Dua “i” untuk Tumbuh Kembang Anak: Imunisasi dan Ikan

Dua “i” untuk Tumbuh Kembang Anak: Imunisasi dan Ikan

Foto: dok pribadi
ilustrasi ibu Bella dan anaknya, Puteri Aisyaffa, Faniti dan anaknya

Merujuk kepada kesehatan bayi baru lahir hingga usia dua tahun, dr Rose Kusuma SpAK mengatakan, usia tersebut paling krusial dalam proses berkembangnya organ-organ tubuh. Maka, anak-anak membutuhkan berbagai aspek pendukung.

“Kita bilangnya ada asah, asih, dan asuh. Anak dilatih tumbuh kembangnya, dijaga nutrisinya, dan untuk jaga kekebalan tubuh itu imunisasi bentuknya. Kita hanya mastiin makannya anak sehari tiga kali daging melulu, tapi gak imunisasi? Itu tetep rentan kena penyakit yang sebenarnya bisa dilindungi sama imunisasi. Jadi gak bisa kalau salah satu dianggap lebih penting (nutrisi vs imunisasi). Tapi dua-duanya mendukung (perkembangan anak),” papar dokter yang saat ini bertugas di RSUD Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

 

Imunisasi Menurut Orangtua

Definisi imunisasi anak, bagi Faniti, karyawan swasta sekaligus ibu seorang anak, merupakan kegiatan terjadwal yang sudah diatur di rumah sakit tempat dia melahirkan. Ia mengingat, bayinya mulai diimunisasi semenjak berusaha satu hari sesuai jadwal imunisasi yang dikeluarkan Ikan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

“Dan sebelum imunisasi, saya sudah ada komunikasi dengan dokter anak mengenai imunisasi ini. Yaitu tentang jenis imunisasinya apa saja, fungsinya apa saja, dan bagaimana penanganan setelah imunisasi. Sampai sejauh ini imunisasi yang telah diberikan antara lain; Hepatitis B, Polio, BCG (Bacillus Calmette-Guérin), DPT (difteri, pertusis, tetanus), Campak, PCV (Pneumococcal Conjugate Vaccine),” ungkap ibu satu orang putra berusia 4 tahun ini.

Imunisasi terhadap anak juga dilakukan Rubella Candida, ibu seorang putri berusia 4 tahun. Pertimbangan untuk melakukan imunisasi adalah untuk mencegah terserangnya penyakit.

“Pertimbangan kami (saya dan suami) untuk mengimunisasi anak ialah untuk mencegah anak terserang penyakit, dan jikalau kelak terserang penyakit bisa lebih kebal dalam memerangi penyakit tersebut. Sebab sudah dibentengi dengan imunisasi. Selain itu, imunisasi rutin lengkap digunakan sebagai prasyarat pendaftaran masuk sekolah dasar (SD) melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri Tahun 2022 antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi,” ungkap perempuan akrab disapa Bella ini.

Bella juga mengungkapkan, informasi mengenai imunisasi juga disampaikan mengenai efek yang akan dirasakan anak serta bagaimana cara penanganannya. Dia menyebut, biasanya setelah dilakukan imunisasi, dokter akan memberikan informasi bahwa anak bisa terkena demam ringan hingga nyeri di area suntikan.

“Namun ini wajar, sebab menandakan bahwa tubuh anak mulai bereaksi untuk membentuk antibodi. Selama ini, tidak ada efek samping yang ekstrim. Mungkin hanya demam dan si kecil agak rewel. Adapun cara kami mengatasinya ialah dengan membuat kondisi lingkungan/kamar nyaman, memakaikan baju yang tidak menyebabkan anak gerah, tetap diberikan susu, digendong, hingga dikompres. Kami sendiri jarang memberikan obat penurun demam usai imunisasi,” papar perempuan 29 tahun ini.

Antisipasi seperti ini diamini dr Rose, terlebih dibutuhkan ketenangan dalam menangani anak yang umumnya rewel ketika sehabis imunisasi. “Paling banyak efek yang terjadi itu nyeri pada bekas suntikan, demam dan kemudian rewel. Demam itu karena ada masukan zat asing ke tubuh, dan orangtua gak perlu panik. Yang penting ukur suhu berkala dan sedia paracetamol. Bila suhu sudah mencapai 38oC, minum paracetamol untuk menurunkan demam,” ujar dr Rose.

Kemudian, jika suhu masih di ambang batas normal, tidak perlu minum paracetamol dulu. Yang penting, saran dr Rose, adalah anak minum air yang banyak dan dikompres hangat untuk menurunkan demam.   

Selain itu, orangtua tidak hanya diberikan informasi, tapi juga  dipastikan kondisi anak fit. “Paling tidak selama 24 jam sebelum imunisasi itu kondisi anak terpantau fit, tidak demam. Karena nantinya jika ada efek demam misalnya setelah imunisasi, itu bisa rancu. Bisa demamnya karena efek imunisasi, bisa karena kondisi anak sudah tidak fit sebelum imunisasi. Makanya, kita lakukan penelusuran setelah itu. Makanya, jika terjadi efek-efek seperti itu, orangtua disarankan segera melaporkan kejadian tersebut ke tim vaksinasi. Sehingga dari situ, kita bisa lakukan penelusuran apa yang menyebabkan kondisi demam tersebut,” wanti-wanti dr Rose.

 

Pentingnya Imunisasi Tepat Waktu

Disamping itu, tutur dr Rose, waktu pemberian imunisasi pada anak pun haruslah tepat waktu. Jangan sampai telat, dan jangan sampai terlalu cepat.  Dimana di Indonesia sendiri, yang merupakan negara tropis, terang dr Rose, penyakitnya lebih banyak dan lebih padat penduduk, sehingga lebih padat jadwal imunisasinya dibanding negara lain.

“Dan berhubung jadwalnya, tetap dibutuhkan jangka waktu minimal antara vaksin 1 dengan vaksin selanjutnya (yang jenisnya sama). Rata-rata itu minimal 4 minggu, dan itu lebih baik ditepati. Kalau kurang dari 4 minggu, antibodinya (analogi sebagai tentara dalam tubuh) kalau dimasukin zat asing itu kan terlalu cepet, antibodinya naik. Nah misalnya, belum sampai maksimal satu bulan, terus di-booster lagi, kan mubazir,” papar dokter lulusan Spesialisasi Kedokteran Anak dari Universitas Indonesia ini.

Sebaliknya, kalau telat diberikan, risikonya anaknya terlanjur kena penyakit. “Kalau kita terlanjur nunggu jeda, kadarnya pasti menurun karena belum kuat banget tentaranya. Misalkan kita butuh seratus tentara dari imunisasi lengkap dan tepat waktu, vaksin pertama dia baru kebentuk 30 tentara, terus nanti mundur. Harusnya bulan kedua sudah DPT lagi, tapi si anak belum, jadi kadarnya pasti menurun. Dan ketika pas terkena penyakit, kan belum optimal banget tentaranya. Maka kondisi si anak tidak optimal untuk melawan penyakitnya,” papar dr Rose.

Faniti sebagai orangtua pun telaten mengikuti jadwal imunisasi ini. “Saya pantau dan kalaupun telat pun paling waktunya masih harian, tidak sampai berbulan-bulan. Karena dari dokter pun sudah menginformasikan risiko bila telat imunisasi ya. Makanya kita sebagai orangtua mesti jeli, saya dan suami dua-duanya kerja tapi suami mempercayakan semua soal imunisasi anak ke saya. Jadi kalau sudah jadwalnya imunisasi, pak su siap untuk mengantar,” terang perempuan 36 tahun ini sedikit bercanda.

Dan yang patut diperhatikan dan terus disosialisasi, tambah dr Unyar Leresati, SpAK, adalah kepercayaan orangtua yang tidak ingin anaknya diimunisasi. “Kadang kita bertemu dengan orangtua yang tidak mau anaknya diimunisasi dengan alasan macam-macam. Bisa karena anaknya tidak pernah sakit, atau percaya bahwa anak sakit setelah diimunisasi, hal ini bisa menimbulkan kekeliruan,” tukas dokter yang saat ini bekerja di RSUD Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

 Mindset seperti ini, jelas dr Unyar, keliru karena adanya prinsip herd immunity (kekebalan kelompok). “Misalnya, bisa jadi dalam satu komunitas, rata-rata anak di daerah itu sudah diimunisasi dari penyakit X. Dan orangtua yang menganggap anaknya tidak pernah sakit X, mendapat keuntungan karena di daerah tersebut sudah terbentuk herd immunity nya. Hal ini bisa menjadi pemikiran yang keliru karena ketika anak tersebut keluar dari komunitas tadi pindah ke komunitas lain, belum tentu tidak terserang penyakit X,” sebutnya.

Ia melanjutkan, ketika si anak pindah ke komunitas lain yang belum terbentuk herd immunity dari penyakit X, si anak bisa menghadirkan dan menerima risiko. “Di satu sisi, si anak bisa saja sudah tertular penyakit X dan kemudian menyebarkan penyakit X di komunitas baru tersebut. Hal inilah yang kadang meresahkan, karena seharusnya herd immunity harusnya menguntungkan bagi anak-anak yang memang tidak bisa diimunisasi, seperti pasien kanker,” seru dr Unyar.

Makanya dr Unyar menekankan betul pentingnya imunisasi. Selain untuk membantu imunitas anak yang diimunisasi, juga membantu membentuk herd immunity yang kemudian bisa membantu anak-anak yang tidak bisa diimunisasi.

 

Protein dalam Bentuk Ikan

Untuk memenuhi asupan gizi serta mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak, sebaiknya imunisasi dilakukan beriringan dengan kecukupan nutrisi seperti yang sudah dijelaskan oleh Kementerian Kesehatan terkait dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Dikatakan Puteri Aisyaffa, SGz, RD/Brand Manager Wellness and Registered Dietitian,kedua komponen ini dapat saling mendukung untuk memberikan kekebalan tubuh yang maksimal dalam mendukung pertumbuhan pada tubuh anak secara optimal.

Salah satu nutrisi yang dibutuhkan adalah protein. Nutrisi satu ini menjadi salah satu sumber gizi utama untuk tubuh anak. “Protein membantu untuk meningkatkan proses pertumbuhan anak; baik dari segi pertumbuhan tinggi badan maupun sebagai asupan pertumbuhan otak dan kecerdasan. Protein juga dapat menjadi tambahan energi untuk anak agar bisa tetap aktif setiap harinya,” terang ahli nutrisi yang akrab disapa Aisya ini.

Selain itu, terang Aisya, protein juga merupakan zat makro yang berfungsi sebagai reseptor yang dapat mempengaruhi fungsi DNA sehingga merangsang atau mengendalikan proses pertumbuhan. Ia melansir dari berbagai sumber, semakin tinggi dan baik kualitas protein yang dikonsumsi maka semakin tinggi juga kadar insulin (IGF-1) yang bertugas sebagai mediator pertumbuhan dan pembentukan matriks tulang.

“Ada pula penelitian yang menyatakan bahwa mengkonsumsi protein yang bersumber hewani dapat meningkatkan pertumbuhan menurut usia (HAZ, LAZ dan WHZ). Intervensi yang dilakukan untuk mendorong anak-anak mengkonsumsi ASF lebih tinggi dapat berpotensi mengurangi stunting karena peningkatan konsumsi protein hewani 1 gr saja dapat menambahkan tinggi badan menurut usia sekitar 0,02 perbulannya. Dengan meningkatnya tinggi badan secara langsung dapat menurunkan angka prevalensi stunting,” sebut Aisya.

Dan dalam asupan protein ini, sambung dr Rose, orang tua yang berkonsultasi kerap kali kurang aware terhadap kebutuhan protein dalam makanan anak. “Terutama setelah ASI ya, atau sebagai MPASI nya. Saya kerap menanyakan menu makanan anak terdiri dari apa saja,” ucapnya.

Apalagi, ia jelaskan, ASI merupakan sumber makanan paling sempurna dan berkualitas untuk bayi. Lantas itulah, MPASI, setidaknya harus mengandung nutrisi yang setara dengan ASI tersebut. “Kadang orangtua bercerita anak dikasih sayur-sayuran, pisang kerok. Lantas saya bertanya, proteinnya mana?,” cerita dr Rose.

Makanya dia mengatakan, protein harus hadir dalam tiga kali menu makanan anak setiap harinya. Khususnya protein hewani, karena menurutnya protein hewani mengandung asam amino esensial paling lengkap untuk pertumbuhan organ-organ tubuh anak.

“Apa saja itu, saya katakan apa saja. Bisa telur, entah telur puyuh, ayam, bebek; kemudian daging ayam, sapi; ikan, baik ikan darat, ikan laut, apa saja protein hewani itu mesti masuk dalam menu anak tiap harinya,” tegas dr Rose.

Lanjut dr Rose, terkait protein hewani dari ikan, orangtua biasanya mengeluh takut anak alergi. “Nah itu justru harus kita telusuri dulu, dari mana asal alerginya,” tukasnya.

Karena, terang dr Rose, alergi anak belum tentu dari menu makanan padat MPASI nya. Bisa jadi dari lingkungan sekitar atau dari ibunya. “Misalkan, si ibu makan makanan tertentu dan dari makanan itu kandungannya masuk melalui ASI yang diberikan ke anaknya. Dan si anak alergi terhadap kandungan zat tersebut. Kita coba telusuri dan kita sarankan coba si ibu pantang makanan tersebut dan dilihat apakah si anak betul-betul muncul alergi dari zat tersebut,” paparnya.

Dan dari pengalaman yang ia temui, kerap kali orang tua juga mengeluh ketakutan alergi terhadap ikan laut. “Itu juga mesti kita telusuri, benar atau tidak. Jika betul alergi ikan laut, coba ganti dengan ikan darat. Jangan sampai gara-gara itu, tidak mau dikasih ikan lagi, atau malah tidak mau dikasih protein hewani lagi ke anaknya. Jangan sampai itu terjadi, karena protein itu sangat penting untuk kebutuhan gizi anak,” lagi-lagi dr Rose mengingatkan.

Ia pun berpesan, agar protein hewani apa yang paling ia sarankan untuk dikasih ke anak-anak selepas ASI. “Untuk para orangtua, sangat kita anjurkan kalau bisa protein hewani itu dalam bentuk alami. Kalau bisa jangan kasih yang sudah dalam bentuk sosis, atau bakso, dan pangan-pangan olahan pabrikan yang sudah diberikan pengawet. Karena biasanya makanan awetan ini, selain mengandung bahan pengawet, juga mengandung kadar garam tinggi,” pesannya.

Sementara, imbuh dr Rose, kadar garam tinggi bisa mengganggu fungsi ginjal anak. “Anak-anak itu fungsi ginjalnya belum berkembang selayaknya orang dewasa. Masuknya pangan mengandung kadar garam tinggi akan membuat ginjal bekerja lebih keras, dan mengganggu fungsi ginjal anak yang belum berkembang dengan baik,” jelas lulusan Kedokteran Universitas Diponegoro Semaran ini.

Bumbu-bumbu tambahan seperti garam dan gula, sebaiknya diberikan secukupnya untuk sekedar memberi rasa dan makanan menjadi tidak hambar. “Gula, ataupun garam hanya untuk memberi rasa. Kalau si anak sudah bisa menerima rasa makanan seperti itu, tidak usah dikasih tambahan apa-apa. Yang penting gizi makanan itu bisa terserap oleh tubuh anak,” ungkapnya.

Bagi orangtua sendiri, terang Bella, ia percaya bahwa selain imunisasi, asupan protein juga memegang peranan dalam menjaga kekebalan tubuh anak. “Orang tua tidak boleh hanya mengandalkan imunisasi sebagai tameng kesehatan anak. Namun juga harus di-maintain dengan pemberian asupan protein hewani, seperti daging ayam, sapi, ikan. Kemudian telur, baik telur ayam maupun puyuh, hingga susu terutama susu segar yang dipasteurisasi/melalui pemrosesan yang steril. Menurut kami, dengan imunisasi dan asupan nutrisi yang baik akan memberikan proteksi ganda untuk kesehatan anak, yang mana di dalam raga yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Bonusnya adalah anak menjadi cerdas,” tutupnya.dini/edt

Dilansir dari siloamhospitals, imunisasi wajib dari IDAI dan Kementerian Kesehatan terdiri dari

  1. Usia 0–6 Bulan
  2. Hepatitis B
  3. DPT
  4. BCG
  5. HiB
  6. Polio
  7. PCV (pneumokokus)
  8. Rotavirus 
  9. Usia 6–12 Bulan
    • Influenza
    • Japanese Encephalitis (JE)
    • MMR
  10. Usia 12–24 Bulan
    • Hepatitis A
    • Varisela
  11. Usia 2–18 Tahun
  12. Tifoid
  13. Dengue
  14. HPV

 
Aqua Update + Aqua Update + Cetak Update +

Artikel Lain