Tebar Benur Windu Bermutu

Tebar Benur Windu Bermutu

Foto: 


Luar biasanya potensi udang windu (Penaeus monodon) di tanah air merupakan harta karun yang perlu dioptimalkan produktivitasnya. Karena itu untuk meningkatkan produksi dengan pertumbuhan cepat perlu benur bermutu.
 
Pakar sekaligus pengusaha hatchery udang windu Bong Tiro mengatakan, di Sulawesi Selatan (Sulsel) saja terdapat 110 ribu ha tambak tradisional yang potensial untuk dikembangkan menjadi areal budidaya udang windu. Lalu sekitar 139 ribu ha di Kalimantan Utara (Kaltara), belum lagi di Kalimantan Timur (Kaltim), pantai utara Jawa, Lampung dan daerah lainnya.
 
“Persoalan yang dihadapi dalam mengoptimalkan budidaya udang windu, benur dari indukan alam berkualitas rendah sehingga pertumbuhan lambat dan SR rendah. Lalu keterbatasan permodalan karena hampir semua petambak udang windu merupakan petambak tradisional,” ujar Bong Tiro yang pada saat diwawancara melalui kanal zoomeeting sedang berada hatchery udang windu Mitra Sejahtera (MS), Kabupaten Baru, Sulsel yang disewa Bong.
 
Diakui Mr Bong, induk udang windu dari alam di Indonesia sangat kurang, bahkan boleh dikatakan hampir habis, meski banyak yang bilang windu merupakan udang asli Indonesia karena memang udang spesifik perairan Pasifik. Demikian pula di negara lainnya, seperti Taiwan yang dulunya indukannya nomor satu dari sampai 1985-an. Di negara ini berkembang pesat teknologi breeding dan budidayanya, namun sekarang indukan dari alamnya juga habis.
 
Untuk mengatasi keterbatasan indukan dari alam dan mendapatkan benur yang bermutu, Bong bersama grupnya mengimpor breeder (indukan udang windu) dari Buana Hawai, Amerika Serikat. Perkembangannya cukup bagus dan sejak Oktober 2022 sudah memproduksi nopli guna dipasok ke sejumlah hatchery, termasuk di Sulsel.
 
“Saat ini sudah 4 tahun kerja sama dengan Buana Technologi Hawai yang sudah 20-an tahun mengembangkan breeding windu. Buana Technologi melakukan perbaikan genetik udang windu di Big lsland Hawai dengan hasil genetik yang cukup bagus,” lanjutnya. 
 
Bong sendiri mengimpor indukan dengan berat rata-rata berat 120 gram/ekor seharga 120 dolar AS/ekor. Indukan tersebut dikirim ke Pulau Seram dan Aceh. Produksi noplinya sukses, tetapi karena mahal, akhirnya diambil keputusan untuk membeli calon induk.
 
Menurut Bong, teknologi breeding dan hathcery Buana Technologi sudah maju. Indukan udang windu dari Buana sudah SPF. Sudah banyak genetik indukan windu yang dikembangkan Buana, sebab mereka melakukan perbaikan genetik. Selain line fast growth, juga dikembangkan genetik yang tahan penyakit, yakni WSSV. Sudah ada perbaikan, tetapi tidak berarti udang tersebut resisten penyakit 100 %.
 
“Mereka ambil sumber indukan dari mana-mana, seperti dari Thailand dan negara-negara Pasifik lainnya, baru breeding. Pertumbuhannya luar biasa, kita sudah coba dengan kepadatan 100 ekor/meter2, dengan pemeliharaan selama 3 bulan menjadi 30 gram dari PL-10 di BMC di Banten,” urainya.
 
Perusahaan ini juga sudah ekspor breeding windu ke Vietnam. Kerja sama pemerintah Vietnam dengan Buana sukses sehingga budidaya udang windu maju di Vietnam. Lalu, India juga mengembangkan windu besar-besaran. Bahkan Buana kekurangan pasokan indukan ke India. 
 
“Vietnam yang juga mengimpor indukan dari Buana sudah sukses, tapi Indonesia ragu-ragu untuk menjalankannya. Bahkan negara produsen udang lainnya, seperti Bangladesh juga ikut mengembangkan udang windu,” ungkapnya. 
 
Selain Buana Hawai, CP Thailand juga mengembangkan indukan windu. Mr Bong juga menjajaki kerjasama dengan CP Thailand. “Sebab kita terus mencari breeding-breeding line yang mampu melawan penyakit. Kalau pertumbuhannya sudah cukup bagus. Kita ingin windu seperti vannamei yang sudah ada fastgrowth line, balance dan resistent. Di vannamei perbaikan genetik sudah sukses. Di windu harus tetap dicari sumber-sumber genetik yang bagus, pertumbuhan bagus dan tahan penyakit.” 
 
Karena tidak mendapat dukungan penuh dari pemerintah, maka pasar PL (benur) windu masih seret. Petambak udang windu masih banyak memasok PL dari hatchery backyard yang harganya lebih murah, yakni Rp 27/ekor karena menggunakan indukan lokal dari laut. 
 
Sementara hatchery yang noplinya dari indukan impor menjual benur dengan harga Rp100/ekor. Padahal dari sejumlah uji coba yang dilakukan di Sumbawa dan Banten, produksi windu yang benurnya bermutu cukup tinggi dan pertumbuhannya juga lebih cepat.
 
Ruslan, mitra Bong menimpali bahwa kerjasama dengan Buana Technology diteken di Thailand pada 2019. Pada awal 2022, daerah-daerah yang potensial mengembangkan windu, seperti Kaltara, Kaltim dan Sulsel mulai dipasok benur windu. 
 
 
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 133/15 Juni - 14 Juli 2023
 

 
Aqua Update + Inti Akua + Cetak Update +

Artikel Lain