut ikan hidup, alat tangkap ikan yang efisien, kapal ikan di atas 150 GT, memberhentikan hampir semua perusahaan penangkapan ikan nasional berskala besar karena dianggap melanggar hukum, menyusahkan nelayan kecil karena dituduh ‘mark-down' ukuran kapal ikan mereka, dan menganggap perikanan budidaya (aquaculture) merusak lingkungan.  
 
Untungnya, program pembangunan pariwisata bahari dan perhubungan laut (revitalisasi dan pengembangan pelabuhan serta Tol Laut) lumayan berhasil. Contohnya, pada 2014 kontribusi sektor pariwisata bahari terhadap PDB masih kurang dari 2 miliar dolar AS, pada 2019 menjadi 4 miliar dolar AS.  ‘Dwelling time' di sejumlah pelabuhan utama (Tanjung Priok, Tanjung Emas, dan Tanjung Perak) menurun signifikan dari rata-rata 7,3 hari pada 2014 menjadi 4,11 hari pada 2019 dan 2,81 hari pada 2022 (BPS, 2014; BPS, 2019; BPS, 2022). Berkat pembangunan Tol Laut, transportasi (distribusi) penumpang dan barang antar wilayah (pulau), terutama di wilayah-wilayah terpencil dan terluar NKRI menjadi lebih cepat, lancar, murah, dan aman.  
 
Agenda Jangka Panjang
Untuk mewujudkan Indonesia sebagai PMD (Indonesia Emas) pada 2045, kita harus mengimplementasikan Rencana Pembangunan Kelautan Jangka Panjang (2023 – 2045) dan Jangka Pendek (2023 – 2024) yang berbasis pada inovasi IPTEKS dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam jangka panjang, pembangunan kelautan harus mampu meningkatkan daya saing bangsa serta menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata diatas 7 % per tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), inklusif (mensejahterakan seluruh rakyat secara berkeadilan), dan ramah lingkungan secara berkelanjutan. 
 
Selain merevitalisasi sektor-sektor ekonomi kelautan yang sudah berjalan (established sectors) termasuk perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, minyak dan gas, pariwisata bahari, industri dan jasa maritim, perhubungan laut, serta kehutanan pesisir.  Mulai sekarang kita harus kembangkan sektor-sektor kelautan potensial yang belum kita dayagunakan (emerging sectors) seperti industri bioteknologi kelautan, desalinasi air laut, energi kelautan, offshore aquaculture, deep sea fisheries, deep sea mining, deep sea water industry, kawasan industri manufaktur di wilayah-wilayah pesisir dan pulau kecil yang belum tersentuh pembangunan, dan menjadikan laut sebagai ruang pembangunan (development space).
 
Agenda Jangka Pendek
Dalam jangka pendek (quick wins), lima sektor ekonomi kelautan dapat kita pacu untuk meningkatkan daya saing, pertumbuhan ekonomi, kedaulatan pangan, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan rakyat secara signifikan.  Kelima sektor itu adalah perikanan budidaya, perikanan tangkap, industri pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, dan perhubungan laut.
 
 Untuk sektor perikanan budidaya, yang pada 2021 mampu memproduksi 17 juta ton komoditas perikanan budidaya (10 juta ton rumput laut; dan 7 juta ton berupa ikan, udang, kepiting, dan kekerangan), terbesar kedua di dunia setelah China (56 juta ton). Tahun ini kita tingkatkan produksinya menjadi 22 juta ton, dan 25 juta ton pada 2024.  
 
Peningkatkan produksi ini dapat kita capai melalui program revitalisasi dan ekstensifikasi usaha perikanan budidaya (aquaculture). Baik di ekosistem perairan laut, ekosistem lahan pesisir (tambak) maupun ekosistem perairan darat termasuk di danau, sungai, bendungan, saluran irigasi, sawah (minapadi), kolam, dan akuarium. 
 
Komoditas utama dan prioritas yang layak dikembangkan di perairan laut antara lain kakap putih, kerapu, baronang, bawal bintang, cobia, lobster, gonggong, kerang hijau, teripang, abalone, kerang mutiara, dan rumput laut penghasil karagenan.  Di perairan payau (tambak, pesisir) berupa: udang vannamei, udang windu, ikan bandeng, ikan nila salin, ikan kerapu lumpur, kepiting, dan rumput laut penghasil agarose. Di perairan darat mencakup: ikan nila, mas, gurame, patin, lele, baung, belida, gabus, ikan dewa, udang galah, lobster air tawa, serta ikan dan  tanaman hias.   
 
Sebagai ilustrasi betapa raksasanya ekonomi aquaculture adalah target KKP untuk meningkatkan produksi udang budidaya, dari 600 ribu ton pada 2021 (terbesar kelima di dunia setelah Ekuador, China, India, dan Vietnam) menjadi 2 juta ton (terbesar di dunia) pada 2024.   Total produksi 2 juta ton ini terdiri dari 1,7 juta ton (85 %) udang vaname, dan 0,3 juta ton udang windu.  Target peningkatan produksi ini bisa ditempuh melalui revitalisasi tambak udang tradisional dan semi-intensif seluas 320 ribu ha (80 %), dan ekstensifikasi tambak udang semi-intensif dan intensif (modern) seluas 80 ribu ha (20 %).  
 
Dalam 15 tahun terakhir rata-rata harga udang  ukuran 50 – 60 ekor/kg  di tingkat petambak (onfarm) 5 dolar AS/kg, dan di pasar ekspor 6 dolar AS/kg.  Artinya, dengan 2 juta ton produksi udang pada 2024 akan menghasilkan nilai ekonomi sebesar 10 miliar dolar AS (Rp 155 triliun), 1,6 juta tenaga kerja on-farm dan 2,4 juta tenaga kerja off-farm, dan berbagai efek pengganda (multiplier effects) ekonomi yang luas.      
 
Di sektor perikanan tangkap, kita revitalisasi 3.600 armada kapal ikan nasional modern berukuran diatas 100 GT yang kita miliki saat ini, dan kembangkan 2.000 kapal ikan nasional modern berukuran diatas 100 GT hingga 1.500 GT. Tujuannya untuk memanfaatkan stok ikan di wilayah-wilayah laut NKRI yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal ikan (nelayan) asing dan laut lepas di atas 200 mil. 
 
Kita bangun pelabuhan perikanan dan kawasan industri perikanan terpadu sebagai tempat pendaratan ikan dari 5.600 kapal ikan modern tersebut, dan industri pengolahan hasil perikanan berkelas dunia. Lokasinya mesti berdekatan dengan daerah penangkapan (fishing grounds) dari kapal-kapal ikan modern tersebut, seperti: Sabang, Natuna – Anambas, Pemangkat, Tarakan, Pasang Kayu, Bitung, Morotai, Sorong, Merauke, Ambon, Tual, Benjina, Kupang, Lombok Timur, Jembrana, Sendang Biru, Cilacap, Pelabuhan Ratu, Bengkunat, P. Enggano, Bungus, Mentawai, Sibolga, Nias, Belawan, Tanjung Balai Karimun, dan Dumai. 
 
 Secara simultan, kita bantu nelayan kecil (tradisional) melalui peningkatan teknologi penangkapan ikan (kapal ikan dan alat tangkap); penyediaan sarana produksi yang berkualitas, relatif murah dan mencukupi; teknologi Best Handling Practices ikan dari laut sampai darat; dan menjamin pemasaran ikan hasil tangkapan para nelayan dengan harga jual sesuai nilai keekonomian.  Sehingga, semua nelayan baik pemilik kapal maupun ABK hidup sejahtera, dengan pendapatan minimal 375 dolar AS (Rp 6 juta)/orang/bulan (Bank Dunia, 2022).
 
Di sektor industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, kalau pada 2021 nilai ekspor perikanan Indonesia hanya 5,2 miliar dolar AS (peringkat-8 dunia), tahun ini dapat ditingkatkan menjadi 7 miliar dolar AS (ke-7 dunia), dan pada 2024 menjadi 10 milyar dolar AS atau peringkat-5 dunia.  Ini bisa dicapai dengan merevitalisasi sekitar 99 ribu unit UPI (Unit Pengolahan Ikan atau Pabrik Pengolahan Ikan) yang 99 persennya berskala mikro dan kecil. 
 
Sektor pariwisata bahari yang telah berkinerja lumayan baik, harus terus diperkuat dan dikembangkan.  Daya tarik dan daya saing semua destinasi wisata bahari yang ada saat ini harus terus disempurnakan, mulai dari Nias, Mentawai, P. Weh, Anambas, Lagoi-Bintan, Kepulauan Seribu, Pangandaran, Karimun Jawa, Bunaken, P. Menjangan – Bali Barat, Derawan – Maratua, Gili Meno-Air-Terawangan, P.Komodo, Taka Bone Rate, Kepulauan Banggai, Wakatobi, Bunaken, Morotai sampai ke Raja Ampat. 
 
Untuk sektor perhubungan laut, program Tol Laut yang cukup bagus, mesti terus ditingkatkan. Caranya dengan merevitalisasi semua pelabuhan dan kapal angkutan, pembangunan pelabuhan dan penambahan kapal baru, dan pengembangan aktivitas industri serta ekonomi di luar Jawa.  Konektivitas digital juga harus terus disempurnakan. 
 
 
*Guru Besar Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan – IPB University;
Ketua Umum MAI (Masyarakat Akuakultur Indonesia);
Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany
 

 
Aqua Update + Kolom + Cetak Update +

Artikel Lain