Achmad Poernomo: IndoGAP: Riwayatmu Kini

Setelah melalui serangkaian workshop yang diikuti oleh sejumlah pakar dari negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya – Kementerian Kelauan dan Perikanan, pada tahun 2015 disepakati satu dokumen penting yaitu Guidelines on ASEAN Good Aquaculture Practices (ASEAN GAqP) for Food Fish. Dokumen ini dimaksudkan sebagai rujukan dalam penyusunan Good Aquaculture Practices di Negara-negara anggota. Panduan ini berlaku untuk budidaya ikan di laut, payau dan air tawar, namun tidak berlaku untuk udang karena pada tahun 2011 di Jakarta telah disepakati ASEAN Shrimp Good Aquaculture Practices (ASEAN Shrimp GAP).



Napak Tilas Sertifikasi
Rujukan kedua  Panduan di atas adalah FAO Technical Guidelines on Aquaculture Certification tahun 2011, suatu dokumen yang banyak dijadikan basis berbagai sertifikasi akuakultur di pasar global. Sesuai dengan FAO, kedua Panduan ASEAN di atas berfokus kepada 4 kriteria yaitu a) kesehatan dan kesejahteraan hewan; b) keamanan pangan; c) integritas lingkungan dan d) aspek sosial ekonomi yang terkait dengan akuakultur.

 


Secara ringkas ke-empat kriteria tersebut mengharuskan kegiatan budidaya dilakukan dengan cara yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan hewan air yang dibudidayakan; menjamin keamanan pangan sesuai prinsip yang ditetapkan oleh FAO/WHO Codex Alimentarius;  bertanggungjawab  terhadap lingkungan;  serta memperhatikan konvensi ILO tentang hak-hak buruh termasuk kesetaraan gender  dan tidak membahayakan penghidupan pekerja akuakultur dan masyarakat lokal. GAqP yang disepakati mencakup semua fase operasi budidaya, termasuk pra produksi, produksi, panen dan penanganan pasca panen sebelum transportasi.

 


Bagi dunia perikanan Indonesia sertifikasi merupakan hal yang tidak baru, baik di hulu (perikanan tangkap dan budidaya) maupun di hilir (pengolahan maupun dan ekspor). Sertifikat Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB); Sertifikat Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB); serta Sertifikat Cara Pembuatan Pakan Ikan yang Baik (CPPIB) merupakan sertifikat yang dipersyaratkan untuk perikanan budidaya.

 


Salah satu certifikat tersebut, yaitu CBIB telah diberlakukan sejak Januari 2008, yang berarti sudah berjalan 14 tahun. Ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya sertifikasi baik oleh Pemerintah maupun pelaku usaha budidaya.

 


Menyusul diterbitkannya ASEAN Shrimp GAP dan ASEAN GAqP maka pada tahun 2015 Pemerintah melalui Ditjen Perikanan Budidaya mulai merintis jalan untuk membuat skema IndoGAP  sebagaimana sudah dilakukan oleh negara ASEAN lainnya yaitu Vietnam dan Thailand.  IndoGAP dimaksudkan  sebagai penyatuan dari 3 sertifikat di bidang budidaya yang sudah ada, yaitu CPB, CBIB dan CPPIB.

 


Inisiatif tersebut kemudian diteruskan dengan mengikutsertakan IndoGAP, bersama VietGAP dan ThaiGAP dalam pilot benchmarking (pembandingan) dengan skema yang disusun oleh Global Sustainable Seafood Initiative (GSSI) yang didukung oleh FAO pada tahun 2015. Ini dilakukan terutama untuk untuk menyelaraskan IndoGAP dengan sertifikasi internasional dan diakui oleh pasar global.



Perlu Independensi
Hasil pembandingan menunjukkan bahwa CBIB (IndoGAP) masih perlu diperbaiki. IndoGAP hanya fokus kepada keamanan pangan dan dianggap belum memenuhi 3 kriteria lain yang disebutkan di atas. Namun yang lebih utama adalah IndoGAP belum bisa disejajarkan dengan skema GSSI (atau skema global lainnya) karena sertifikasinya masih dilakukan oleh pemerintah, bukan oleh pihak ketiga yang kredibel dan terakreditasi (accredited conformity assessment body). Dalam artikel terdahulu (edisi 120, Mei 2022) penulis telah menguraikan pentingnya sertifikasi oleh pihak ketiga ini.

 


Menindaklanjuti temuan tersebut Ditjen Perikanan Budidaya bekerjasama dengan Badan Standarisasi Nasional, kemudian melakukan perbaikan sehingga dapat merintis jalan diterbitkannya sertifikat IndoGAP dengan skema Standar Nasional Indonesia (SNI) yang memenuhi keempat kriteria di atas. Serangkaian SNI telah diterbitkan untuk kegiatan pembudidayaan ikan, yaitu SNI 8227-2015 untuk CPPIB, SNI 8035-2019 untuk CPIB, dan SNI 8228-2015 (Bagian 1-5) untuk CBIB (udang, rumput laut, ikan hias, ikan air tawar,  dan ikan dalam keramba jaring apung).  

 


Selanjutnya BSN mengeluarkan Peratunan BSN nomor 4 tahun 2021 tentang Skema Penilaian Kesesuaian Terhadap Standar Nasional Indonesia Sektor Pertanian, Perkebunan, Peternakan dan Perikanan, termasuk di dalamnya IndoGAP. Peraturan ini kemudian diperbarui pada 2022  (Per BSN nomor 4/2022) yang secara khusus menyebutkan bahwa Sertifikasi IndoGAP harus dilakukan oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk lingkup IndoGAP CPIB dan CBIB, berdasarkan SNI ISO/IEC 17065, dan telah ter-registrasi di KKP.

 


Di lingkup KKP pada tahun 2019 telah diterbitkan 3 Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya masing-masing nomer  215 (Petunjuk Teknis IndoGAP), 216 (Penggunaan Logo IndoGAP) dan 217 (LSPro IndoGAP). Selanjutnya dengan fasilitasi dari UNIDO melalui Smart Fish-2 Project, 3 UPT Ditjen Perikanan Budidaya pada tahun 2022 telah memperoleh akreditasi dari KAN sebagai LSPro IndoGAP, yaitu UPT Pengembangan Budidaya Takalar, Sukabumi dan Jepara.

 


Selain itu, sebanyak 1.700 tenaga penyuluh budidaya di Dinas Provinsi dan Kabupaten sudah mendapatkan pelatihan sehingga dapat membantu pelaku usaha mendapatkan sertifikasi IndoGAP. Dengan demikian, sertifikasi IndoGAP dapat dianggap telah siap untuk dilaksanakan.

 


Penerapan IndoGAP
Pelaku usaha budidaya telah mengikuti perkembangan rencana sertifikasi IndoGAP ini dan sebenarnya dengan antusias menyambutnya. Berdasar catatan dalam FGD tentang IndoGAP bulan November yang lalu, telah ada 41 pendaftar menunggu proses sertifikasi IndoGAP di LSPro UPT DJPB.  

 


Persaingan produk budidaya di tingkat global yang membutuhkan pengakuan melalui sertifikasi yang disetarakan dengan skema internasional telah menuntut pelaku usaha melakukan penyesuaian. Apalagi bila mengingat bahwa negara pesaing seperti telah mendahului melakukan sertifikasi yang diakui secara internasional. Di Vietnam, sejumlah farm (105) telah tersertifikasi oleh Aquaculture Stewardship Council (ASC), sedangkan di Indonesia baru  7 unit (5 udang dan 2 tilapia).

 


UNIDO melalui SMART-Fish Programme sudah merencanakan untuk melakukan benchmarking IndoGAP dengan GSSI (sebelumnya hanya pilot benchmarking) setelah IndoGAP secara penuh dilaksanakan. ASC juga saat ini dilaporkan sedang melakukan penjajagan untuk melakukan benchmarking IndoGAP.  

 


Bila ini berhasil, maka tentu akan semakin membuka jalan bagi pengakuan IndoGAP di pasar global. Pra syaratnya adalah IndoGAP sudah melalui sertifikasi pihak ketiga. Berdasarkan UU nomor 20/2014 dan PP 34/2019, disebutkan secara jelas bahwa sertifikasi berdasarkan SNI harus dilakukan oleh LPK/LSPro yang sudah diakreditasi.

 


Pembiayaan oleh lembaga pensertifikasi internasional memang mahal, mencapai ratusan juta rupiah. IndoGAP diklaim jauh lebih murah, bahkan bisa dilakukan untuk satu hamparan (kelompok) dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana disebutkan dalam PerBSN nomor 4 tahun 2022. DJPB juga sudah menyiapkan platform self declare untuk pembudidaya skala kecil.

 


Meskipun demikian, untuk sementara sertifikasi  IndoGAP belum berlanjut atau berhenti menyusul kebijakan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya melalui surat kepada Kepala Pengembangan Budidaya Takalar, Jepara, dan Sukabumi (Juli 2022) yang pada intinya menghentikan proses sertifikasi IndoGAP di ketiga Balai tersebut sebagai LSPro. Sertifikasi CBIB, CPIB, dan CPPIB dikembalikan kepada skema lama dan diproses di Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, melalui Direktorat Produksi dan Usaha Budidaya (CBIB), Direktorat Perbenihan (CPIB), dan  Direktorat Pakan dan Obat Ikan (CPPIB).

 


Sudah tentu Dirjen Perikanan Budidaya mempunyai pertimbangan yang kuat di dalam mengeluarkan kebjakan tersebut. Sebagai regulator di bidang perikanan budidaya, berbagai aspek sertifikasi, salah satunya aspek pembiayaan, mungkin memerlukan pemikiran ulang, terutama apabila dipandang memberatkan pelaku usaha secara keseluruhan, apalagi pelaku usaha skala kecil.

 


Meskipun demikian, dengan melihat antusiasme para pelaku usaha di dalam meningkatkan daya saing produk budidaya di pasar global, maka proses sertifikasi IndoGAP ini menurut hemat penulis sebaiknya dilanjutkan. Tentu dengan melakukan perbaikan terhadap hal-hal yang dipandang sebagai kendala. Apalagi mengingat IndoGap ini sudah dirintis cukup lama dengan mengerahkan sumberdaya manusia dan dana.  Jangan berhenti, mari tuntaskan apa yang telah dimulai.

 


Dosen Politeknik AUP Jakarta

 

 
Aqua Update + Kolom + Cetak Update +

Artikel Lain