Foto: Dok. TROBOS
Produsen benur menjadi ujung tombak dalam menghasilkan benur yang berkualitas untuk mendukung keberhasilan budidaya udang nasional
Untuk menghasilkan benur berkualitas, pihak hatchery atau produsen benur harus membangun fasilitas yang memenui standar. Disinilah peran para pelaku hatchery udang menjadi sangat krusial. Sejumlah kriteria khusu dalam membangun hatchery perlu dipenuhi.
Seperti diungkapkan General Manager PT Kona Bay Indonesia (Produsen Indukan Vannamei), Ari Setiardhi, dalam memilih lokasi unit pembenihan udang baiknnya mencari daerah yangkualitas airnnya relatif bersih dan jauh dari polutan industri, maupun kompleks pertambakan. Kualitas air laut yang di Indonesia yang umumnya masih baik di daerah tengah dan timur.
Hatchery Ideal
Namun menurut Pakar Perbenihan Udang, Bong Tiro, dalam membangun hatchery udang yang ideal lokasi sumber air yang berkualitas saja tidak cukup. Bong sendri mempriotas membangun hatchery yang lokasinya dekat sentra atau masih dalam radius yang tidak terlalu jauh denga target sentra tambak udang. “Kita bicara bisnis benur, jika benur diproduksi berkualitas tapi lokasinya juga jauh dari pasar sulit untuk berkembang,”ungkap Bong.
Lebih lanjut Bong menjelaskan,kriteria lain selain lokasi yang strategis juga penerapan teknologi dan fasilitas sesuai prosedur, biosekuriti, serta sumber daya manusia yang berpengalaman. “Kita butuh sumber daya manusia teknisi hatchery yang pengalaman, lalu sudah paham dunia teknologi digital dan mau bekerja di lapangan,” kata Bong.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pembenih Udang (APU), Waiso ikut berpendapat, untuk lokasi ideal kian sulit dicari. Hal ini akarena makin lama makin banyak sentra udang yang menjadi zona merah karena kandungan zat organiknya makin tinggi akibat pakan berlebihan dan minim pakan alami, limbah terbawa air sungai dari darat dan lain-lain yang memicu naiknya vibrio di perairan. “Karena itu ia menyarankan agar hatchery menyedot air laut agak ke tengah pada kedalaman 20 hingga 30 meter dari permukaan, di mana kandungan vibrionya lebih rendah,” kata Waiso.
Ia menambahkan, terkait tantangan penyakit pada produksi benur, boleh dikatakan hampir minim. Yang biasanya muncul penyakit yang disebabkan bakteri luminescent. Munculnya bakteri ini biasanya pada musim hujan saat zat-zat organik melimpah di perairan yang dibawa arus sungai dari darat.
Sementara menurut Wendy Tri Prabowo, Kepala Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem Bali, penularan penyakit pada produksi benur dapat terjadi dari sejumlah faktor. Faktor tersebut antara lai dari sumber induk/telur/naupli yang terinfeksi penyakit, pakan yang diberikan ke induk, pakan yang diberikan ke benur, media air yang digunakan, serta pengelolaan biosekuriti yang tidak tepat.
Dari sisi produsen benur, diungkapkan Dindin Abdul Kadir, selaku Marketing Prima Larvae Bali, pihaknya sangat memperhatikan standar kualitas benur yang diproduksi. Untuk mendapatkan hasil yang memenuhi standar, induk vannamei didatangkan dari beberapa tempat seperti Florida Amerika Serikat, dan ada juga berasal dari Prima Larvae sendiri.
“Selama 11 tahun berdiri, tidak pernah ada problem yang diakibatkan oleh penyakit dari benur itu sendiri. Sejauh ini yang kami hadapi hanya masalah-masalah kecil seperti kendala teknis serta pemadaman listrik. Namun semua bisa segera diatasi,” tambah Dindin.
Ia menambahkan, selain memperhatikan biosecurity, lokasi hatchery juga sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup benur. Oleh sebab itu hatchery dibuat berjarak dan jauh dengan tambak, agar risiko penularan penyakit dapat dihindari.
Selengkapnya Baca di Edisi 117/ 15 Februari - 14 Maret 2022