Sistem semi heterotrof, solusi ideal untuk budidaya udang yang stabil dan ekonomis
Tambak udang vannamei di kawasan Cikalong, Tasikmalaya-Jawa Barat, dibangun dengan sistem berdasarkan dominasi plankton. “Kita bertambak dengan menerapkan sistem semi heterotrof (antara autotrof dan heterotrof),” tutur Novi Fredy, teknisi tambak Karyanesia yang berlokasi di Cikalong ini.
Ia menjelaskan, sistem ini memiliki risiko yang lebih kecil akibat keseimbangan jumlah antara plankton dan bakteri di perairan tambak. Dan cost yang lebih rendah dibanding sistem heterotrof tentunya.
Sistem Budidaya Udang
Lebih lanjut alasan menerapkan sistem semi heterotrof, ia jelaskan dari pengertian sistem budidaya satu persatu. “Sistem budidaya pada komoditas udang secara umum dibagi menjadi tiga,” ucap Novi. Pertama, autotrof (plankton murni). Kedua, heterotrof (bakteri murni). Ketiga, semi heterotrof (antara autotrof dan heterotrof).
“Mari kita kupas satu-satu,” ajak Novi sapaan akrab pria itu. Sesuai penjelasan di awal, sambungnya, secara sederhana, autotrof adalah budidaya dengan sistem plankton. Dengan kata lain, perairan didominasi oleh plankton. Ketika air didominasi plankton, maka terselip risiko besar di sana.
Plankton memiliki karakter cepat subur dan cepat drop. Alhasil, parameter kualitas air akan selalu fluktuatif. Ketika plankton subur, siang hari DO (Dissolved Oxygen) di perairan tambak akan terlalu tinggi. Sayangnya, di pagi hari justru kebalikannya, DO akan sangat rendah.
Apalagi saat terjadi blooming plankton. Masa itu plankton akan menua dan mati secara bersamaan. Alhasil kualitas air akan jelas anjlok.
“Dari perairan pekat (dipenuhi plankton) menjadi bening, itu adalah peristiwa ekstrim dan beresiko. Disana terjadi goncangan-goncangan fluktuasi parameter kualitas air, seperti DO, pH, dan lainnya,” jelas Novi dengan serius.
Dia melanjutkan, ketika petambak dalam budidayanya mengandalkan sistem plankton, berarti harus banyak melakukan improve treatment demi menjaga kestabilan kualitas air. Alih-alih menjaga kestabilan kualitas air yang ideal dan sesuai harapan, banyaknya treatment dan improve seperti itu kadang membuat goncangan dalam sistem. Yang akhirnya udang mengalami stres.
“Ketika kita perbaiki kualitas air, harapannya tentu agar udang mau makan dan lainnya. Nyatanya, ketika kualitas air membaik, justru udang sudah tidak mau makan. Ya itu, akibat stres karena ekosistemnya terguncang terus,” beber alumni Perikanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.
Hal serupa juga terjadi pada sistem heterotrof. Di heterotrof, kata Novi, bakteri yang mendominasi sedangkan jumlah plankton hanya sedikit, bahkan tidak ada. Otomatis di perairan tersebut akan terjadi ketergantungan oksigen pada alat.
Alaminya oksigen diproduksi oleh plankton, sedangkan di sistem heterotrof (flok) petambak mengandalkan kincir atau aerator sebagai penghasil oksigennya. Selain untuk suplai oksigen, kincir juga diperlukan untuk membuat flok agar selalu melayang di kolom air. Itu merupakan media hidup si flok. Apabila flok itu mengendap, artinya akan terjadi akumulasi bahan organik dan protein tinggi disana. Akhir cerita, di sana akan terjadi pembusukan.
“Itulah risiko dari sistem heterotrof. Padahal di lapangan terkadang ada kondisi atau kendala ‘diluar jangkauan’. Seperti gangguan PLN, genset, kincir dan sebagainya,” Novi mengingatkan. Lalu, sambungnya lagi, dengan plankton yang sedikit atau tipis, otomatis pH perairan tersebut cenderung rendah. Diingatkan, pH dan DO berbanding lurus.
Di sistem autotrof, perairan di dominasi plankton, DO akan cenderung tinggi dan pH pun ikut tinggi. Secara natural, oksigen dihasilkan oleh plankton melalui fotosintesis. Tapi di sistem heterotrof akibat dominasi plankton yang minim, maka oksigen murni disuplai dari kincir dan sejenisnya.
Kebutuhan oksigennya terpenuhi, tapi karena plankton tidak dominan, maka pH akan tetap cenderung rendah. Kondisi pH rendah menyebabkan alkalinitas harus terus bekerja demi menstabilkan pH. Ujungnya, alkalinitas pun akan ikut ketarik turun. Intinya, saat pH rendah, alkalinitas juga rendah. Novi menuturkan, alkalinitas diperlukan tidak hanya untuk menstabilkan pH. Namun juga untuk mempercepat pemulihan molting udang.
“Ketika pH rendah, kita harus improve memasukkanchemical yang bisa menaikkan alkalinitas. Misalnya kapur dolomit, sodium bikarbonat dan lainnya. Notabene akan menaikkan cost produksi,” tegasnya. Contohnya sodium bikarbonat, beber Novi, yang kini harganya sudah lebih dari Rp 10 ribu per kg. Padahal jika menggunakan kapur biasa, bisa jadi harganya cuma sekitar Rp 1.700 per kg. Harga ini, tutur Novi, lebih murah. Tapi, petambak enggan gunakan kapur biasa seperti dolomit karena main di heterotrof murni. sehingga ada rasa khawatir di hati petambak.
“Alasannya, kapur dolomit mengandung Mg yang cukup tinggi. Dan itu dibutuhkan oleh plankton untuk tumbuh normal. Kalau petambak memasukkan dolomit ke tambak berarti secara tidak langsung si petambak mem-boosting plankton untuk tumbuh lagi dong. Padahal sistem yang diterapkan sudah jelas, yakni heterotrof. Akhirnya dilemalah si petambak,” kekeh pria yang menyelesaikan bangku kuliahnya pada 1996 itu.
Nanti, lanjutnya, ketika plankton tumbuh lagi, maka goncangan terjadi kembali di sistem. Hal itu yang dihindari. Ujungnya, dicarilah bahan-bahan alternatif pengganti dolomit. Sayangnya, kerap kali bahan alternatif ini harganya lebih mahal dibanding dolomit.
“Bakteri sudah banyak dimasukkan ke perairan. Ditambah lagi penggunaan sodium bikarbonat yang harganya tidak murah. Lalu operasional kincir non stop. Cost produksi tentu akan jauh lebih tinggi dibanding sistem lainnya. Jika berbicara soal risiko, semua itu tidak mengurangi hal-hal buruk yang dapat terjadi selama budidaya. Justru malah menambah risiko, baik itu heterotrof ataupun autotrof,”sedih Novi sembari menatap tambaknya.
Inti penjelasan panjang di atas, Novi menghela napas, menurut pengalaman pribadi, memilih tengah-tengahnya adalah yang terbaik. Yakni sistem semi heterotrof.
Penerapan Semi Heterotrof
Setelah menentukan sistem yang akan diterapkan, tentu memahami bagaimana cara penerapannya harus dipahami si teknisi dan tim. Novi menjabarkan, prosedur persiapan tambak sebelum ditebar benur pada semi heterotrof sama seperti sistem lainnya.
Ia menerangkan, mulai dari pengapuran. Pengapuran pertama, ungkapnya, berfungsi untuk mensterilisasikan petak tambak dengan cara men-stressing-kan pH.
“pH-nya kita buat ekstrim (tinggi), bakteri tidak bisa tumbuh dan virus kemungkinan akan in active dalam kondisi itu. Pengapuran kedua barulah berfungsi untuk sterilisasi air,” tunjuknya.
SOP (Standart Operating Procedure) umum, sambungnya, di tahap pengeringan ada petambak yang menggunakan gamping (CaCO3). Ada juga yang memakai bahan kimia seperti Hcl untuk menghilangkan sisa-sisa spora yang masih melekat di konstruksi tambak (semen).
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 145/ 15 Juni - 14 Juli 2024