Nila Unggulan Sesuai Kebutuhan

Nila Unggulan Sesuai Kebutuhan

Foto: trobos


Keragaman jenis ikan nila unggul diharapkan mampu menjadi alternatif jenis yang sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan budidaya 
 
 
Kalau diperunggasan ada ayam pedaging atau broiler, sementara dibudidaya perikanan komoditas yang disamakan dengan istilah tersebut yaitu ikan nila. “Ikan nila ini kan chicken of the water,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Slamet Soebjakto kepada Trobos Aqua beberapa waktu lalu saat wawancara khusus di ruang kerjanya, di Jakarta. 
 
 
Pernyataan Slamet tersebut mengacu pada begitu populernya ikan nila sebagai komoditas ikan konsumsi. Seperti ayam, ikan nila ini dibudidayakan di mana-mana dan dikonsumsi oleh siapa saja. Istilah tersebut juga mengacu pada seringnya masyarakat Indonesia mengkonsumsi ikan nila sebagai asupan protein.
 
 
Ikan dengan nama global tilapia tersebut merupakan salah satu ikan konsumsi unggulan air tawar. Selain karena tekstur dagingnya yang lembut dan tebal, ikan nila juga memiliki duri yang tidak banyak sehingga memudahkan dalam pengolahan dan konsumsinya. Karenanya ikan nila memiliki segmen yang sangat luas, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. “Nila ini merupakan ikan rakyat. Semua orang bisa makan. Termasuk untuk ekspor, karena dagingnya yang putih dan bisa di-fillet (daging tanpa tulang),” jelas Slamet. 
 
 
Di pasar global, ikan nila memang merupakan salah satu komoditas yang diharapkan dapat mengisi gap permintaan yang tinggi penyediaan protein hewani dari ikan. Menurut laporan “Fish to 2030” yang dirilis oleh Bank Dunia menyebutkan bahwa pada tahun 2030 diprediksi bahwa sumber protein ikan berasal dari budidaya, di mana sebagian besarnya merupakan ikan nila, mas, dan catfish. Pada tahun tersebut, produksi ikan nila global diprediksi akan mencapai hampir 8 juta ton. 
 
 
Di Indonesia sendiri, ikan nila sudah lama menjadi komoditas budidaya. Dalam perjalanannya hingga saat ini, nila merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki varietas atau strain paling banyak dibandingkan dengan ikan budidaya lainnya. Sebagian strain ada yang didatangkan dari luar negeri, tetapi tidak sedikit yang dikembangkan langsung di dalam negeri. 
 
 
Salah satu instansi yang fokus mengembangkan strain ikan nila adalah Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Wilayah Utara (CDKPWU) Jawa Barat Satuan Pelayanan Konservasi Perikanan Daratan (SPKPD) Wanayasa Purwakarta. Instansi yang semula merupakan Balai Pengembangan Benih Ikan Air Tawar Wanayasa ini secara konsisten telah menghasilkan generasi kedua ikan nila yang disebut nila ras wanayasa, atau yang lebih dikenal dengan sebutan ikan Nirwana. “Nila Ras Wanayasa ini salah satu jenis nila hitam. Asalnya memang dari bermacam-macam varietas,” ujar Dede Hermawan, Kepala CDKPWU Wanayasa. 
 
 
Selain dari Wanayasa, kata Dede, beberapa balai juga telah menghasilkan jenis ikan nila unggulan. Antara lain BBPBAT (Balai Besar Perikanan Budiaya Air Tawar) Sukabumi yang telang merilis nila Sultana (Seleksi induk Selabintana) dan GESIT (Genetically Supermale Indonesian of Tilapia), sementara Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor yang merilis nila BEST (Bogor Enhanched Strain Tilapia). Terbaru adalah nila salin yang dikembangkan oleh Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara yang dapat dibudidaya pada perairan payau. 
 
 
Menurut Slamet, hadirnya beragam jenis ikan nila dapat memberikan keuntungan kepada para pembudidaya di Indonesia. Pasalnya, wilayah yang luas dengan karakteristik perairan yang luas juga membutuhkan komoditas yang bisa adaptasi di segala tempat, baik perairan umum, perairan yang lebih dingin, bahkan perairan payau. “Nila sangat prospektif untuk itu. Bisa dibudidayakan di mana saja. Di perairan yang dingin kita punya strain yang hidup di suhu dingin. Nila salin yang di air payau 16 – 20 (ppt) kita juga punya,” ungkap Slamet. 
 
 
 
Menghasilkan Strain Baru
Untuk menghasilkan strain baru memang diperlukan konsistensi dan waktu yang lama. Dibutuhkan paling tidak 3 tahun untuk menghasilkan satu generasi strain ikan nila jika menggunakan metode seleksi famili. Menurut Dede, untuk menghasilkan strain baru bisa dilakukan dengan beberapa cara. Pada ikan nila biasanya menggunakan metode seleksi famili dan seleksi individu atau hybrid. “Yang paling bagus memang seleksi famili,” ungkap Dede. Metode seleksi tersebut lah yang digunakan oleh CDKPWU Wanayasa dalam menghasilkan strain unggulannya. 
 
 
Seleksi famili dilakukan dengan cara menggunakan beberapa varietas ikan yang unggul. Semakin banyak familinya, semakin bagus kemungkinan ikan yang akan dihasilkan. Berdasarkan cerita Dede saat ditemui di Wanayasa, pada mulanya balai tersebut menggunakan tidak kurang dari 35 famili ikan nila sebagai broodstock. Baik nila lokal maupun nila yang didatangkan dari luar seperti nila GIFT (Genetic Improvement for Farmed Tilapia) dan nila GET (Genetically Enhanced of Tilapia) yang berasal dari Filipina. Namun pada penggunaannya hanya 5 famili unggul saja. Sementara lainnya disimpan sebagai koleksi broodstock.
 
 
Lebih detail lagi Dede menjelaskan bahwa, setiap famili diambil lima pasang untuk dikawinkan. Dari hasil perkawinan tersebut diambil secara acak sebanyak 50 ekor untuk dipelihara hingga dewasa. Baru kemudian dipilih lagi sebanyak 10 – 20 ekor dengan pertumbuhan tercepat untuk digunakan sebagai induk penjenis atau Great Grand Parents Stock (GGPS). GGPS ini kemudian di-tagging untuk dipelihara dan dikoleksi. “Kita pisahkan, kita masuk dijaring sebagai koleksi dari famili selanjutnya,” imbuh Dede. 
 
 
GGPS ini kemudian diuji performanya hingga tiga kali generasi sebagai ulangannya dan menghasilkan Grand Parent Stock (GPS)  dan Parent Stock (PS) yang siap sebar ke masyarakat. Jika hasilnya sesuai dengan standar operasional pembuatan strain baru, maka nila tersebut diperbolehkan untuk dirilis ke masyarakat setelah dilegalkan oleh pemerintah, dalam hal ini KKP. “Nila Nirwana ini kita lakukan uji multilokasi, ada juga uji DNA” tutur Dede.
 
 
 
Pertumbuhan dan Tahan Penyakit
Pembuatan strain baru suatu komoditas tentunya harus menghasilkan kualitas yang lebih unggul dari strain yang ada. Sebagai komoditas budidaya, kecepatan pertumbuhan merupakan parameter penting yang disyaratkan dalam pembuatan strain unggul. “Permintaan masyarakat larinya ke situ (pertumbuhan),” ujar Dede. Bahkan tidak hanya bisa tumbuh lebih cepat, tapi juga bisa tumbuh lebih besar.
 
 
Oleh karenanya, ikan nila yang dikembangkan oleh Wanayasa memang difokuskan pada pertumbuhan. Menurut Dede, aturan pembentukan strain baru dalam perikanan budidaya harus bisa menghasilkan strain yang pertumbuhannya 30 persen lebih tinggi dibandingkan strain terbaik yang sudah ada. “Itu pembandingnya harus lebih dari nila GIFT. Sampai 30 persen lebih baik dari nila GIFT pertumbuhannya,” ujar Dede.
 
 
Untuk menghasilkan ikan baru dengan pertumbuhan 30 persen lebih cepat ini bisa dihasilkan melalui 3 generasi atau ulangan tadi. Selama 3 generasi pengujian tersebut, ikan harus mencapai pertumbuhan 30 persen lebih cepat dari pembandingnya. “Tiga puluh itu kan 3 generasi. Minimal satu generasi itu 10 (persen). Kalau satu generasi sudah 30 persen, itu bagus,” tambah Dede. Barulah setelah 3 ulangan itu sebuah strain baru bisa diajukan kepada pemerintah untuk diuji dan dirilis.
 
 
Salah satu pembudidaya ikan nila asal Tasikmalaya, Wahyu Setiawan, mengamini jika pertumbuhan merupakan parameter utama dalam memilih ikan. Hal ini tentunya dapat menghemat waktu budidaya. Menurut Wahyu, kebanyakan pembudidaya di daerah hanyalah pembudidaya skala kecil dengan luas lahan terbatas. Meski bisa saja pembudidaya mendapatkan marjin dalam usahanya, tetapi jika pembanding waktunya terlalu lama, maka masih bisa terbilang merugi.
 
 
“Ya sekarang katakan saja pembudidaya punya margin 2 juta dalam sekali panen. Tapi jika waktunya 3 bulan, tentu itu kelamaan,” ujar Wahyu. Makanya sebagai ketua unit pembenihan rakyat (UPR) Nila Bina Mekar, Wahyu memilih salah satu ikan strain unggul yang memiliki keunggulan dalam pertumbuhan. 
 
 
Selain pertumbuhan, parameter lain yang menjadi fokus pengembangan strain baru adalah ketahan terhadap penyakit. Menurut Dede, sebetulnya parameter perbaikannya bisa cukup satu saja pada pertumbuhan. Tetapi masalah penyakit pada budidaya nila, terutama yang disebabkan oleh Streptococcus juga tidak bisa dielakkan. Sehingga mau tidak mau ketahan terhadap penyakit ikut menjadi parameter perbaikan. 
 
 
 
Kiprah Swasta
Tidak hanya pemerintah, perusahaan swasta di bidang perikanan pun turut mengembangkan ikan nila. PT Central Proteinaprima (CPP) misalnya, perusahan perikanan terintegrasi ini sudah sejak tahun 1999 mengembangkan ikan nila untuk membantu para pembudidaya menghasilkan ikan nila berkualitas. Menurut Senior Manager Fish Hatchery CPP, Laode Abdurahman, pembuatan strain sendiri bertujuan untuk menghadirkan alternatif pilihan kepada para pembudidaya. “Kita kembangkan ini (nila CPP) bisa bermanfaat buat petani,” ungkapnya.
 
 
Senada dengan Dede, Laode juga menyampaikan bahwa fokus pengembangan strain nila CPP juga tidak lain untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan dan ketahanan terhadap penyakit dibandingkan dengan strain-strain yang sudah ada.  “Mereka (pembudidaya) bisa berproduksi dengan bagus. Dalam arti FCR-nya bagus. Kita gambarannya 10 – 20 persen lebih bagus dibanding lokal,” jelas Laode melalui sambungan telpon kepada Trobos Aqua.
 
 
Untuk ketahanan terhadap penyakit pun, lanjut Laode, nila CPP didesain untuk tahan terhahap Streptococcus. Karena menurutnya, bakteri ini acapkali menyerang ikan yang sudah masuk dalam fase pembesaran pada bobot 50 gram ke atas. Dampaknya pun bisa mematikan ikan. Di sisi lain, kata Laode, ada juga Irodovirus yang biasa menyerang pada stadia benih, namun efeknya tidak terlalu mematikan. 
 
 
 
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Aqua Edisi 76/15 September – 14 Oktober 2018
 

 
Aqua Update + Inti Akua + Cetak Update +

Artikel Lain