Foto: Dok. Istimewa
Presentasi Prof Esti
Jakarta (TROBOSAQUA). Berdasarkan data yang dikutip dari Aslan et al (2021), pada 1994 Kalimantan Timur tepatnya Delta Mahakam, memiliki hutan mangrove seluas 110 ribu hektar (ha). Sejalannya waktu, periode 2000 mulai adanya deforestasi mangrove disana. Akibatnya di 2015 terpantau luasan hutan mangrove di wilayah tersebut menyusut dan tersisa hanya 41.800 Ha.
“Dari 1994 hingga 2022, tercatat total luasan tambak yang telah dibuka di Delta Mahakam mencapai 10.645 Ha. Dimana tambak yang produktif adalah tambak-tambak berumur 10-13 tahun. Sedangkan rata-rata tambak di wilayah itu usianya kini lebih dari 22 tahun. Sehingga hampir lebih dari 50% tambak di sekitar Delta Mahakam adalah tambak yang tidak produktif dan ditinggalkan,” beber Prof Esti Handayani Hardi, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman.
Lanjutnya, tambak yang ditinggalkan begitu saja tanpa adanya pengelolaan lanjutan memberikan dampak negatif pada kondisi lingkungan dan kehidupan makhluk hidup yang ada disekitarnya. Seperti, terjadi penurunan kualitas air substrat dan sebagainya.
Jika itu telah terjadi, kata Esti, maka perlu diberlakukannya rehabilitasi ekosistem mangrove yang terbuka untuk tambak. Sejujurnya banyak cara dapat ditempuh, diantaranya bisa menerapkan silvofishery, integrated mangrove aquaculture, Associated Mangrove Aquaculture (AMA), dan Low External Input Sustainable Aquaculture (LEISA). “Kenapa perlu dilakukan rehabilitasi ekosistem mangrove,” perempuan itu melempar pertanyaan pada peserta Bincang Mina MAI #2 yang disiarkan secara online di Youtube beberapa waktu lalu.
Jawabannya, sambarnya cepat, karena mangrove memberikan banyak manfaat, termasuk di akuakultur. Manfaat mangrove di akuakultur, diantaranya: penyuplai nutrisi dan pupuk untuk kolam/tambak; tempat filtrasi dan pengendapan; sumber multi probiotik, prebiotik alami; desinfektan air; tempat berteduh, bertelur dan bereproduksinya ikan dan biota air lainnya.dian/edt/dini