Teknologi sudah ada, tapi penerapan di lapangan tergantung dari karakteristik lahan. Sehingga, tiap lokasi itu perlu standar operasional prosedur (SOP) secara spesifik yang disesuaikan dengan karakteristik lahan.
Daya dukung tambak intensif memiliki pengertian yaitu kemampuan suatu lahan per satuan luas untuk bisa menghasilkan produksi yang optimal. Artinya bisa kilogram per meter persegi udang atau kilogram per hektar.
Daya dukung tambak intensif atau daya dukung untuk setiap lokasi akan berbeda tergantung dari; kualitas air, dalam arti kualitas air sumber, sarana dan prasarana. Sebagai contoh, untuk kualitas air di Pantai Utara Jawa (Pantura) cenderung sudah tinggi bahan organik di sumber air.
Karakter ini akan sangat berbeda dengan kondisi tambak lain seperti di Bengkulu, Sumbawa, Pantai Utara Sulawesi karena di sana penduduknya jarang. Sehingga, apapun buangan dari kegiatan rumah tangga maupun buangan dari industri sangat kecil.
Di Pantura, buangan dari rumah tangga hingga industri akan meningkatkan beban sumber air, terutama bahan organik. Bahan organik yang tinggi akan memancing kesuburan yang tinggi, sehingga dengan bahan organik yang tinggi itu BOD (Biochemical Oxygen Demand) akan meningkat.
Dengan BOD meningkat maka oksigen akan banyak digunakan untuk proses biologi, belum lagi COD (Chemical Oxygen Demand). Dengan banyaknya proses biologi, menyebabkan oksigen tidak cukup lagi untuk digunakan oleh udang.
Artinya, dengan kondisi seperti ini, terjadi persaingan penggunaan oksigen antara udang maupun lingkungan. Yakni dalam hal penggunaan oksigen untuk menguraikan organik dari BOD itu akan lebih tinggi. Sehingga, potensi atau kemampuan produksi untuk udang itu akan semakin lebih kecil.
Konsep Berdasar Tata Letak Tambak
Konsep berdasarkan sumber air itulah, maka akan disesuaikan dengan desain dan tata letak tambak. Seperti contoh, di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara-Jawa Tengah berlokasi di Pantura. Kondisi sumber air balai dekat dengan dua pelabuhan, yang artinya limbah atau bahan organik dari aktivitas di pelabuhan itu akan tinggi.
Maka, apa yang dilakukan teman-teman di Jepara, adalah bagaimana teknik untuk mengurangi organik dari sumber air tersebut. Yaitu dengan melakukan petak pengolahan atau petak tandon yang cukup luas, sekitar 40-50%.
Dimana, di dalam tandon itu ada konsep yaitu petak pengendapan berupa petak besar dan saluran. Terus, dari petak besar itu masuk ke petak untuk persiapan, atau pengolahan air atau sterilisasi. Tujuan sterilisasi ini adalah bagaimana mengeliminir semua patogen penyakit, termasuk bakteri seperti vibrio.
Dari petak pengolahan air itulah baru masuk ke petak pembesaran udang. Yang selanjutnya petak pembesaran itu, air dari buangan dimasukkan ke petak ipal (Instalasi Pengolahan Air Limbah) berupa saluran panjang. Dan saluran panjang itu dikumpulkan di petak besar yang menampung seluruh air buangan yang ada di tambak itu.
Sebagai indikator, di petak yang besar itu akan terjadi perbaikan kualitas air yang di situ dikasih ikan. Sebagai tanda, kalau ikan itu hidup, maka air buangan itu tidak menambah beban untuk dibuang ke saluran umum.
Menjaga Kualitas Air
Dalam hal ini maka oksigen sangat diperlukan. Apalagi untuk memperbaiki kualitas air maka daerah Pantura yang organiknya cukup tinggi, aerasinya cukup besar. Sehingga dibutuhkan aerasi dan dalam aerasi itu ada untuk mengarahkan air, yaitu digunakan kincir. Selain itu, aerasi juga untuk meningkatkan kandungan oksigen dalam bentuk kita blower atau aerator.
Prinsip di Jepara adalah menggunakan aerator dan kincir. Penggunaan aerator bisa menambah oksigen dengan konsep menyemprotkan udara ke dalam air. Sementera kincir ini memercikkan air ke udara, sehingga air bersih. Fungsi kedua kincir adalah untuk mengatur arus, aliran dalam tambak sehingga kita bisa melokalisir kotoran. Sehingga aliran dengan diarahkan ke pipa pembuangan untuk mudah dilakukan pembuangan.
Mengatur kualitas air yang baik, prinsip dari teman-teman adalah sedini mungkin kita mencoba membersihkan sisa kotoran pakan maupun udang di dalam tambak tiap hari. Itu prinsip dasar sehingga tiap hari itu melakukan sifon.
Terutama, sifon sudah dimulai dari umur dua minggu pemeliharaan karena kepadatan tebar tinggi. Sifon itu SOP-nya dilakukan di pagi hari, sekitar jam 6-7. Artinya, sebelum matahari terbit atau cukup terang, kotoran yang ada di dalam tambak harus dikeluarkan.
Ini filosofinya adalah setiap saat jangan sampai menyimpan atau menimbun kotoran di dalam tambak. Karena itu setiap hari dilakukan pembuangan air.
Cara ini juga untuk mengontrol apakah pakan yang diberikan pada satu hari itu cukup atau berlebihan. Bahkan, pada saat DOC sudah diatas 2 bulan, sifon dilakukan 2 kali; yakni pagi dan sore hari, tergantung sisa pakan yang ada. Kalau berlebihan, dan melihat secara fisik air ada perubahan yang sangat besar, maka kadang-kadang sore dilakukan cek tengah. Kalau ada kotoran, langsung dilakukan penyifonan.
Tapi prinsipnya, tiap pagi jam 6 atau 7 pagi, teman-teman sudah terjun ke tambak, cek di tengah central drain untuk lihat kondisi central drain sampai sejauh mana kotorannya. Apa ada udang yang molting dan sebagainya.
Tambak Padat Tebar Tinggi
Berbicara tentang padat tebar rata-rata tinggi, untuk tambak intensif diatas 100 sampai ada yang 350 ekor per meter persegi (m2). Namun, sebenarnya hitungan yang paling riil adalah kapasitas produksi per m2. Dengan model apapun, saat ini setiap lokasi kapasitas per m2 akan beda-beda.
Sebagai contoh, kalau di Jepara ini kapasitas produksi untuk tambak intensif itu adalah antara 2-3 kilogram (kg). Artinya, berdasarkan data perbandingan atau hubungan antara oksigen terlarut, kandungan bahan organik dan kapasitas produksi per m2 sangat erat. Untuk daerah-daerah yang cukup tinggi bahan organiknya, biasanya akan lebih rendah.
Dengan kondisi seperti itu, padat tebar bisa sampai 300 ekor per m2. Artinya, dari 300 ekor itu, dihitung setiap sudah mencapai 3 kg/m2, itu harus dikurangi. Karena pengalaman kalau sudah mencapai 3 kg/m2 tidak dikurangi, akan ada masalah.
Pengurangan kapasitas produksi itulah yang disebut dengan sistem panen parsial. Jadi, panen parsial di Jepara itu ketika sudah mencapai 3 kg/m2, oksigen akan cenderung rendah dibawah 4 ppm, kadang dibawah 3 ppm.
Panen parsial diambil kurang lebih 25-30%. Artinya, diambil sekitar 1 kg/m2. Sehingga, densitas atau kapasitas produksi menjadi 2 kg/m2.
Dengan rata-rata ADG (pertambahan berat rata harian) di 0,4-0,5 maka dalam waktu 2 minggu sudah mencapai lagi kapasitas produksi 3 kg/m2. Sehingga, dari situ diambil lagi sekitar 30%, sehingga kepadatan didapat dalam kondisi yang aman. Melalui konsep parsial ini, dihitung untuk satu ukuran tambak itu bisa mencapai produktivitas sekitar 40-50 ton per musim tanam per hektar (ha).
Namun demikian, tidak bisa dihitung hanya kolam yang diisi udang. Karena dalam satu kawasan akan dihitung semua. Jadi kalau dihitung semua, sebagai contoh di Jepara punya tambak dengan 40% tandon, kurang lebih 40-50% petak udang untuk pembesaran. Dan 10-20% itu adalah petak IPAL. Kalau dihitung rata-rata, produktivitas secara keseluruhan dalam satu kawasan itu tidak lebih dari 15-20 ton per ha per musim tanam di Pantura.
Sebenarnya, walaupun padat tebar tinggi itu khusus untuk di dalam kolam. Tapi kalau dibandingkan atau dihitung semua, dalam satu kawasan klaster tambak yang terdiri dari saluran inlet, petak pengolahan air atau petak reservoir, petak udang dan petak untuk pengolahan air buangan atau ipal, itu sebenarnya produksi di Jepara per m2 tidak tinggi amat. Masih rate 15-20 ton per ha itu sudah intensif.
Teknologi sudah ada, tapi penerapan di lapangan tergantung dari karakteristik lahan. Sehingga, tiap lokasi itu perlu standar operasional prosedur (SOP) secara spesifik yang disesuaikan dengan karakteristik lahan.
*Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara