Angkasa Putra dan Sarifah Aini : Keunikan Endemik dan Hipotesis Evolusi Ikan Bilih

Angkasa Putra dan Sarifah Aini : Keunikan Endemik dan Hipotesis Evolusi Ikan Bilih

Foto: 


Secara fundamental, interpretasi penulis mengindikasikan bahwa ikan bilih berasal dari Sumatera, yang sebelumnya merupakan bagian dari Sundaland (wilayah biogeografis di Asia Tenggara jutaan tahun lalu) dalam konteks yang lebih luas. Namun, kenyataannya sekarang, ikan ini terpisah dari enam spesies lainnya dari genus yang sama (Mystacoleucus), kecuali M marginatus yang masih dapat ditemukan di beberapa ekosistem tawar di Pulau Sumatera.

 

M marginatusmenjadi spesies yang pertama kali dilaporkan dan memiliki penyebaran yang lebih luas dibandingkan dengan enam spesies lainnya. Tetapi, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai nenek moyang spesies bilih ini untuk menjawab hipotesis yang telah diuraikan oleh penulis. Hal ini disebabkan oleh kurangnya penelitian yang secara spesifik mengeksplorasi hubungan genetik antara spesies dari genus Mystacoleucus.

 

 

Identifikasi

Dalam mempelajari hipotesis ini, penulis memulai dari identifikasi etimologi ikan bilih yang dalam bahasa Minangkabau berarti ‘iblis’ atau ‘setan’. Namun asal nama ikan ini sebetulnya adalah pelafalan Minang untuk ‘bilis’ yang mengacu pada ikan-ikan kecil sejenis teri. Meskipun bentuknya mirip satu sama lain, keduanya sebenarnya memiliki kekerabatan yang sangat jauh.

 

Secara ilmiah, ikan bilih dikenal dengan nama Mystacoleucus padangensis (Bleeker, 1852). Pieter Bleeker (10 Juli 1819 - 24 Januari 1878), seorang dokter dan ahli ikan (iktiologi), merupakan individu pertama yang mempublikasi jenis-jenis ikan yang hidup di Indonesia. Pada 1916, 64 tahun setelah 1852, Weber, M dan L F de Beaufort memberikan deskripsi lebih lanjut tentang ikan ini.

 

Mereka menggambarkannya sebagai ikan kecil berwarna putih, dengan panjang total mencapai 116 mm. Sisik-sisiknya berjumlah 37-39 buah dengan gurat sisi, dan moncongnya dilengkapi dengan dua sungut kecil atau tidak ada. Ditemukan juga duri kecil yang mengarah ke depan di muka sirip punggung, yang kadang-kadang tersembunyi di bawah sisik.

 

Lebih lanjut, ikan bilih memiliki tinggi tubuh di awal sirip punggung sekitar 3½ kali panjang standar (panjang tanpa sirip ekor), sementara panjang kepala berkisar antara 4-5 kali panjang standar. Pangkal sirip punggung sejajar dengan awal sirip perut, sekitar berada pada sisik gurat sisi ke-12 atau ke-13, dan terpisah dari belakang kepala oleh 12 sisik.

 

Rumus sirip punggung adalah IV (jari-jari keras, duri); 8-9 (jari-jari lunak, bercabang); sirip dubur III.8; sirip dada I.14-15; dan sirip perut II.9. Jari-jari keras terakhir pada sirip punggung memiliki gerigi di sisi belakangnya. Sirip perut hampir sepanjang sirip dada, tidak mencapai anus, dan dipisahkan oleh tiga deret sisik dari gurat sisi. Batang ekor dikelilingi oleh 18 sisik. Bentuk ekornya menggarpu dan sirip-siripnya memiliki ujung meruncing. Sisik-sisik berwarna perak, dengan tepi hitam pada sirip punggung dan sirip ekor.

 

Sundaland dan Asal Ikan Bilih

Asal-usul ikan bilih kemudian ditarik kembali hingga ke masa lampau dengan melibatkan konsep ilmiah pergeseran benua. Konsep ini pertama kali diusulkan oleh Alfred L Wegener dalam bukunya yang berjudul ‘The Origin of Continents and Oceans’ pada 1912.

 

Teori pergeseran benua menyatakan bahwa benua-benua di bumi bergerak, membentuk superbenua yang disebut Pangea, dan kemudian terpecah menjadi benua-benua yang ada saat ini. Lebih spesifiknya, pada sekitar 225 juta tahun yang lalu, terjadi fase pembentukan superbenua Pangaea.

 

Fase selanjutnya adalah pemisahan benua, terjadi sekitar 200 juta tahun yang lalu pada periode Triassic. Pangaea mulai terpecah menjadi dua benua besar, Laurasia di belahan Utara dan Gondwana di belahan Selatan. Proses ini berlanjut melalui periode Jurassic (150 juta tahun yang lalu) dan Cretaceous (65 juta tahun yang lalu), hingga menghasilkan konfigurasi benua yang kita kenal saat ini.

 

Selain teori pergeseran benua, kita juga memahami sejarah geologis melalui penggunaan istilah skala waktu geologi. Rentang waktu ini dimulai dari Hadean, eon geologis pertama dan tertua sekitar 4.6 miliar tahun yang lalu, hingga masa sekarang.

 

Pada masa Pleistosen, sekitar 2,58 juta hingga 11.700 tahun yang lalu, terdapat wilayah yang mencolok bernama Sundaland atau paparan Sunda. Sundaland adalah wilayah biogeografis di Asia Tenggara yang melibatkan daratan lebih luas yang terungkap selama 2,6 juta tahun terakhir, ketika permukaan laut lebih rendah. Wilayah ini mencakup Bali, Kalimantan, Jawa, dan Sumatra di Indonesia, serta pulau-pulau kecil di sekitarnya, dan Semenanjung Malaya di daratan Asia.

 

Istilah Sundaland pertama kali diperkenalkan pada 1919 oleh Gustaaf Adolf Frederik Molengraaff, seorang ahli geologi dari Hindia Belanda. Pada 1921, Molengraaff menyajikan penelitiannya yang menyatakan bahwa kedalaman laut yang hampir seragam di wilayah ini menunjukkan keberadaan dataran yang terbentuk melalui erosi berkepanjangan, sebagai hasil dari peristiwa banjir besar saat lapisan es mencair. Setiap peristiwa banjir tersebut terjadi secara berturut-turut, membentuk kondisi geologis yang khas di Sundaland.

 

Beberapa catatan ilmiah juga menunjukkan bahwa daerah aliran sungai Sundaland mengalami evolusi selama dan setelah Pleistosen, yang mencerminkan preferensi ekologis dan pola penyebaran makhluk hidup yang hampir identik dengan sistem modern. Ikan air tawar di Asia Tenggara memberikan wawasan mengenai hubungan antara perubahan permukaan laut pada masa Pleistosen di kawasan Sundaland.

 

Selain itu, fluktuasi iklim Pleistosen diakui sebagai pendorong diversifikasi dan pola distribusi spesies, yang berkontribusi pada pengembangan pola kekayaan spesies dan endemisme yang heterogen. Fluktuasi iklim ini disebabkan oleh interaksi dinamis antara gerakan tektonik dan osilasi orbit bumi, yang mengakibatkan fluktuasi suhu rata-rata dan iklim global.

 

Perlunya penelitian lebih lanjut demi menjawab ‘ke-eksis-an’ spesies endemik di wilayah Sumatera Barat ini

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 143/ 15 April - 14 Mei 2024

 
Aqua Update + Almamater + Cetak Update +

Artikel Lain