Memacu Laju Bisnis Ikan Susu

Memacu Laju Bisnis Ikan Susu

Foto: Dok. Pribadi


Ikan susu, terjemahan dari milkfish, Chanos chanos. Bandeng, nama tradisionalnya. Dagingnya putih dan sisik perak mengkilap. Konon, ikan ini menjadi ikon kolam kerajaan Majapahit, sekaligus menjadi hidangan istimewa kerajaan.

 

Di balik penampilannya itu, ikan ini perlu sentuhan tangan midas untuk memacu laju bisnisnya, melalui kebijakan yang lebih tajam. Agar industrialisasi budidaya, pengolahan dan pemasaran luar negeri mengalami gebrakan.

 

Mungkin, perlu belajar dari Filipina, bangus (sebutan populer bandeng di negeri itu) dijadikan national fish. Hasilnya, bandeng menjadi makanan penting, di rumah tangga. Bahkan selalu tersaji di rumah makan elite sampai kaki lima. Juga di rak-rak perbelanjaan, dari bentuk segar, beku sampai olahan awetan. Dari kemasan plastik (ikan asap, marinasi, dll) sampai kalengan.

 

Ketua Asosiasi Pelaku Usaha Bandeng Indonesia (Aspubi), Mumfaizin Faiz menyatakan, pemerintah perlu mempromosikan gizi ikan bandeng secara lebih gencar. Citranya pun perlu dinaikkan.

 

“Ternyata total protein salmon dan bandeng itu sama, 20 gram per 100 gram. Salmon itu diimpor, dari Norwegia, Rp 250 ribu – Rp 300 ribu. Sedangkan bandeng yang kualitas bagus harganya hanya Rp 25 ribu – Rp 30 ribu/kg, dengan ukuran 2-3 ekor/kg. Kasus stunting tidak akan terjadi kalau masyarakat sadar, ada sumber protein bagus yang murah, yaitu bandeng,” ungkap dia pada Aquabinar #21 “Kiat Memacu Si Ikan Susu” yang digelar oleh TComm dan TROBOS Aqua (15/11) melalui kanal Youtube AgristreamTV.

 

Pasar Bandeng

Untuk pasaran bandeng nasional coba diungkapkan Darsam SM, pembudidaya bandeng asal Indramayu-Jawa Barat. Menurutnya, per Oktober lalu produksi bandeng tahun ini menurun. Tapi, bukan hanya karena kondisi seperti cuaca.

 

“Jumlah produksi bandeng sebenarnya sejak tahun ini jumlahnya lebih menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bukan dikarenakan kemarau yang panjang, tapi dikarenakan sejak tahun ini, tidak hanya bandeng dan udang yang dipelihara di satu wadah. Melainkan juga, ditambahkan rumput laut jenis Gracilaria. Ini dilakukan karena harga rumput laut cukup bagus, yakni mencapai harga Rp 7.000-7.500 per kgnya,” ungkap Kang Kaji, sapaan akrab Darsam, kepada TROBOS Aqua.

 

Sejak juga membudidayakan rumput laut, ia menyebut, jumlah bandeng yang ditebar sekarang turun 30% dari biasanya. “Misal, biasa tebar benih sebanyak 10 ribu ekor. Sekarang paling 3 ribu ekor. Untuk harganya sendiri, bandeng itu dipengaruhi total panen. Jika jumlah panen sedang melimpah, harga bandeng cenderung turun yakni hanya Rp 20 ribu per kg. Tapi kalau jumlah panennya sedikit seperti saat ini, harganya dapat mencapai Rp 30 ribu per kg,” ujar Kang Kaji via sambungan telepon.

 

Lain cerita kalau Imlek, lanjut laki-laki yang sejak kecil sudah berkecimpung di dunia bandeng itu. Ia menjelaskan, apabila ditotal dengan kelompok tani yang ada, jumlahnya panen bandeng dapat mencapai 100 ton.

 

“Saat Imlek, harga bandeng sedang bagus atau jelek, pokoknya seluruh bandeng yang ada tetap dipanen. Kalau tidak dipanen saat itu juga, si bandeng saat dijual ke pasar malah tidak akan laku. Karena ukuran ikan yang terlalu besar. Yakni berat per ekornya dapat mencapai 1 kg lebih,” jelas Kang Kaji.

 

Lain lagi di Tarakan – Kalimantan Utara (Kaltara). Menurut Faiz, bandeng beku size 500 g per ekor harganya hanya Rp 24 ribu – Rp 25 ribu per kg. Tentu harga bandeng segarnya lebih murah.

 

Sebab, sambung Faiz, di luar Jawa seperti Tarakan itu bandeng dibudidayakan tanpa pakan oleh para petambak, metode yang diperoleh secara turun temurun. Mereka  mendapatkan cara budidaya bandeng dari orang tuanya. Ibaratnya, cukup tebar benih, berdoa, dan tunggu hingga panen.  Terlebih sangat jarang ditemukan penyakit pada bandeng.

 

Menurut Faiz, bandeng masih mengandalkan pasar domestik, sehingga sangat rentan terhadap usikan suplai. Di pantai utara Jawa Tengah, jika ada mobil pengangkut panenan bandeng masuk ke pasar beriringan, harga bisa langsung jatuh seketika. Maka mobil pengangkut masuk pasar diatur satu per satu.

 

Usamah Umar, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pembudidaya Perikanan Buleleng (P4B)-Bali menyatakan, berbeda dengan Filipina, meskipun petambak panen berton-ton sehari, mereka tidak panik dengan serapan pasarnya. Konsumsi mereka sangat tinggi dan merata. Unit-unit pengolahan pun banyak, dari skala kecil sampai pabrik pengalengan.

 

Sambung Usamah, barangkali yang hampir menyamai Filipina adalah Sulawesi, bandeng sudah mendarah daging. Ikan bolu yang merupakan olahan bandeng dijajakan di sepanjang jalan besar. Dia berpendapat Indonesia  perlu lebih gencar promosi bandeng, bersama Direktorat Pemasaran Dalam Negeri Kementerian Perdagangan dan Direktorat Pemasaran Kementerian Kelautan dan Perikanan.

 

Berdasar penelusuran TROBOS Aqua, beberapa produsen lokal sudah merilis bandeng kalengan di Indonesia. Diolah dengan berbagai cita rasa, seperti balado, sambal cabe hijau / merah, sambal mercon khas Yogyakarta.

 

Pencarian dengan kata kunci “bandeng kaleng” pada beberapa marketplace, hasilnya didominasi 2 brand, de Chanos dan Bandeng Rawe. Harga perkalengnya bervariasi, mulai Rp 20 ribuan – Rp 30 ribuan per kaleng bobot 150-an gram. Brand Oenak produksi Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) Pati – Jawa Tengah dibanderol produk bandeng pedasnya seharga Rp 50 ribuan per kaleng bobot 250 gram.

 

Adapun pasar ekspor juga sudah digarap, termasuk oleh Faiz. “Sejak 2016 saya aktif ekspor bandeng ke Korea dan Timur Tengah. Pembeli saya dari Korea, mereka dulu beli dari Filipina, namun pindah ke Indonesia, karena pasokan sering terganggu akibat taifun. Bandeng ukuran kecil diekspor untuk non konsumsi, sebagai umpan tuna. Bandeng ukuran sedang 100 g – 500 g untuk konsumsi domestik. Sedangkan ukuran besar 500 g – 800 g dan 800 g – 1000 g untuk pasokan ekspor. Pesaing kita Malaysia, Taiwan dan Filipina,” dia menjelaskan.

 

Faiz mengatakan, ekspor tidak selalu dalam bentuk bandeng beku utuh. Bandeng cabut duri (bacari) dan belly meat (fillet tanpa kepala dan ekor) sudah diekspor ke Timur Tengah dan Korea. Di dalam negeri, bandeng ukuran besar diakuinya sudah ada pasarnya, untuk resto dan olahan, namun volumenya masih kecil.

 

Faiz menepis anggapan bandeng cabut duri itu kalsiumnya jadi hilang total. Kalsium tidak sepenuhnya hilang, tetap masih ada hanya kadarnya berkurang. Hal itu tidak perlu dipermasalahkan, karena tujuan utama makan ikan adalah memperoleh asupan protein.

 

Limbah duri bandeng juga dapat diolah lebih lanjut menjadi abon. Dikatakannya, kebutuhan bandeng cabut duri (bacari) di pasar domestik pun sangat tinggi, khususnya untuk pasar resto. “Contohnya D’Cost itu tiap hari 5 ton, sebelum pandemi. Sayangnya sekarang permintaan belum pulih,” sebut Faiz.

 

Namun, dinyatakan Faiz, bagaimanapun pasar bandeng duri lunak masih paling populer, di pasar eceran, warung makan, pusat oleh-oleh hingga swalayan. Secara tradisional, bandeng duri lunak dihasilkan dari pengukusan dengan suhu tinggi dan waktu lama, antara 3-5 jam. Belakangan, pemasakan lebih cepat menggunakan panci presto / panci bertekanan tinggi.

 

Disebutkannya, olahan bandeng duri lunak memiliki keunggulan, kadar kalsium tinggi. Protein masih bagus, namun vitamin-vitamin cenderung berkurang. Kekurangannya, mayoritas bandeng duri lunak sudah dibumbui lengkap, tinggal goreng saja.

 

Bagi pasar luar negeri, justru membuat tidak luwes karena tidak dapat dimasak dengan citarasa yang berbeda. “Pasar ekspor minta yang  plain (tanpa dibumbui), supaya bisa dimasak dengan bumbu sesuai selera mereka,” sebut Faiz.

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 138/ 15 November -14 Desember 2023

 
Aqua Update + Inti Akua + Cetak Update +

Artikel Lain