Berbagai upaya ‘masih’ terus digeber berbagai pemangku kepentingan guna kembali membangkitkan kejayaan udang windu (Penaeus monodon) atau dikenal juga dengan julukan “black tiger shrimp” di tanah air.
Dalam sektor ini, menurut Direktur Perbenihan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nono Hartanto, upaya membangkitkan windu belum sepenuhnya mulus dan membuahkan hasil. Ia menyatakan, saat ini budidaya/bisnis udang windu belum bisa dikatakan bangkit dalam arti sesungguhnya.
Apalagi, masih banyak tantangan yang menghadang usaha budidayanya. Contohnya Rizal Fahmi, petambak dari Aceh Timur mengakui, pernah gagal dua siklus berturut-turut. Belum sampai berusia 20 hari udang windu mati semua. Gejalanya, udang banyak berada di pinggir-pinggir tambak dan cangkangnya memerah lantas mati massal. “Jadi udang windu masih banyak penyakit di sini, apalagi kalau tidak terkontrol. Tantangan lainnya yaitu keberadaan hama, seperti burung yang sulit dikendalikan,” jelasnya.
Di Lampung, untuk penyakit udang, Ali Mukhsin, petambak udang windu Kabupaten Lampung Selatan mengakui, yang masih sering muncul adalah bintik putih alias WSSV, namun kematiannya tidak banyak, kecuali pada siklus kedua terakhir ini. Lalu pada siklus yang sedang berjalan ini, menurut Ali, kelihatannya nila mampu mencegah penyakit AHPND dan IMNV, dan meminimalisasi WSSV. “Biasanya penyakit dan kematian banyak terjadi pada musim hujan. Jadi jika turun hujan maka setelahnya diaplikasikan Desinon dengan dosis 3 tutup dan kapur,” akunya.
Ditambahkan Bambang Widigdo, akademisi dari IPB University Bogor, pasang surut budidaya udang windu berawal dari serangan penyakit Monodon baculovirus (MBV) di 1997. Selain penyakit, menurut Bambang, tantangan lainnya yakni kesulitan membesarkan udang windu hingga menjadi induk di hatchery.
“Jadi indukan windu masih banyak diambil dari alam sehingga kualitas genetiknya tidak terukur. Induk hasil tangkapan bulan ini belum tentu sama dengan tangkapan bulan depan. Dan status penyakitnya pun juga tidak diketahui. Dulu ditenggarai indukan windu dari Aceh, Binuangen, Irian hampir semuanya sudah terinfeksi Baculovirus dan WSSV. Ini tentu menjadi kendala, kadang produksinya naik dan kadang turun tergantung nasib ketika menangkap induknya. Kalau genetiknya bagus, produksi tambaknya bagus,” urai Bambang.
Potensi Pasar Sebetulnya Besar
Di sisi lain, pakar udang sekaligus pengusaha hatchery udang windu, Mr Bong Tiro mengakui, peluang pasar udang windu cukup besar, bahkan windu diterima pembeli untuk semua size (ukuran). Saat ini udang windu diekspor ke Jepang, Korea dan Uni Eropa.
Uni Eropa butuh banyak udang windu organik, karena taste-nya bagus. Belum lagi Jepang siap menampung udang windu dari Indonesia. “Pembeli Jepang sudah kontak kita mau datang lihat potensi windu. Pembeli dari luar negeri langsung berhubungan dengan kita untuk suplai. Mereka sudah menggunakan teknologi indoor,“ tuturnya di tempat terpisah.
Ditambahkannya, PT Atina (Alter Trade Indonesia) yang mengekspor udang organik bekerja sama dengan petambak udang windu di Pinrang seluas 8 ribu ha. Udang windunya tidak boleh menggunakan pakan pabrikan.
Selain potensi pasar yang terbuka lebar, harga jual udang windu juga terbilang tinggi dan stabil. Di Kaltara, misalnya, harga jual udang windu Rp115 ribu/kg untuk size 30-25. Termasuk di Sulsel sendiri, permintaan windu organik dari Sulsel cukup bagus, tetapi produksi benur masih terbatas karena produksi F-1 tidak murah.
Permodalan
Mr Bong mengungkapkan, petambak udang windu umumnya petambak tradisional yang mengalami kesulitan permodalan. Akibatnya mereka tidak mampu membeli benur secara tunai. Jadi benur baru dibayar setelah panen atau dikenal dengan istilah yarnen (bayar panen).
Untuk mengatasi persoalan itu, Mr Bong minta pemerintah membantu petambak-petambak kecil ini. “Pemerintah jangan hanya ngomong saja. Dulu saya sudah pernah menghadap Dirjen Bapak Slamet, tapi belum ada realisasi. Kalau kami sendiri berkomitmen untuk tetap membantu, tetapi pemerintah juga harus bantu petambak-petambak tradisional ini,” akunya.
Termasuk di Lampung, lanjutnya, yang kini petambak banyak menebar benur windu dari alam sehingga pertumbuhannya lambat dan banyak terserang penyakit WSSV. Sebetulnya tidak masalah windu polikultur dengan bandeng. Hanya bandengnya harus yang pertumbuhannya cepat. Harus ditebar bibit bandeng yang pertumbuhannya cepat.
Pihaknya siap mengembangkan benur windu yang tahan WSSV, namun pemerintah juga harus siap membantu pengadaannya untuk petambak. Bahkan Mr Bong sudah mempunyai instalasi hatchery di Lampung guna menyuplai petambak, asal pemerintah bisa jamin pembayaran benurnya. Jika selama petambak dibiarkan berjalan sendiri maka mereka akan tetap membeli PL dari hatchery yang indukannya dari alam karena mencari harga yang murah. “Kalau kita bantu petambak terus dengan berbagai diskon dan yarnen, sampai kapan?”
“Meski udang windu sepenuhnya makan dari pakan alam, lama budidaya tetap tiga bulan. Kita sudah coba pasok benur ke petambak hasilnya bagus. Pak Agus (peneliti BRIN-red) sudah petakan kawasan pengembangan udang windu di Sulsel, yakni pantai barat, selatan dan timur. Kita sudah pasok benur F-1 ke kawasan tersebut,” jelasnya
Ditambahkan Mr Bong, kini suplai udang windu ke pasar global sangat kurang. Akan datang tim dari Jerman guna melihat udang windu di Pinrang seluas 4 ribu ha. Potensi udang windu di Sulsel ratusan ribu ha, ada yang polikultur juga. “Ini momentum yang tepat untuk mengembalikan kejayaan udang windu, namun Pemprov Sulsel dan Kaltara harus bantu finansial petambak,” pintanya.
Dengan adanya bantuan finansial maka petambak yang selama ini lebih memprioritaskan bandeng sebagai komoditas utama dan windu sebagai pelengkap akan mengubah komposisinya. Mereka akan menjadikan windu sebagai komoditas utama mengingat besarnya peluang pasar windu dan bandeng pelengkap saja.
Bandeng-Windu
Seperti di “tanah rencong” Aceh, budidaya udang windu masih polikultur dengan bandeng. Seperti diungkapkan Rizal Fahmi, petambak dari Aceh Timur yang mulai melakoni budidaya udang windu sejak 2017.
Diakuinya, adapun pola budidaya yang dijalankannya berupa polikultur dengan bandeng karena untuk monokultur kurang maksimal. Dengan sistem polikultur di tambak tradisional ini perbandingan produksi antara udang dan bandengnya, jika diakumulasi pertahun 50 : 50. Tetapi jika per siklus tergantung, tapi lebih banyak jumlah bandengnya.
Sebelum penebaran, dilakukan pemupukan tambak terlebih dahulu menggunakan pupuk NPK. Sementara untuk Urea sulit untuk didapatkan. Kalau soal harga pupuk tidak masalah. Lalu perawatan tambak hanya dilakukan di awal pemeliharaan atau di tengah budidaya juga bisa ditambahkan pupuk guna menumbuhkan pakan alami.
Untuk penebaran bibit biasanya berbarengan, bergantung dengan stok benur udangnya. Benur udang windu didapatkan dari tengkulak di Aceh Timur berukuran rata-rata 2 inci. Tengkulaknya mengambil indukan windu dan bandeng dari alam. Untuk sumber air, langsung dari laut dimasukkan ke tambak. Kepadatan penebaran bibit berfluktuatif. Untuk tambak berukuran 4 hektar ditebar 10 ribu ekor benur.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 133/15 Juni - 14 Juli 2023