Pakan, Pusat Perhatian Sedunia

Pakan, Pusat Perhatian Sedunia

Foto: Dok. TROBOS


Situasi pakan dan pasar perikanan global sangat dinamis sehingga bisa mempengaruhi langsung situasi perikanan nasional
 
Beberapa waktu lalu, dilakukan seminar roadshow di tiga negara, yakni Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Dalam diskusi ini, Daranee Seguin, Aqua Business Unit Director, SEA of Phibro Animal Health Corporation menjelaskan tentang sektor perikanan saat ini begitu concern terhadap efisiensi pakan.
 
Daranee melihat pada 2023 ini, biaya pakan komoditas perikanan menjadi perhatian utama bagi pihak yang terlibat. Yang kemudian diikuti oleh pencegahan penyakit, akses pasar, kualitas pakan, serta faktor lain-lain seperti biaya produksi, penerimaan konsumen, dan lain-lain. 
 
Perhatian di perpakanan juga diamini Rizky Darmawan, CEO PT Delta Marine Indonesia. Ia menjelaskan tentang pertambakan udang yang saat ini begitu concern terhadap efisiensi pakan. 
 
“Karena pakan memang merupakan faktor pengarah biaya produksi terbesar,” ungkap Rizki sembari menjelaskan peran pakan dalam inovasi tambak dalam inovasi dan teknologinya. Rizky mengkalkukasi dengan membedah faktor-faktor biaya produksi tambak udang, dimana pakan menempati 43% biaya produksi. 
 
Mengapa Concern pada Pakan?
Perhatian lebih pada pakan, ditelusuri Ronnie Tan, Regional Aquaculture Consultant of US Grains Council Malaysia. Bila terjadi dinamika pada kondisi bahan baku pakan, maka akan berpengaruh besar pada suplai bahan baku pakan nasional hingga harganya. Begitu pula dengan pasar global, seperti harga produk udang. Dimana khususnya harga udang Indonesia selalu terpengaruh hebat dari kondisi pasar global.
 
Berkaca dari situasi perudangan, Ronnie Tan menjelaskan tentang data yang ia dapat dari Tan and Lucien-Brun, AquaExpo Guayaquil 2022. Dalam data ini, ia mempresentasikan perbandingan data perudangan global sebelum dan pasca Covid 19. 
 
Dimana, produksi Ekuador pada 2019 lalu, baru mencapai 670 ribu ton, sementara India bisa memproduksi hingga 770 ribu ton, China 700 ribu ton, dan Vietnam 530 ribu ton. Untuk 2022, Ekuador terus berproduksi hingga 1,15 juta ton dan China menjadi 950 ribu ton, serta Vietnam juga naik menjadi 700 ribu ton. Sementara India menjadi kisaran angka 700 ribu ton.
 
Yang menarik dari arus perudangan global, terang Ronnie, adalah rantai suplai udang antar negara. Ketika harga di konsumen cenderung meningkat, harga di petambak menurun ketika produksi udang meningkat. 
 
“Ada ketidakcocokan di sini. Suplai versus permintaan global sudah tidak hanya faktor penentu harga lagi. Rantai suplai menjadi faktor penting, karena ada faktor panen dari kolam atau tambak menuju tempat prosesing; kemudian didistribusikan melalui kontainer, kapal, dan pelabuhan; hingga mencapai negara tujuan,” terang Ronnie dalam roadshow yang digagas US Grains Council ini.
 
Kemudian dari sisi pakan, ucap Ronnie, berperan dalam mendukung rantai suplai ini. Karena saat ini diketahui, harga pakan pembesaran dengan komposisi protein 36% bisa mencapai 1,25 USD (sekitar Rp 19.227) per kilogram (kg). “Harganya, sepertinya tidak bisa kembali seperti sebelum Covid. Dan akhir-akhir ini, harga udang di petambak menurun, tapi biaya pakan meningkat,” ungkapnya.
 
Ia mencontohkan kawasan yang paling terdampak dinamika harga adalah Asia. Dimana, karena penyakit, tingkat kelangsungan hidup (SR) rata-rata udang hanya berkisar 55-60%. Dengan inefisiensi produksi, yaitu biaya pakan dan energi yang tinggi; biaya produksi meningkat di Asia. 
 
“Per 2019 lalu, biaya produksi per kg untuk ukuran 60 (60 ekor per kg), berkisar 3,4 USD (Rp 52.597). Sedangkan pada 2022 lalu, biaya produksi per kg nya 3,7 USD (Rp 56.911),” ujar Ronnie.
 
Faktor Pengaruh Hemat Pakan
Membaca arah pembicaraan efisiensi ini, Dean Akiyama, Aquaculture Technical Advisor, mengungkap bahwa petambak tentu akan mengarah ke dalam penghematan atau efisiensi penggunaan pakan. Dean lantas mengulik tren pakan udang saat ini. 
 
Ia memaparkan, situasi saat ini formulasi pakan udang akan lebih hemat jika; area tempat bahan baku dekat dan murah, sesuai dengan spesifikasi pasar dan nutrisinya, ada aturan dalam pemrosesan pakan. Karena, biaya formulasi merupakan hal yang kritis mengacu pada standar kualitas pakan. 
 
Dan jika melihat perkembangan industri pakan waktu ini, Dean mencatat bahwa standar kualitas pakan udang sudah melampaui fasilitas produksi (tambak) dan kemampuan petambak (manajemen tambak). Sehingga, belum ada inovasi besar-besaran dalam pakan udang, dimana standar nutrisi pakan dikembangkan secara konsisten. 
 
Dengan industri, lebih banyak berfokus pakan isu penyakit dan peningkatan kualitas genetik udang.“Di lapangan, nyatanya terdapat faktor-faktor penentu seperti faktor biologi dan teknologi yang diaplikasikan di tambak yang berpengaruh terhadap asupan pakan udang,” beber Dean. 
 
Faktor-faktor eksternal ini, ia jelaskan selaras dengan pola kehidupan udang. Yang mana, udang ini, merupakan organisme poikilotermal, dimana metabolisme udang tergantung suhu air tempat hidupnya. Suhu pagi dan sore akan bervariasi tergantung kawasan dan cuaca, seperti angin, hujan, dan awan. 
 
Level percampuran akan mempengaruhi suhu air, antara lapisan atas dan bawah. Tiap 1 oCelcius akan berpengaruh pada 8-10% perbedaan dalam pertumbuhan. Misalkan suhu 30 oCelcius, udang akan tumbuh 15% lebih cepat dibanding di suhu 28 oC. Dan dengan udang tumbuh 15% lebih cepat akan membutuhkan masukan nutrisi yang lebih tinggi.
 
Selanjutnya, terang Dean, adalah faktor bahwa udang berhabitat di air payau atau asin. Yang mana, keseimbangan osmosis udang ada di 25 ppt, dengan udang budidaya di kisaran level 2-35 ppt. 
 
“Sebagai catatan, level salinitas sulit dikontrol di tambak. Dan level salinitas nantinya akan berpengaruh pada ketersediaan nutrien dan konsumsp pakan. Diatas atau dibawah 25 pp, daya cerna udang terhadap nutrien akan menurun. Dan daya cerna yang menurun, membutuhkan masukan harian nutrien yang lebih tinggi,” urainya.
 
Dengan keterkaitan asupan nutrien ini, Dean mengatakan, udang butuh kualitas air yang lebih baik untuk performa maksimal. Di lain sisi, udang saat ini dikembangbiakkan untuk performa pertumbuhan maksimum. “Padahal pertumbuhan itu adalah secama stres atau tekanan pada udang,” tegas Dean.
 
Sementara bila ingin memelihara udang dengan penggunaan energi yang sedikit, parameter kualitas air haruslah stabil. Dalam hal ini parameter air tersebut antara lain; DO (oksigen terlarut), pH, salinitas, dan transparansi.
 
“DO ada parameter yang paling kritis. Level DO yang rendah akan mengurangi aktivitas dan metabolisme. Udang mungkin tidak mati tapi tidak bisa tumbuh maksimal. Level DO harus diatur diatas 6 ppm. Dan level DO yang lebih tinggi akan butuh asupan nutrien harian yang lebih tinggi pula,” paparnya.
 
Lalu, ada faktor FCR dan feeding rate. Yaitu, beber Dean, pertumbuhan udang paling cepat dan FCR paling rendah memiliki asupan nutrien harian yang berbeda. Kuantitas yang dikonsumsi, bukan kuantitas yang diberikan. 
 
Asupan nutrien harian untuk FCR paling rendah sekitar 85% dari asupan nutrien harian untuk pertumbuhan paling cepat. Faktor yang berpengaruh dalam hal ini adalah rataan pemanfaatan area kolam, bisa mempercepat pertumbuhan; kemudian 15% waktu lebih lama yang dibutuhkan untuk panen ukuran yang sama, pertumbuhan akan lebih lambat; serta kawasan Asia utara dan selatan. FCR akan sangat dipengaruhi manajemen pakan yang tepat dan level konsumsi pakan dan sebagian karena kualitas pakan.
 
“Tidak ada kebutuhan pasti untuk nutrien harian udang karena kondisi tambak itu outdoor. Simpelnya, udang butuh lebih, udang akan makan lebih,” ucap Dean.
Sementara bagi Rizky, untuk efisiensi langsung di lapangan, apakah penggunaan alat pemberian pakan otomatis (autofeeder). Apa berpengaruh dalam manajemen pakan? Rizky menjawab iya. “Berdasar pengalaman kita di lapangan, autofeeder (alat pakan otomatis) memberi pengaruh FCR lebih rendah, kualitas air lebih baik, dan pertumbuhan udang lebih cepat,” beber Rizky.
 
Protein Menjadi Faktor Pembatas?
Lantas, bila petambak atau pembudidaya berusaha untuk efisiensi langsung dalam manajemen kolamnya, apa yang bisa diefisiensikan dari pakan atau formulasinya? Apalagi, jika menilik, proses untuk pembuatan pakan ikan atau udang sendiri berputar secara global, dengan bahan baku yang berasal lintas negara.
 
Dean menggambarkan, standar pakan saat ini untuk vannamei dan monodon, adalah protein minimum untuk vannamei sekitar 30-35% sementara monodon 36-40%. Untuk kandungan lemak minimum ada di kisaran 5-7% dan monodon 6-8%. 
 
Serat maksimal untuk vannamei 4%, untuk monodon 3%; kandungan abu maksimum 15% di vannamei, dan 20% di monodon; serta kelembapan maksimum 12% di vannamei, dan 12% di monodon. Dibedah lebih dalam, nutrisi yang terkandung dalam pakan untuk udang baik vannamei atau monodon terdiri dari lisin, metionin, arginin, threonin, DHA, EPA, hingga fosfolipid, fosfor, dan potasium.
 
Yang patut dipertimbangkan, tambah Dean, adalah protein dan lemak bukanlah nutrisi yang dibutuhkan dalam pakan. Semua hewan butuh asam amino seperti lisin dan metionin; asam lemak seperti DHA dan EPA; energi; seperti nutrien esensial lainnya. Palatabilitas (tingkat kesukaan) maksimum dan konsumsi pakan itu penting seperti apapun kondisi lingkungan dan status kesehatan hewan.
 
“Bila ada yang bilang konten protein pakan lebih tinggi itu lebih baik? Hal ini sebetulnya tidak benar. Karena di Indonesia, rata-rata petambak menggunakan pakan dengan kisaran protein 30% dan masih mampu mencapai 0,3 gram pertumbuhan udang harian (ADG). Bila kita bedah, lebih banyak protein, akan menyebabkan lebih banyak feses atau limbah, sehingga menjadi kurang lestari (sustainable),” ungkap Rizky.
 
Nutrisi Pakan 
Khusus untuk ketepatan prosesing pakan, terang Dean, udang butuh pakan dengan kestabilan kandungan air. Homogenitas campuran pakan merupakan titik kritis. Udang dengan berat 20 gr akan makan hanya 0,35 gr pakan per hari. Kuantitas pakan ini seharusnya sudah memiliki semua kebutuhan harian nutrien esensial.
 
“Seiring kita yang tidak dapat mengontrol masukan harian pakan udang dari pakan, pakan tersebut haruslah sudah memiliki berbagai syarat. Yaitu; sudah seimbang nutriennya, palatabilitasnya tinggi, dan mudah dicerna (digestible), dan dengan total nitrogen dan fosfor yang lebih rendah untuk lebih memelihara kualitas air tambak. Secara teori, pakan padat yang nutriennya lebih rendah, akan memiliki nilai FCR lebih tinggi jika diatur dengan cara yang baik,” ungkap Dean.
 
Terkait kandungannya,imbuh Dean, bagi pabrikan pakan, akan menjadi lebih sulit dan mahal untuk membuat pakan dengan protein lebih rendah dengan jumlah EAA yang sama dan fosfor. Lebih sulit dan mahal ini jika dibandingkan dengan pakan berprotein tinggi dengan total fosfor yang lebih tinggi.
 
Untuk produksi pakan komoditas ikan sendiri, yang patut dipertimbangkan adalah kebutuhan nutrien, pemanfaatan bahan baku, optimalisasi biaya, serta keberlangsungan atau kelestarian. Daranee mengungkap, untuk kebutuhan nutrien, patut diperhatikan aspek fungsional, lingkungan, sistem budidaya, hingga spesies dan siklus hidupnya dengan tujuan akhir untuk optimalisasi pertumbuhan dan kesehatan.
 
Ia kemudian menjelaskan rekomendasi nutrisi, asam amino, serta asam lemak untuk komoditas ikan budidaya. Mendasarkan Furuya et al (2023), Daranee memaparkan, perbandingan rekomendasi nutrien dari ikan Asian seabass (kakap putih), tilapia, pangasius, serta ikan mas. Dari segi protein, untuk kakap putih ada 38-44%, tilapia 29%, pangasius 25-30%, dan ikan mas 32%.
 
Sementara, imbuh Daranee, untuk kebutuhan asam lemak esensial n-3 LC-PUFA  (DHA dan EPA), ikan mas dan tilapia itu dibutuhkan walau belum dikaji lebih dalam. Sedangkan untuk pangasius butuh sekitar 0,4-0,6; kakap putih butuh 1 (DHA), kerapu butuh sekitar 1, serta african catfish butuh 0,65 (Tocher et al, 2015). 
 
Pertimbangan pemenuhan kebutuhan mikronutrien dan pakan aditif dalam pakan ikan terdiri dari level rekomendasi dan pilihan atau tambahan. Dimana, ungkap Daranee, menurut Lall (2018), faktor-faktor yang mempengaruhi adalah nilai kebutuhan yang telah diujicoba; koreksi bioavailabilitas, masukan energi, kondisi lingkungan dan fisiologis; margin kemanan suplemen mikronutrien; serta efek tambahan seperti kualitas produk, fungsi imun, pencegahan penyakit, daya cerna, dan pigmentasi.
 
 
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 136/15 September -14 Oktober 2023

 
Aqua Update + Inti Akua + Cetak Update +

Artikel Lain