Muhamad Husen: Membangunkan Perikanan Budidaya

Muhamad Husen: Membangunkan Perikanan Budidaya

Foto: trobos
Muhamad Husen

Setelah diantik sebagai menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo (EP) ketika diwawancarai wartawan 23 Oktober 2019 mengatakan akan mengoptimalkan dan memperkuat perikanan budidaya (PBD) sebagaimana diamanatkan Presiden Jokowi. Pesan Presiden serupa pernah diberikan pula pada Menko Bidang Kemaritiman beberapa bulan sebelum kabinet Indonesia Kerja 2014-2019 berakhir.
 
 
 Mandat presiden tersebut pasalnya PBD dianggap bagai raksasa tidur, menyimpan potensi besar tetapi belum tergarap optimal. Dengan membangunkannya tidak saja menebar tetapi juga mewujudkan semakin majunya PBD  di Indonesia. Kemajuan sektor ini tidak semata diukur dari peningkatan produksi akan tetapi juga seberapa banyak usaha kecil tumbuh di sektor ini, dan pembudidaya mampu terangkat dari kemiskinan. 
 
 
Namun sekaligus pula seberapa besar angka-angka makro mampu terealisir seperti berapa miliar US dolar dari nilai ekspor yang bisa diraih, berapa besar sumbangannya pada PDB dan sebagainya.   Jika produksi perikanan tangkap dunia cenderung stagnan, justru produksi PBD menunjukkan tren meningkat. Pada 2016, kontribusinya terhadap produksi perikanan dunia mencapai 46 %. 
 
 
PBD merupakan bisnis organisme akuatik yang sebarannya hampir ada di setiap negara di dunia. Menurut data Organisasi Pangan Dunia (FAO) pada 2016 lalu, produksi budidaya dunia pada 2014 mencapai 101 juta ton, dan Indonesia  menduduki rangking kedua dibawah Tiongkok. Ragam  komoditasnya berupa ikan bersirip (62,4 %), siput-siputan/kerang  (17,9 %), udang-udangan (10,7 %), tanaman air (6,4 %), golongan hewan air lainnya 1,6 % serta amphibia dan reptil (1 %). Benua Asia menyumbang terbanyak 88,91 %, (Tiongkok memberikan kontribusi sebesar 61,62 % dari total produksi dunia), negara-negara Amerika 4,54 %, Eropa 3,97 %, Afrika 2,32 % dan Oceania 0,26 %.
 
 
Namun dibalik itu semua, arah pengembangan PBD di tanah air selama ini cenderung terkesan kurang fokus. Pemerintah menginginkan seluruh komoditas perikanan didorong, tetapi penyediaan sarana dan prasarana penunjang belum memadai. Di sisi hulu, kebutuhan dasar, seperti benih dan induk unggul masih belum memadai untuk bisa menopang peningkatan produksi. Minimnya benih berkualitas menyebabkan produk rentan terserang penyakit. Harga pakan ikan yang mahal menjadi beban ongkos produksi sehingga harga produk sulit bersaing.     
            
 
Masih Tertinggal
FAO publikasi terbaru “The State of World Fisheries and Aquaculture 2018” memperkirakan dunia akan mengalami ketimpangan pasokan ikan sebesar 28 juta ton di awal 2020. Sementara harga ikan pada 2030 akan naik 25 % dibanding 2016. Tantangan ini sebagai  peluang bagi PBD Indonesia ke depan.
 
 
Dalam lanskap ekonomi perikanan global, Indonesia masih tertinggal dari Norwegia, Amerika Serikat, bahkan dari negara tetangga Thailand dan Vietnam sekalipun. Thailand menempati peringkat keempat eksportir ikan terbesar. Adapun Vietnam berada pada posisi ketiga setelah Tiongkok dan Norwegia. 
 
 
Ironisnya Indonesia belum ditemukan dalam daftar 10 besar eksportir ikan dunia. Padahal luas perairannya lebih dari 17 kali total luas wilayah darat dan perairan Vietnam. Demikian pula panjang garis pantai 30 kali lebih panjang dari Thailand, bahkan pembudidaya dan nelayan Indonesia termasuk salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia setelah Tiongkok. 
 
 
Untuk menjadi maju, berbagai kalangan mensyaratkan pentingnya penguasaan inovasi, ilmu dan teknologi. Disinilah, PBD mendapat tantangan besar. Selama ini pengelolaan perikanan di tanah air masih mengedepankan strategi berburu ketimbang memanen. Padahal, negara-negara yang menguasai ekonomi perikanan dunia telah lama mengembangkan berbagai inovasi. Sebut saja Norwegia, menjadi eksportir perikanan terbesar kedua dunia hanya dengan menguasai teknologi KJA (Keramba Jaring Apung) dan salmon sebagai komoditas utamanya. Begitupun Vietnam  dan Thailand di urutan ketiga dan keempat dunia dan udang sebagai salah satu komoditas unggulannya. 
 
 
Sementara itu Indonesia memiliki beragam komoditas PBD,  dan  dikelompokkan menjadi ikan air tawar, payau, serta laut. Celakanya belum tergarap optimal. Saat ini, dari total 29,2 juta hektar potensi lahan PBD baru 1,3 juta hektar (4,5 %) saja yang termanfaatkan. Dari segi potensi produksi 57,7 juta ton baru termanfaatkan 16,11 juta ton (27,9 %). Sebagian lahan yang sudah dimanfaatkan juga belum sepenuhnya menghasilkan produk unggulan terkendala minimnya inovasi, pakan dan benih hingga terbatasnya infrastruktur dan sumber daya manusia. Padahal potensi ekonomisnya diprediksi mencapai 251 miliar US dollar per tahun. 
 
               
Pemimpin Dunia 
Memajukan PBD, pemegang kebijakan terkadang menilainya cukup menggenjot investasi dan promosi secara besar-besaran. Padahal  dimensinya tidak menyangkut ekonomi semata melainkan juga ekologi, teknologi, sosial, budaya dan bahkan politik.  Jadi, selain promosi dan investasi, diperlukan juga regulasi dengan berbagai kebijakan pengelolaan sumberdaya – fisheries management yang memungkinkan seluruh dimensi tersentuh.
 
 
Membangunkan PBD agar lebih meningkat, nakhoda baru KKP seyogyanya utuh melaksanakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2017 tentang Pembudidayaan Ikan juga. Tidak itu saja, tapi juga secara spesifik mesti melakukan berbagai terobosan sekaligus memproduksi sejumlah komoditas yang secara kuantitas maupun kualitas dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri (swasembada) serta menjadi net exporter produk perikanan terbesar di dunia. 
Sejumlah agenda makro untuk mempercepat torehan itu diantaranya; pertama, ada terkesan pemahaman bahwa PBD seringkali terbatas hanya pada organisme makroflora dan fauna (ikan, udang, kerang-kerangan dan rumput laut). Sedangkan sumberdaya hayati mikroflora dan fauna dengan kandungan senyawa metabolit primer dan sekunder serta untuk bio-energi relatif masih belum terjamah. Sejatinya, organisme-organisme tersebut kedepan lebih diberdayakan. 
 
 
Agenda kedua, diperlukan pengendalian serius dalam penerapan Best Aquaculture Practices (BAP). Ketiga, adanya pengembangan unit-unit pengolahan guna mensinergikan pola agar struktur usaha yang selama ini menciptakan bahan mentah ditindaklanjuti menjadi bahan siap konsumsi. 
 
 
Agenda keempat,  lokasi budidaya umumnya berada pada kewenangan pemerintah daerah (pemda). Maka, selayaknya pemda juga diberi pemahaman agar pandangan terhadap PBD tidak sebatas keyakinan individual, tetapi yang lebih penting adalah keyakinan struktural. 
 
 
Agenda kelima, setiap komoditas dituntut memiliki ”cetak biru”  yang bisa dipahami para pelaku usaha. Keenam, melakukan perbaikan fungsi intermediasi perbankan dan lembaga keuangan nonbank, terutama bagi para pembudidaya ikan skala kecil. Implementasinya dapat dilakukan melalui penurunan tingkat suku bunga komersial. Ataupun mendesain kredit program dengan suku bunga lebih murah berikut persyaratan lunak. 
 
 
Agenda ketujuh, seyogyanya pembudidaya diberikan subsidi pakan ikan sebagaimana halnya petani tanaman pangan memperolehnya. Karena pakan yang memberikan porsi terbesar dari keseluruhan biaya produksi. Gerakan pakan mandiri kualitasnya harus bisa setara dengan pakan pabrikan. Dan kedelapan, adanya upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) para pembudidaya. 
 
 
Singkat cerita, mengingat 90 % produksi PBD dunia berasal dari Asia sangatlah wajar seandainya negara-negara di Asia yang paling berpotensi menggaet devisa dari bisnis tersebut. Dan pemimpin PBD dunia berpeluang besar diambil alih Indonesia.  Semoga dan selamat bekerja EP!!
 
 
 
*) Pengurus Masyarakat Akuakultur Indonesia Komda Jawa Barat
 

 
Aqua Update + Suara Ahli + Cetak Update +

Artikel Lain