Adakah peluang polikultur yang sudah berdekade ini menjadi sosok solusi dalam revitalisasi tambak?
Disadur dari Yustiati, dkk (2018), polikultur, yaitu budidaya dengan menggabungkan berbagai jenis ikan yang mempunyai kebiasaan makan yang berbeda. Pada lingkungan yang digunakan untuk budidaya, pertumbuhan ikannya tidak dibatasi oleh limbah dari pakan dan/atau biota. Biomassa terbesar dari ikan yang dapat dihasilkan merupakan kombinasi spesies yang dapat memanfaatkan kebiasaan makan.
Di Indonesia, sistem polikultur populer diterapkan di perairan air payau dengan memanfaatkan komoditas seperti udang windu atau vannamei, ikan bandeng atau nila, hingga rumput laut. Dikutip dari Amsari (2017), secara teknis tambak polikultur bisa didirikan pada di hampir semua jenis wilayah jika suplai air payau relatif tersedia. Daerah tambak polikultur yang baik adalah daerah yang terjangkau asal pasang surut air laut atau tambak sebaiknya di area dekat pantai.
Salah satu pembudidaya air payau yang mengaplikasikan budidaya secara polikultur ini adalah Mustana. Pembudidaya kelompok budidaya ikan (pokdakan) Hurip Jaya Maju Bersama, Bekasi-Jawa Barat ini memanfaatkan komoditas rumput laut, bandeng, dan udang windu untuk sistem polikulturnya.
Menurut Kang Mus-panggilan akrabnya, ada alasan mengemuka bagi dia dan rekan-rekan pembudidaya, khususnya di pokdakannya sendiri, mengembangkan polikultur. “Karena sistem polikultur bagusnya di sini. Kalau tidak polikultur, (misal kita gunakan) sistem tradisional, biaya produksinya terlalu mahal. Apalagi (kalau kita pakai) sistem intensif yang harus menggunakan kincir segala macem,” aku Kang Mus.
Dia kemudian merunut kembali kepopuleran aplikasi sistem polikultur di lokasi budidayanya saat ini. Ditambah, lokasi ini merupakan salah satu pusat budidaya air payau (payau) di utara Bekasi.
“Kita di sini mainnya air payau, karena sumber air adanya air payau. Awalnya masyarakat sekitar budidaya bandeng dan windu. Seiring berjalannya waktu, kita menambah komoditasnya, yakni rumput laut. Masyarakat sekitar sudah membudidayakan udang dan bandeng sejak zaman engkong saya (perkiraan di 1960an). Rumput laut masuk ketika zamannya Presiden Megawati (perkiraan di 2001). Kebetulan daerah saya adalah pelopor budidaya rumput laut di daerah Simbalangan, Bekasi,” sebut Kang Mus.
Dia menuturkan, alasan dibalik pemeliharaan rumput laut sebagai komoditas budidaya. Dimana, Bekasi cocok untuk budidaya rumput laut karena panas, makanya dijadikan pelopor.
Aplikasi Polikultur 3 Komoditas
Kang Mus kemudian menjelaskan teknis tambak polikultur dengan tiga komoditas. Di tempatnya saat ini, yaitu Simbalangan, rata-rata petambak menerapkan polikultur tergantung ukuran tambaknya. “Tambaknya ada yang ukuran 1 hektare (ha) atau 2 ha. Idealnya per 1 ha empang (kolam tambak) diisi 3 ribu ekor bandeng per 6 bulan pemeliharaan. Ukuran tebar, ada yang seukuran rokok, ada yang seukuran korek gas,” ungkapnya.
Harga benih bandeng (nener), lanjutnya, berada di kisaran Rp 300-Rp 1.000 per ekor. Dimana, semakin besar ukurannya, harganya semakin mahal.
Perbedaan ukuran tebar mempengaruhi lama waktu pemeliharaan, selisih satu bulan menuju panen biasanya. “Bandeng panennya bisa menghasilkan 4 kuintal per 6 bulan sekali. Kalau mau dipanen 1 tahun sekali, tinggal diakumulasi saja, bisa sampai 1 ton. Dan di sini bandeng yang dipanen hanya 50% dari total populasi, karena jika dipanen semua khawatir rumput laut akan terserang lumut,” lanjut Kang Mus.
Untuk jenis rumput laut yang dibudidayakan yakni Gracilaria. “Benih rumput laut yang digunakan di sini awalnya diambil dari laut. Seiring waktu, benih udah gak ngambil dari laut. Caranya ketika panen, tidak seluruh rumput laut diangkat, disisakan untuk berkembang lagi di siklus selanjutnya,” paparnya.
Jika total rumput laut basah 5 ton, maka 2 ton disisakan di empang, 3 tonnya diangkat untuk dikeringkan lalu dijual. “Stok benih selalu ada, kalau kehabisan bisa minta dari empang tetangga. Rumput laut kalau kondisi sedang bagus panen bisa 3-4 ton per bulan. Lain cerita kalau kondisi air sedang jelek, paling rumput laut 1 ton per bulan,” tambah Kang Mus. Jumlah yang disebutkan adalah dalam kondisi kering dan selisih basah kering 1 : 10. Biasanya rumput laut dijemur satu hari kalau matahari sedang mendukung.
Kang Mus memaparkan, di lahan 1 ha, idealnya diisi udang windu 30 ribu ekor, dan maksimalnya 50 ribu ekor. Ditebarnya ukuran halus seperti rambut, dengan harga benur Rp 30 per ekor. “Saya beli benur dari Malimping, Pangandaran dan Tangerang, Tanjung Pasir. Dan teman-teman di sini banyaknya beli dari Tanjung Pasir. Panennya gak tentu, tergantung kondisi air. Jika sedang bagus per 4 bulan bisa menghasilkan 4 kuintal,” ujarnya.
Di sisi penerapan pemberian pakan, Kang Mus mengemukakan bahwa pembudidaya terbagi dua. Ada beberapa pembudidaya yang menggunakan pelet, dan juga ada yang full pakan alami.
“Kalau saya alami saja, pakannya dari rumput laut. Kan di rumput laut ada serabut-serabutnya, nah itu dimakanin oleh si bandeng. Empangnya setiap hari mengalir air. Air ketika pasang masuk, ketika surut air keluar jadi setiap hari ada plankton-plankton yang terbawa air,” jelas pembudidaya berusia 35 tahun ini.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 151/ 15 Desember - 15 Januari 2025