Bagaimana Indonesia tidak terbuai dengan status udang sebagai primadona, namun tetap bergerak agar udang bisa diserap pasar ekspor maupun domestik
Semenjak Covid-19, sektor perudangan global bisa disebut pulih dengan cepat. Shirlene Maria Anthonysamy, Director Infofish, memberikan gambaran besar terkait situasi perudangan global. Menurut data Organisasi Pangan Dunia (FAO), produksi udang dunia mencapai 9,4 juta ton pada 2022, dengan 63% produksi berasal dari budidaya dan 37% dari hasil tangkapan.
“Top eksportir udang dunia adalah India, Ekuador, Indonesia, Vietnam, China, Argentina, dan Thailand. Dalam hal impor, perdagangan juga bangkit kembali pada 2021 dan importir terkemuka teratas adalah Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, China, Jepang, Rusia, dan Republik Korea,” terangnya.
Dinamika Udang Dunia
Pertama-tama Shirlene melihat dulu pergerakan perdagangan udang di kawasan AS, yang merupakan pasar utama Indonesia, terdapat sedikit penurunan impor pada 2022 dibanding 2021. Alasannya, menurut Shirlene, bukan karena tidak ada konsumsi udang, tapi sudah ada stok yang dialihkan ke pasar lokal.
Sementara itu, Ekuador dikatakan Shirlene tumbuh menjadi pemasok teratas ke pasar dan pangsanya meningkat menjadi 60% pada 2022 dari 57% pada 2021. Ekuador, selain memasok ke pasar AS, juga memasok ke pasar Uni Eropa (UE).
“Saya ingin menggarisbawahi di sini bahwa Ekuador memiliki banyak hal positif atau keuntungan dalam hal itu. Nomor satu, karena kedekatannya dengan pasar AS. Dan dalam hal pasar UE, mereka memiliki akses bea nol ini. Jadi pemulihan perdagangan restoran dan katering di pasar UE juga memfasilitasi peningkatan permintaan, meski tidak sekuat itu,” ujar Shirlene.
Sebenarnya ada satu advantage lagi yang dari Ekuador, terang Rizky Darmawan, Ketua Petambak Muda Indonesia. Yaitu, kedekatan mereka pada target market. “Untuk mengirim udang dari Indonesia ke Amerika membutuhkan waktu sekitar 1 bulan, sedangkan Ekuador hanya dalam waktu seminggu bisa sampai ke sana. Belum lagi freight cost yang pasti lebih rendah karena kedekatan tersebut,” urai Rizky.
Beralih ke pasar Asia. Dimana ia melihat, ada kecenderungan pertumbuhan impor udang China pada 2021 dari 2020. Dengan adanya restriksi ketat yang diterapkan pemerintah China memberikan pengaruh pada dinamika permintaan pasar, seperti produk udang oleh konsumen.
Bergerak ke Jepang, Shirlene melihat ada tren penurunan konsumsi udang secara umum, walau ada kenaikan dari 2020 ke 2022. Penurunan terjadi pada produk raw frozen, sebaliknya produk prepared shrimp product impornya meningkat. “Permintaan impor udang yang tinggi dari Jepang paling banyak pada festival musim semi, yakni sekitar April hingga Mei,” ucapnya. Produk udang olahan yang masuk ke Jepang didominasi oleh Thailand, Vietnam, Indonesia, dan China.
Shirlene mengamati, bahwa pasar produk seafood, dan udang khususnya, merupakan pasar yang terus menguat dan tetap stabil. “Faktanya di Asia itu adalah tempat konsumen mau membayar lebih untuk produk seafood, khususnya untuk produk fresh (segar),” imbuhnya. Makanya tidak heran, permintaan produk seafood terus meningkat dalam 10-15 tahun terakhir.
Dan hal yang menarik, ungkap Shirlene, sempat terkendala masa Covid-19, tempat makan yang dibuka kembali membuat produk udang bahkan bisa ‘terjangkau’ untuk dinikmati. “Jika kita bicara 20 tahun lalu, udang hanya bisa dinikmati kalangan menengah ke atas. Sekarang, dengan vannamei, udang menjadi lebih terjangkau. Setiap orang bisa makan udang hampir setiap hari,” ucapnya.
Mengapa demikian? Karena sudah ada kesadaran di negara-negara Asia untuk merambah pasar domestik masing-masing. “Pasar domestik kenyataannya membayar lebih banyak untuk udang. Makanya banyak eksportir atau pengolahan menargetkan pasar domestik dibanding ekspor,” lanjut Shirlene.
Pasar domestik yang lebih menguntungkan, ujar Shirlene, turut terpengaruh dengan masa Covid-19 hingga mengakibatkan tingginya digitalisasi ke arah ecommerce. “Contoh di Malaysia, harga vannamei stabil 6-8 bulan terakhir di harga 14 USD per kilogram (kg). Hal ini memperlihatkan permintaan dan pasar lokal terhadap produk udang sangatlah kuat,” tambahnya.
Alihkan Paradigma Baru
Adanya perubahan permintaan terhadap produk udang, membuat semua pihak semakin membuka mata terhadap persaingan merebut celah pasar. Haris Muhtadi, Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) bahkan mewanti-wanti anggotanya untuk segera berpikir dan beralih orientasi pasar.
Dalam sambutannya di acara Indonesia Shrimp Retreat beberapa waktu lalu, Haris mengamini kegiatan perudangan yang integrasi dari upstream-donwstream (hulu-hilir). “Kami SCI sebagai hulu dari kegiatan udang Indonesia harus mulai berpikir tentang market oriented, bukan hanya product oriented. Karena kita tahu pertempuran di international market bukan hanya komoditas, tapi bagaimana mem-branding udang Indonesia dengan positioning yang khas. Tanpa itu kita akan digilas India, Ekuador, Vietnam, dan sebagainya,” tegas Haris.
Makanya dia memperingatkan, masa ketika berorientasi produksi harus segera dialihkan. “Harus ada shifting paradigm kita bukan hanya produk, tapi juga market oriented dengan branding reorientasi, narasi, feature terhadap udang Indonesia. Udang bukan hanya sebagai komoditas, tapi juga sebagai specialty. Itu arah yang akan kita tuju,” beber Haris.
Terkait paradigma baru juga coba diungkapkan Rizky. Dimana, menurutnya, untuk bersaing dengan produsen lain seperti Ekuador, Indonesia harus bisa menonjolkan keunggulan lain udangnya. “Lebih baik Indonesia mencari niche market sendiri sehingga kita ada spesialisasi dari produksi kita dan dengan begitu harga udang Indonesia juga bisa lebih stabil,” jelasnya.
Pentingnya branding sebegai paradigma juga ditekankan oleh Shirlene. Namun, dia beropini, sebelum melakukan branding, perhatikan dulu pasar lokal hingga ekspornya.
“Untuk di Indonesia saya bisa memisalkan upaya mendorong produk ini ke masyarakat adalah dengan menjamin bahwa industri lokalnya sudah terlindungi. Jadi, promosi yang dilakukan, kesadaran yang dibuat, hingga bagaimana masyarakat lokal bisa menikmati udang,” ujarnya.
Penekanan pasar domestik di Indonesia, ia alasankan karena berbagai aspek. Yang pertama target GDP (produk domestik bruto) yang bisa mencapai 1,39 triliun USD tahun ini. Belum lagi, lebih dari separuh populasi Indonesia berada di bawah usia 30 tahun yang bisa menjadi grup target.
Selain itu, kekuatan pasar domestik bisa menjadi peluang karena saat ini ecommerce telah memiliki peran penting terhadap pergerakan distribusi produk seafood. “Kita bicara tentang disrupsi distribusi dalam rantai suplai seafood dan bagaimana jasa pengantaran makanan telah menjadi satu pilihan,” papar Shirlene.
Sebagian besar institusi, pengecer, pasar online, lanjut Shirlene, telah muncul serta menjadi sangat populer dan menciptakan kenyamanan bagi konsumen. “Dimana produsen juga telah membuat platform online untuk memfasilitasi pergerakan produk. Dan lagi, media sosial telah memainkan peran yang sangat signifikan dalam proses ini. Konsumen yang jaraknya jauh dari produsen bisa mendapatkan produk udang segar dengan kemudahan ini,” bebernya.
Kaitannya dengan branding di pasar domestik, Shirlene mencontohkan video yang menampilkan produk salmon yang bisa didapat dari mesin menyerupai ATM. “Siapa yang bisa mengira Anda bisa mendapat salmon dari mesin ATM? Maka kenyamanan (convenience) ini yang disediakan. Bagaimana kita menciptakan kenyamanan bagi konsumen. Untuk mencapai target seperti ini, poinnya adalah adanya forum untuk mendiskusikan bagaimana peran penting logistik agar produk salmon segar bisa disediakan,” urainya.
Begitu pula dengan diversifikasi produk. Shirlene mencontohkan, di Thailand dan Vietnam, udang air tawar memiliki permintaan yang tinggi dari pasar domestik. “Yang dijual di sana tidak hanya daging udangnya, tapi kepala udang itu diolah dikeringkan jadi semacam keripik dengan berbagai rasa untuk menjadi cemilan bagi masyarakat. Dan itu diminati,” jelasnya.
Mengapa pasar domestik harus jadi pilihan yang dioptimalkan, Shirlene menekankan karena masa pandemi belum berakhir. Faktanya, biaya transportasi semakin mahal dan waktu transportasi menjadi tantangan. Makanya, segala alternatif harus dilirik selain pasar tradisional.
“Poinnya, jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang. Dan saya pikir juga industri perudangan. Banyak pengalaman menggambarkan tantangan pasar udang terkait penyakit, Covid-19, perang di Ukraina, dan banyak ketidakpastian lainnya. Dan lagipula saat ini adalah saatnya perdagangan seafood secara online dengan menciptakan kenyamanan tersebut untuk konsumen,” tegasnya.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 131/15 April - 14 Mei 2023