Pasca Pandemi, Bisnis Koi Seret

Pasca Pandemi, Bisnis Koi Seret

Foto: Istimewa


Dalam pusaran pandemi ini terjadi ambiguitas dalam dunia ikan hias, tak terlepas daripadanya ikan koi.
 
Toni Wijaya, pembudidaya ikan koi asal Blitar-Jawa Timur membandingkan update ikan koi sebelum pandemi, selama pandemi, hingga ‘pelepasan’ pandemi. “Sebelum pandemi, harga koi terbilang stabil. Pembudidaya koi masih bisa meraup keuntungan dan jumlahnya juga belum banyak. Ketika pandemi, lanjutnya, bisnis apa saja hancur, namun bisnis koi malah meningkat. Eh, sekarang, selesai pandemi bisnis koi yang hancur,” kata Toni bersuara lirih. 
 
Dari segi permintaan, jelas Toni, pada 2019 lalu permintaan naik dan harga tinggi. Datanglah Covid yang menyebabkan makin melambungnya permintaan, hingga harga pun semakin melambung. Namun, sejak 2021 lalu, mulai terasa penurunan permintaan hingga penurunan harga koi. “Jika dibandingkan dengan 2019, pada 2021 ini jauh lebih turun baik harga maupun permintaan koi di pasaran,” sebutnya. 
 
Penyebabnya, usut Toni, adalah membludaknya jumlah koi di pasaran. Ketika pandemi, bisnis budidaya ikan konsumsi hancur. Pembudidaya yang berfokus ke ikan konsumsi ketika pandemi beralih menjadi pembudidaya koi. Semua beralih ke koi. Akhirnya produknya banyak, permintaannya menurun. 
 
“Penyebab lainnya karena masyarakat setelah pandemi ini mulai fokus menata kehidupan lagi. Untuk sementara kegiatan yang tidak berkaitan dengan kebutuhan primer dikesampingkan dulu,” tambah Toni.
 
Juga, lanjut Toni dengan cepat, penggemar yang makin berkurang juga diakibatkan oleh naiknya biaya listrik dan air. Bisa dikatakan banyak penyebab permintaan koi menurun.
 
Turunnya minat akan koi tentu berimbas ke harga jual. Dulu, koi hasil budidayanya dengan kualitas bagus berukuran 40 cm, mampu dijual dengan harga mencapai Rp 1,5 juta per ekor. Sekarang dengan kualitas yang bagus juga harga jual koi hanya di kisaran Rp 500-750 ribu per ekor. 
 
Yang membuat lega, imbuh Toni, pada 2023 ini permintaan koi kembali meningkat, walaupun harga masih belum pulih sepenuhnya. “Naik permintaan 20% dibandingkan 2021 lalu. Walau harga belum kembali stabil,” ungkapnya.
 
Sapta pun merasa demikian. Ia berpendapat, setelah pandemi penjualan justru kian merosot. “Kemungkinan melemahnya iklim bisnis ikan hias terkait dengan merosotnya ekonomi masyarakat Lampung pasca pandemi Covid. Harga jual produk pertanian masyarakat murah dan hasilnya juga menurun,” ungkap.
 
Beda cerita bagi penghobi seperti Leopold Djapari. “Saya sebagai customer merasa senang. Saya beli koi harganya naik. Beda dengan sebelum pandemi. Eh setelah pandemi harga koi turun. Tentu saya senang. Tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam,” ucap Leo dengan guyonan khasnya terkekeh kecil.
 
Meski begitu koi masih bertahan di pasaran. Bagi Leo, koi adalah ikan yang sangat dicintainya sejak masa-masa sekolah menengah beberapa puluh tahun lalu. Sudah melewati waktu yang panjang, Leo tetap bertahan dengan hobinya yaitu memelihara koi. 
 
Bahkan beberapa penghobi dan penjual ikan koi di dalam negeri masih semangat untuk membeli koi hasil produksi pembudidaya Jepang. Seperti yang dilakukan oleh Leo dan Toni.
 
Leo bercerita, hingga saat ini, tercatat koi termahal yang pernah dibelinya adalah koi impor seharga kurang lebih Rp 10 jutaan satu ekornya. “Koi lokal pun saya pernah beli dengan harga yang tinggi. Kira-kira di harga Rp 5-7 juta dengan ukuran 30-40 cm per ekor,” seloroh Leo yang berdomisili di Jakarta
 
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 132/15 Mei - 14 Juni 2023
 

 
Aqua Update + Inti Akua + Cetak Update +

Artikel Lain