Foto: Reza
Thailand dan Cina masih menjadi negara buruan para penghobi mas koki dalam negeri, namun mas koki dalam negeri memiliki kualitas yang tak kalah bersaing
Siapa yang tidak tergoda minimal melirik, kala melihat ikan mas koki bergerak-gerak anggun dalam akuarium. Dalam ajang lomba mas koki pun tak jarang terlihat para awam berdecak kagum dan betah berlama-lama memandangi eloknya mas koki. Ikan ini pun seakan mampu menyihir para penghobi baik dari kalangan berkocek tipis hingga tebal untuk sekedar memilikinya atau memeliharanya untuk berkontes.
Dani – breeder (pembibit) mas koki sekaligus pemilik Limas Farm Tangerang, menyatakan, mas koki yang dijadikan ikan untuk penghias akuarium maupun yang dikonteskan sejatinya adalah ikan yang berasal dari Cina dan merupakan penyimpangan genetik dari ikan mas. Perkembangannya di Indonesia tidak luput dari mas koki impor. Namun seiring dengan perkembangan tren dan teknologi yang ada, ia mengklaim mas koki yang dihasilkan oleh breeder lokal secara kualitas dapat bersaing dengan mas koki impor.
Pamor Ikan Impor
Namun, lanjut Dani, para penghobi asal Indonesia masih saja memiliki persepsi bahwa ikan impor selalu lebih baik. “Ada pengalaman lucu ketika saya menjual ikan saya ke salah satu pembeli di Jepang. Beberapa waktu setelahnya, ada kawan main ke Jepang dan membeli ikan tersebut. Lantas di tunjukkan ke saya,” kata Dani. Karena memang ikan tersebut dihasilkan dari tangan Dani maka ia pun sangat mengenalinya.
Pembentukan persepsi tersebut menurut dia lumrah, karena memang kebanyakan ikan impor yang dijual di pasaran merupakan ikan dengan kualitas prima. Sementara selama ini, ia merasakan bahwa ikan yang beredar pun tidak pernah label “lokal” yang melekat pada ikan. Lagi-lagi ia menekankan mas koki impor tidak selalu baik.
Andrew – breeder mas koki Jakarta memberikan sedikit pandangan lain terkait ikan impor. Ia beranggapan kebutuhan akan impor sebenarnya lebih sebagai perbaikan genetik untuk ikan lokal yang ada. “Sampai saat ini ikan impor masih menjadi patokan daya jual ikan yang ada di pasaran. Mas koki impor pun masih jadi standar untuk kualitas,” terangnya.
Mas koki yang diimpor umumnya berasal dari Thailand dan Cina. Andrew menambahkan jumlah mas koki yang didatangkan dari luar sangat tergantung dengan keberadaan importir ikan yang ada di dalam negeri. Sepanjang 2015 pun menurutnya importir mas koki selalu berganti-ganti. “Ada yang 2015 lalu rajin impor, di 2016 ini hilang, tidak impor lagi. Ada pula yang sebelumnya tidak impor, sekarang malah menjadi importir. Saya sendiri masih stabil impornya di lingkungan sendiri,” kata Dani.
Bagi dia mas koki impor memang memiliki kualitas yang dapat dibilang stabil. Ia sendiri jika membeli mas koki impor selalu diamati struktur dan anatominya. Ia mencontohkan, pada muka mas koki impor lebih mencirikan ikan-ikan tertentu, oleh karenanya ia berpendapat mas koki impor bisa membentuk karakter mas koki lokal.
Jenis yang banyak di impor dari Thailand adalah ranchu dengan warna kombinasi merah-putih, ranchu black, oranda dengan kombinasi merah-putih dan oranda calico. Sementara yang biasa di impor dari Cina umumnya adalah mas koki berjenis ryukin dan ranchu berwarna calico.
Tidak terbendungnya mas koki impor menurut kacamata Andrew lebih dikarenakan ketidakstabilan kualitas mas koki hasil breeder lokal. “Sesuai pengalaman saya selama ini, ada suatu waktu di mana kualitas mas koki lokal lagi bagus-bagusnya dan booming. Namun terjadi juga sebaliknya,” ungkap dia.
Breeder Lokal
Masih dipandang sebelah matanya mas koki lokal dianggap Andrew lantaran minimnya jumlah breeder yang ada. Berbeda dengan Thailand dan China yang memiliki banyak sekali breeder mas koki, oleh karenanya mas koki yang dihasilkan pun lebih banyak pula.
Banyaknya pilihan ikan di luar negeri dirasa juga menjadi faktor masih seksinya mas koki impor. Sementara di Indonesia jumlah breeder yang sedikit belum membuat daya saing menghasilkan mas koki kualitas tinggi terjadi antar sesama breeder.
Faktor ketimpangan antara ketersediaan pasokan dan permintaan akan mas koki berkualitas diungkap oleh Dani. Menurutnya permintaan akan mas koki justru lebih tinggi ketimbang suplai yang ada. Karenanya pergerakan barang di pasar mas koki lokal terbilang cepat. “Bahkan mas koki yang belum besar pun sudah ditunggu oleh pedagang,” tutur dia.
Meski mas koki dapat dihasilkan sepanjang tahun namun perlu diperhatikan, mas koki yang berkualitas kontes hanya berkisar antara 5 – 10 % dari total seluruh ikan yang berhasil ditetaskan dalam satu periode penetasan.
Bahkan jika sedang tidak beruntung tak jarang pembibit profesional seperti Dani pun tidak dapat menghasilkan mas koki kualitas kontes. “Berbeda dengan Cina yang ketersediaan mas koki kualitas bagusnya tersedia sepanjang tahun,”.
Ia pun terus melakukan penyempurnaan genetik mas koki yang ada agar mampu bersaing di kancah internasional. Terbukti dari rutinnya ia mengekspor mas koki ke Cina dengan jumlah 30 – 40 boks. Jumlah dalam boks pun beragam dari 2 ekor hingga 500 ekor, tergantung ukuran yang diinginkan oleh pelanggan. Mas koki yang umum diperdagangkan dikalangan penghobi berukuran 10cm
Keterampilan dan Kesabaran
Dalam menghasilkan mas koki berkualitas baik, pengalaman dari dua generasi sebelumnya turut memberikan kontribusi besar terhadap usaha Dani saat ini. Ia berpendapat masih banyaknya breeder yang kurang telaten dan tidak mempraktekkan cara yang baik dan tepat dalam memijahkan mas koki. Baginya memijahkan mas koki merupakan sebuah pekerjaan yang membutuhkan nilai seni tersendiri, sehingga memerlukan kesabaran dalam melakukannya.
Dengan ketat Dani melakukan manajemen perkawinan terhadap mas koki yang dipijahkannya. Ia selalu menghindari perkawinan sedarah antar mas koki, untuk itu pun ia selalu mencatat silsilah mas koki indukan miliknya. “Anakan mas koki yang dihasilkan dari satu angkatan pemijahan tidak boleh saling mengawini,” tegasnya.
Untuk mempertahankan kualitas mas koki yang dihasilkan tak segan dirinya memberikan pakan dengan kualitas terbaik. Menurut pengakuannya, pakan ada yang diimpor khusus dari Jepang lantaran di dalam negeri belum banyak perusahaan yang memiliki spesifikasi pakan yang diinginkan oleh dia. Ia mematok kadar protein pakan harus mencapai 50 % atau lebih.
Selain pakan, faktor air juga wajib diperhatikan para breeder. Dani membagi air menjadi tiga kelompok besar, yakni air soft,medium danhard. Masing-masing jenis air tersebut digunakan untuk memunculkan karakter ikan yang berbeda.
Sedikit ia menerangkan kepada Trobos Aqua, air berjenis soft baik digunakan untuk memacu pertumbuhan meski kurang baik untuk memunculkan warna. Sedang air berjenis hard baik untuk membentuk warna namun dirasa kurang untuk pertumbuhan. Keahlian dalam membuat ketiga jenis air tersebut haruslah dikuasai oleh breeder dan digunakan sesuai peruntukannya.
Menyoal teknologi yang dimiliki breeder, Andrew tidak sepakat jika dikatakan Indonesia tertinggal. Bahkan ia mengklaim jika teknologi yang digunakan di Thailand dan Indonesia sama. Perbedaannya adalah di pakan, masalah yang terjadi di lapangan adalah banyak breeder yang masih enggan menggunakan pakan berkualitas. Ia pun menilai breeder di Jakarta lebih berani berinvestasi untuk pakan mahal sedang di Tulungagung yang notabene sentra mas koki belum banyak yang berani. trobos/reza