Prospek & Tantangan Investasi Budidaya Udang

Pada tahun 2021 devisa ekspor hasil perikanan tercatat $US 5,2 miliar dan dariudang sebesar $US 2,23 miliar. Angka ininaik sekitar 19 persen dibanding devisatahun 2020 yaitu $US 2,04 miliar, meskipun saat itudunia sedang dilanda pandemic Covid-19. Kenaikadevisa lebih disebabkan oleh meningkatnya ekspor udang dalam bentuk olahan ready to eat dan ready to cooke atau siap saji dan siap masak antara lain udang kupas beku (udang cooke beku) dan udang dibalut tepung roti (breeded).

 


Persaingan Global
Volume ekspor udang mengalami peningkatan yang signifikan yaitu dari 208 ribu ton di tahun 2020 dan naik menjadi 250 ribu ton di tahun 2021. Dan diperkirakan akan terus naik seiring dengan meningkatnya kebutuhan udang dunia. Kebutuhan udang dunia di tahun 2021 diperkirakan mendekati 6 juta ton dan kemampuan suplai sekitar 5 juta ton. Diantaranya Ekuador 1,1 juta ton, China 0,8 juta ton, India 0,7 juta ton, Vietnam, 0,6 juta ton, Indonesia 0,5 juta ton, serta Thailand 0,4 juta ton.

 


Selebihnya berasal dari negara di Amerika Latin, Afrika, dan Asia lainnya. Dimana saat ini sedang mengembangkan produksi udang budidaya dengan cara-cara baru, berdaya saing dan berkelanjutan, yang dikhawatirkan bisa saja menjadi kompetitor baru.

 


Ekuador merupakan contoh negara kecil bergaris pantai 2.700 km yang kini menjadi produsen utama dunia, dengan produksi 1,1 juta ton atau 20 persen terhadap produksi dunia. India bergaris pantai sekitar 8.700 km kini mampu menjadi  produsen utama ketiga sekitar 800 ribu ton. Dan yang menarik adalah Vietnam dengan garis pantai hanya 3.200 km, kini negara ini mampu menjadi produsen utama ke 4 dunia, dan sekaligus menjadi importir udang terbesar di Asia untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahannya, dan kemudian diekspor kembali. Termasuk impor dari Indonesia di tahun 2022 ini.

 


Menurunnya daya beli masyarakat dunia karena krisis global sebagai dampak perang Rusia - Ukraina menjadi salah satu sebab harga udang dunia terutama di triwulan empat tahun 2022, merosot tajam. Kondisi ini menjadi pukulan telak bagi industri udang nasional, dan utamanya usaha budidaya.
Amerika Serikat (AS) merupakan negara yang warganya suka dan terbiasa mengkonsumsi udang, utamanya produk setengah jadi maupun jadi.

 

 

Tidak heran kalau menjadi tujuan pasar dari produsen udang dunia. Indonesia tercatat sebagai salah satu pemasok utama dan sekitar 70 persen produk udang Indonesia dipasarkan ke negeri Paman Sam ini, Ekuador dan India unggul pada ukuran besar mengisi pasar AS. Hal ini karena lebih efisien dalam biaya produksi dikarenakan menerapkan teknologi budidaya tradisional, dan semi intensif yang mengandalkan pakan alami, berdampak kepada biaya
produksi yang lebih bersaing.

 


Selain itu, dalam budidaya negara itu menerapkan teknologi two step yaitu benur sebelum dibesarkan di tambak pembesaran (grow out) terlebih dahulu dikarantinakan di tambak nursery (pendederan) yang ukurannya 20 persen dari grow out selama 3 - 4 minggu. Dengan cara seperti ini udangnya lebih kuat dan cepat tumbuh ketika berada di grow out. Dan semakin menarik lagi bahwa di negara itu telah tersedia pilihan benur yang secara genetik tumbuh lebih cepat sehingga lebih memperkuat daya saingnya.

 

 

Berbeda dengan Indonesia, sekitar 80 persen dari produksi udangnya menggunakan teknologi semi dan intensif. Umumnya belum terapkan konsep two step, dan benur yang didatangkan dari hatchery udang, pembenihan, langsung di tebar di tambak grow out. Selain itu hatchery di Indonesia umumnya masih tergantung impor induk udang dari Hawai dan Florida yang karakter genetiknya adalah balance yaitu seimbang antara laju pertumbuhan dan daya tahan. Belum lagi pakan induknya berupa cacing laut disinyalir tidak bebas penyakit yang bisa tertransformasi secara vertikal terbawa benur.

 


Target & Tantangan Investasi
Bila ditinjau dari potensi sumber daya alam yaitu panjang garis pantai terpanjang ke dua sekitar 100 ribu km atau 35 kali Ekuador. Memiliki luas wilayah perairan laut terbesar, merupakan negara kepulauan beriklim tropis, seharusnya negeri ini berpeluang menjadi produsen udang terbesar dunia.

 


Berkaitan dengan niat, keinginan untuk menjadi terbesar, Pemerintah melalui KKP telah memproyeksikan program peningkatan produksi udang dmaupun nilai sebesar 250 persen, yaitu menjadi 2 juta ton di akhir tahun 2024 dari 800 ribu ton di 2020. Bahkan peningkatan produksi dan devisa dari udang itu menjadi salah satu major project dalam RPJMN 2019 - 2024 yang seharusnya jadi payung hukum pengembangan regulasi maupun investasi komoditi ini di pusat maupun daerah. Seretnya investasi di hulu, produksi di tambak dan di hilir menjadi salah satu hambatan, sehingga target itu belum sesuai harapan. Produksi udang nasional pada tahun 2021 diperkirakan baru mencapai 900 ribu ton (KKP,2022), dari target 2 juta ton tersebut.

 


Hambatan dan tantangan investasi terutama di sektor usaha budidaya antara lain Pertama, pendekatan klaster dalam industrialisasi udang belum sepenuhnya bisa dilakukan. Komponen input produksi seperti benur, pakan dan sarana prasarana lainnya, serta hilirisasi saat iniumumnya di
Pulau Jawa. Sementara wilayah potensial budidaya berada di luar Jawa.

 


Kondisi ini menyebabkan inefisiensi dalam biaya logistik maupun mutu udang. Waktu yang dibutuhkan untuk tiba di pabrik dari Kalimantan maupun Sulawesi antara 4 - 7 hari. Dengan demikian ada perbedaan harga yang diterima pembudidaya di Jawa dan luar Jawa mencapai selisih hingga 10 ribu rupiah.

 


Gagasan mengembangkan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Pangan berbasis vannamei di setiap pulau besar Indonesia yang disampaikan dalam seminar dan temu bisnis dalam rangka Harkanas ke - 9 di Kab Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah, dinilai memiliki relevansi dengan upaya klsterisasi dalam rangka membangun daya saing.

 


Kedua, usaha budidaya dipandang oleh lembaga keuangan kategori high risk. Padahal yang menjadi soal utama adalah faktor inefisiensi karena belum klaster. Selain itu bunga pinjaman investasi dinilai masih tinggi dan termasuk salah satu tertinggi di Asia Tenggara. Sudah saatnya ada insentif bagi sektor swasta yang berkeinginan berinvestasi di luar Jawa di sektor hulu, budidaya dan hilirnya. Peran Pemerintah dalam mempersiapkan infrastruktur dasar seperti listrik, jalan, pelabuhan, air bersih tentu menjadi bagian dari percepatan tujuan klasterisasi tersebut.

 

 

Ketiga, kesiapan sumber daya manusia analisis dan operator dalam pengembangan industrialisasi udang menjadi hal yang tidak kalah pentingnya. Dan pengembangan pendidikan vokasi yang terukur dan berdaya saing menjadi penting. Tidak lagi sekadar mendirikan sekolah vokasi. Diharapkan lebih banyak sektor swasta yang membuka pelatihan singkat dalam transformasi inovasi teknologi, seperti halnya,dilakukan oleh pemain besar dalam industri,udang,dalam negeri.

 


Keempat, kolaborasi antara pakar dan praktisi dalam melahirkan inovasi dan teknologi akan menjadi bagian yang tidak kalah penting dalam memberikan kepercayaan bagi lembaga keuangan maupun calon investor. Ini juga terlihat yang dilakukkan di Ekuador, India, serta Vietnam. Kelima, regulasi perizinan usaha dinilai masih berbelit, dan masih ada sanksi dalam regulasi tertentu yang berisiko pidana. Seharusnya kepada tindakan administratif berupa pembinaan, pembekuan serta pencabutan izin. Sanksi pidana kenyataannya jadi pintu masuk mengkriminalisasi pelaku usaha di sektor hulu, hilir
dan utamanya pembudidaya. Dan ini oleh sejumlah kalangan dinilai salah satu faktor menghambat investasi.

 


Terakhir diyakini bahwa Indonesia bisa menjadi terbesar apabila bisa mengeleminir faktor penghambat investasi serta bisa mewujudkan pendekatan klasterisasi di dalam pengembangan industrialisasi udang yang terukur dan berkelanjutan. Persaingan bukan lagi diantara pelaku usaha, diantara pakar dan praktisi tetapi menjadi persaingan antar negara. Kompak, terbuka dan komitmen yang sama menjadi kunci dari semua itu, SEMOGA. TROBOS

 
Aqua Update + Anjungan + Cetak Update +

Artikel Lain