Regulasi diharapkan bisa mendukung kondisi sektor kelautan dan perikanan agar program yang dirintis bisa berjalan secara optimal
Hilirisasi yakni pasar yang merupakan permasalahan klasik dari dulu sampai sekarang. Tapi, menurut Susilo Hartoko, Ketua Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI), di tengah-tengahnya ada regulasi terkait UPI (Unit Pengolahan Ikan). Mereka harus diberikan kemudahan-kemudahan supaya tidak memberatkan bagi yang di tengah (UPI) itu.
Karena di tengah (UPI) ini sebenarnya nanti akan menentukan di hilirisasinya. Kalau berbicara dari olahan tentu harus ada keseimbangan mulai dari hulu, tengah (UPI) sampai hilirnya.
Menurut Ketua APCI, kondisi tersebut sudah menjadi hukum alam. “Jadi kalau berbicara terintegrasi, tentunya harus diawali dari hulunya harus dibenahi terlebih dulu. Kalau misalnya kita memiliki barang bagus, bahan bakunya bagus, terus kemudian berkualitas dan murah, tentunya di tengahnya (UPI) akan bisa memproduksi produk murah dan berkualitas. Sampai akhirnya di di hilirnya kita bisa menjual produk yang murah dan berkualitas. Nah, kuncinya sebenarnya ada di hulunya dulu. Itu yang harus dibenahi,” ia mengingatkan.
Susilo Hartoko mengakui, sebenarnya APCI sudah mengupayakan banyak hal melalui asosiasi. Yang pertama APCI akan ada sharing pengetahuan dari percontohan agar bisa diimplementasikan ke pembudidaya yang lain. Hal itu salah satu bentuk upaya dari aspek intensifikasi teknologi. Terus yang keduanya, APCI juga melakukan riset terkait permasalahan-permasalahan di budidaya. Misalnya, ikan masih bau lumpur, apa yang menyebabkannya dan bagaimana cara mengatasinya.
“Kita sekarang dalam upaya melakukan riset yang nantinya akan berpengaruh kepada nilai jual. Yang ketiga, kepercayaan customer terhadap bahan baku yang berkualitas dan memiliki nilai jual yang cukup signifikan,” sambungnya.
Hilirisasi Terkait Olahan Ikan
Budhi juga menyampaikan, pemahaman hilirisasi untuk perikanan itu bisa sangat berbeda dengan hilirisasi sektor lain, misalkan pertambangan. “Sangat berbeda karena dalam perikanan itu tidak semua yang lebih diolah itu bisa bernilai tambah. Ada yang diolah nilainya jadi naik, tapi ada juga yang diolah tapi nilainya malah turun. Misalkan udang black tiger, yang utuh dengan kepala itu kan nilainya tinggi banget. Kalau dipotong kepalanya kan nilainya jadi turun, apalagi dikupas malah gak bernilai,” urainya.
Jadi, menurut Budhi, tidak semua ikan itu harus diolah. “Saya berharap di instansi pemerintah bisa betul-betul memilah dan mencari komoditas yang kalau diolah semakin bernilai tambah. Jangan dipaksakan semua harus diolah, nanti malah blunder,” wantinya.
Yang menjadi sasaran nilai tambah, ungkap Budhi, adalah melihat tren pasar dalam produk frozen (beku). Ia melihat, semakin banyak pasar yang meminta produk frozen. “Produk frozen ini sangat meningkat, terutama begitu Covid-19 kemarin. Banyak orang tidak keluar rumah sehingga akhirnya mereka bisa menerima produk frozen. Yang awalnya, agak susah karena konsumen maunya ikan yang fresh terus dan sebagainya, tapi sekarang konsumen sudah mulai menerima,” imbuh Budhi.
Tren lain, sambungnya, adalah produk ready to cook dan ready eat. Dimana, produk olahan ikan itu tinggal dimasak atau bahkan tinggal dimakan yang di dalamnya sudah ada juga bumbu tambahan, contohnya produk ikan lele bumbu kuning
Kemudian, tren permintaan ke arah retail pack. Terutama untuk pasar retail sekarang konsumen banyak meminta packing ukuran kecil yang bisa sekali masak. “Biar praktis, sementara dulu kan biasanya udang (contohnya), packing 1 atau 2 kg. Sekarang malah gak laku, yang laku untuk pasar pasar retail ya bisa ukuran 100-200 gr. Alasannya, orang satu kali masak atau rumah tangga gitu kan ngapain beli satu kilo, mending beli di supermarket di packing kecil 200 gr,” jelasnya.
Itulah kesimpulan Budhi dalam gambaran tren pasar di konteks hilirisasi ini. “Nah itu tren pasar, nanti program hilirisasi itu ke arah sana,” papar Budhi.
Program Makan Bergizi
Terkait program makan bergizi (PMB), Ali Kukuh, Ketua Shrimp Club Lampung (SCL) berharap protein hewaninya tidak saja dari unggas dan ruminansia, juga dari udang mengingat protein udang sangat tinggi sehingga sangat membantu peningkatan kecerdasan anak-anak. Lagi pula Ketua SCL menjamin kesinambungan dan volume pasokan bahan bakunya berupa udang beku semua size.
Selain itu, Ali menerangkan, dengan menyajikan menu udang kepada anak-anak tentu sekaligus kampanye atau sosialisasi makan udang. “Kita berharap ke depannya daya serap udang di dalam negeri menjadi meningkat. Seperti di China, rakyatnya doyan makan udang. Hanya di sana yang disukai adalah udang kecil dan diolah dari udang hidup,” ucapnya.
Sebab kalau hanya mengandalkan pasar ekspor, menurut Ali, persaingan dengan sesama negara produsen sangat ketat. Apalagi pasar utama udang Indonesia yakni AS belakangan ini banyak perang sehingga mengganggu ekonomi negaranya.
Diakuinya, memang salah satu upaya menggerakkan ekonomi AS yakni harus ada negara yang berperang sehingga bisa menjual senjata. Tetapi hal ini juga berpengaruh terhadap ekonomi negaranya secara keseluruhan. Ali berharap Presiden Donald Trump nantinya benar-benar berupaya menggerakkan ekonomi di dalam negerinya sehingga daya serap udang AS kembali naik.
Ditambahkannya, informasinya pengusaha China berminat untuk investasi di bidang cold storage udang di Indonesia sebagai upaya meningkatkan impor udang dari Indonesia. Ali berharap lokasinya di Lampung karena lama perjalanan udang dari tambak ke cold storage maksimal 2 jam bisa terpenuhi di daerah ini.
Perlunya kebijakan pemerintah guna mempermudah pasar ekspor juga disuarakan APCI. Ketua Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI), Susilo berharap KKP mempermudah dan menyederhanakan regulasi yang merupakan permasalahan klasik.
“Terkait regulasi-regulasi tersebut, jangan sampai teman-teman merasa dibebani. Contoh kasus ketika berbicara ekspor, kita harus memiliki profile number. Nah, itu kan harus sistemnya kolektif. Sementara kalau menunggu kolektif, belum tentu dari perusahaan lainnya juga akan segera mengurusnya. Kami harapkan sistemnya bisa gesit dan gerak cepat. Ini kadang-kadang menjadi kendala,” bebernya.
Dicontohkannya, ketika mau ekspor ikan ke Korea ternyata ada regulasi harus mendaftarkan perusahaan secara kolektif. Sementara kita menyelesaikan proses pengkolektifan, pembeli sudah menunggu.
Ketika prosesnya tertunda akan mempengaruhi kepercayaan pembeli. Itu salah satu contoh kasus yang berpengaruh. “Harapan kami pihak KKP bisa bekerja gesit dan jangan terlalu panjang dalam birokrasi. Kerja gesit itu dalam arti responsif dan diberi kemudahan sehingga kita sebagai asosiasi aman dan nyaman,” pintanya.
Yang keduanya, ungkap Susilo, terkait dengan masalah PDS di daya saing pasar. Jadi bagaimana agar PDS membuka ruang supaya bisa produk catfish masuk kompetisi dunia internasional, yaitu produk ekspor.
APCI, sebut Susilo, berusaha tetap ada komunikasi aktif dengan KKP, baik yang terkait dengan masalah regulasi ataupun yang terkait dengan intensifikasi, teknologi dan sosialisasi. Hal itu perlu, supaya APCI selalu mengikuti regulasi. Yang kedua, perlu kerjasama yang erat antara asosiasi dengan Dirjen Budidaya KKP.
Terkait keharusan sertifikasi, diakui Susilo, pada prinsipnya pihaknya mendukung. Tapi ia minta agar sertifikasi tidak membebani anggota. Misalnya, ketika terdapat sedikit kekurangan dalam berkas pengajuan agar proses tetap dijalankan sementara perbaikan tetap dilakukan. Sebab jika saling menunggu maka proses menjadi tertunda, sementara ruang bisnis memerlukan kecepatan dan ketepatan.
Untuk program terobosan lainnya dari KKP, Ketua APCI belum melihat ada gelagat ke arah tersebut. Menurut dia, meski saat ini sudah pemerintahan baru, namun pembudidaya tidak bisa berharap banyak.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 150/ 15 November - 15 Desember 2024
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 150/ 15 November - 15 Desember 2024