Jumat, 15 Nopember 2024

Perikanan Jemput Tantangan, Semua Pihak Turun Tangan

Perikanan Jemput Tantangan, Semua Pihak Turun Tangan

Foto: 


Pemerintah dalam masa pemerintahan yang baru diharapkan bisa mencarikan solusi tepat dalam menghadapi tantangan di lapangan


 

Belakangan ini, iklim usaha budidaya ikan dan udang tidak sedang baik-baik saja. Terdapat sejumlah kendala yang menghadang, terutama penyakit dan harga yang stagnan, bahkan cenderung turun. Untuk mengatasinya pemangku kepentingan sektor perikanan berharap pemerintah turun tangan mencarikan solusi agar budidaya tetap eksis dan berkelanjutan.

 

Sebagaimana diakui Ali Kukuh, Ketua Shrimp Club Lampung (SCL) bahwa budidaya udang menghadapi berbagai serangan penyakit, terutama AHPND yang begitu masif dan meluas dari Sabang sampai Merauke. Bangka yang merupakan sentra baru budidaya udang tidak luput dari serangan AHPND. 

 

Akibatnya banyak tambak yang mangkrak di pulau ini karena tidak ditebar benur. Paling di Sumbawa, budidaya udang yang masih agak lancar karena serangan penyakit tidak begitu parah. Kalau di daerah lainnya, termasuk di Lampung serangan penyakit luar biasa.

 

“Kita sudah melakukan berbagai upaya agar budidaya terhindar dari penyakit. Di antaranya, penurunan kepadatan tebar, memperketat biosekuriti, manajemen air dan pakan yang baik, tapi masih saja terkena kematian massal. Kebanyakan udang matinya di fase awal sehingga masih berupa udang rebon dan belum laku dijual,” tuturnya di Bandarlampung, pekan lalu. 

 

Karena itu, lanjutnya, dikhawatirkan benur belum sepenuhnya bebas penyakit. Pasalnya, pada kematian di fase awal tersebut kualitas air masih bagus, namun tetap terserang penyakit. Makanya petambak berharap kepada pemerintah untuk benar-benar mengawasi benur yang dipasarkan oleh hatchery. Lembaga pengawas jangan hanya menunggu sampel dari hatchery, tetapi aktif jemput bola melakukan pengecekan ke hatchery-hatchery

 

Sebab dengan BMC (breeding multiplication center) atau perusahaan perbanyakan indukan sudah berada di Indonesia, benur yang dihasilkan seharusnya lebih baik dan lebih tahan penyakit. Sebab dulu ketika penyakit udang muncul maka diduga penyakit tersebut dibawa oleh indukan dari luar negeri. Sekarang perbanyakan indukannya sudah di dalam negeri, tetapi tidak banyak perubahan yang terjadi.

 

Pernyataan Ketua SCL tersebut diamini oleh Waiso, Ketua Forum Komunikasi Praktisi Akuakultur (FKPA). “Saat ini iklim usaha budidaya udang di Tanah Air sedang tidak baik-baik saja. Terdapat dua persoalan utama yang sedang dihadapi petambak. Pertama, masalah teknis budidaya di mana banyak terjadi serangan penyakit. Kedua, persoalan harga jual udang yang stagnan dan bahkan cenderung terus turun. Kedua persoalan ini jelas menjadi tantangan berat bagi kelanjutan usaha tambak udang ke depan,” ujarnya di tempat terpisah.

 

Diakuinya, untuk masalah penyakit secara teknis belum ditemukan solusi yang jitu. Kendati begitu para teknisi terus melakukan berbagai cara guna mencegah munculnya serangan penyakit. “Menurut saya, salah satu solusi yang bisa dijalankan adalah dengan menyinkronkan pola budidaya di hatchery dengan di tambak. Sebab selama di hatchery benur tumbuh dan berkembang secara sehat. Lalu ketika ditebar di tambak muncul kematian akibat serangan penyakit,” sebutnya. 

 

Di hatchery selalu ganti air sehingga kolam bebas dari sisa-sisa zat organik dari pakan dan kotoran udang. Sebab ketika menebar pakan, terdapat sisa pakan yang terlarut di air dan yang mengendap di dasar kolam. Untuk sisa-sisa pakan yang mengendap di dasar kolam dibersihkan melalui sifon secara berkala.  

 

Lalu untuk sisa-sisa pakan yang terlarut di air dibersihkan dengan mengganti air. Di hatchery ganti air dilakukan untuk setiap stadia. Bahkan menjelang panen ganti air dilakukan 60 hingga 100 %. Tentunya ketika benur sudah ditebar di tambak juga harus dilakukan ganti air minimal 30 %.

 

Untuk itu bagi tambak yang sumber airnya sudah jernih bisa langsung melakukan treatment sterilisasi dengan disinfektan di tandon. Sementara jika tambak yang air bakunya berlumpur maka terlebih dahulu harus diendapkan di tandon pengendapan agar jernih. Selanjutnya baru bisa disterilisasi dengan disinfektan di tandon berikutnya. Persoalannya jika menggunakan disinfektan berupa kaporit maka butuh waktu tiga hari baru netral makanya perlu tandon yang cukup.

 

Letak Tantangan Hulu dan Hilir 

Tidak saja udang, budidaya ikan tawar pun juga menghadapi sejumlah persoalan. Menurut Gunawan, pembudidaya ikan di Desa Tugusari, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu-Provinsi Lampung, persoalan lele dan patin adalah rendahnya permintaan pasar akibat turunnya daya beli konsumen. 

 

“Meski harga jual lele dan patin sudah paling murah dibandingkan dengan ikan laut dan tawar lainnya tetapi karena daya beli konsumen terus turun maka permintaan rendah. Ditambah pula belakangan penurunan harga telur dan ayam ras juga berdampak buruk kepada permintaan patin dan lele,” ungkapnya.

 

Di Lampung, ungkap Gunawan, hasil panen ikan patin dijual ke cold storage dan pasar lokal. Namun karena coldstorage yang berlokasi di Tanjungbintang, Kabupaten Lampung Selatan tutup maka Gunawan terpaksa menjual hasil panennya ke cold storage di Jabodetabek. 

 

Akibatnya, biaya transportasinya menjadi lebih mahal dan persyaratannya lebih ketat sehingga harga yang diterima lebih rendah. Sementara untuk pasar lokal ikan patin dijual Gunawan ke Bandarlampung dan Liwa. 

 

Pada panen patin terakhir sebanyak 5 ton yang dijualnya ke cold storage dan sekitar 5 ton ke pasar lokal. Untuk patin fillet beratnya minimal 8 ons ke atas dan dagingnya harus putih serta tidak berasa tanah. Kalau patin untuk pasar lokal beratnya 4-5 ons ke atas. Sementara untuk lele untuk pasar pasar pecel lele ukuran 8 hingga 12 ekor/kg.

 

“Harga jual ikan patin stagnan, tidak banyak berubah, meski harga pakan dan obat-obatan terus naik. Pada panen terakhir saya jual patin Rp17.500/kg ke pedagang pengumpul dan Rp17 ribu ke cold storage,” tutur Gunawan yang saat ini membudidayakan lele karena tidak ada kepastian penampungan ikan oleh cold storage. 

 

Sementara Susilo Hartoko, Ketua Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI) melihat hingga akhir 2024 ini dari sisi produksi makin menggeliat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Makanya target produksi untuk 2025, paling tidak ada kenaikan produksi di angka 30-40% dari tahun sebelumnya.

 

Kendati begitu Susilo mengakui terdapat sejumlah permasalahan di hulunya yakni di budidayanya. Yang pertama, permasalahan pakan di mana harganya cukup tinggi. Yang kedua, intensifikasi teknologi budidaya yang harus update. 

 

“Harus selalu ditingkatkan karena kedua sisi ini tidak bisa dipisahkan, antara harga pakan sama intensifikasi teknologi makanya perlu inovasi. Intensifikasi teknologi ada kaitannya dengan efisiensi dan juga berkaitan dengan kualitas, begitu road map-nya,” kata Susilo, beberapa waktu lalu.

 

Sementara dari sisi hilir ini, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), Budhi Wibowo menyampaikan secara umum permasalahan utamanya adalah kekurangan di bahan baku. “Sehingga, biaya produksi kita juga pasti tinggi.

 

 

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 150/ 15 November  - 15 Desember 2024

 

 

 
 

 
Aqua Update + Inti Akua + Cetak Update +

Artikel Lain