Kamis, 15 Desember 2022

Aturan Penataan KJA Toba Perlu Direvisi

Aturan Penataan KJA Toba Perlu Direvisi

Foto: 


Pengendalian kualitas air Danau Toba bukan hanya dipengaruhi kegiatan budidaya keramba jaring apung, sumber pencemaran lainnya perlu dilakukan upaya penataan juga
 
Berbagai aktivitas pemanfaatan Danau Toba telah menimbulkan dampak terhadap degradasi kualitas ekosistem danau sehingga Danau Toba Sumatera Utara (Sumut) telah dimasukkan sebagai salah satu dari 15 danau di Indonesia yang perlu diperbaiki kualitas airnya. Literatur sejarah menunjukan, ada tahun 1929, dimana aktivitas manusia dalam pemanfaatan Danau Toba belum intensif, hasil Sunda Expedition menyatakan bahwa perairan danau masih termasuk perairan oligotrofik (miskin hara) dengan kecerahan mencapai 22 m dan nilai Total Fosfor berkisar 5 μg/l (Ruettner, 1930).
 
Dari beragam kajian kualitas airDanau Toba terdahulu, ada sejumlah sumber pencemaran yang mempengaruhi kualitas air Toba hingga saat ini. Sumber-sumber tersebut yaitu limbah domestik, limbah perhotelan, limbah budidaya Keramba Jaring Apung (KJA), peternakan darat, pelabuhan, transportasi air, kegiatan pariwisata, serta limbah dari sungai-sungai yang mengalir ke Danau Toba.
 
Aturan Penataan
Sejak ditetapkannya sebagai kawasan wisata startegis pada 2011lalu, salah satu upaya pemerintah mulai yaitu menata keberadaan usaha KJA di seputar Danau Toba Sumatera Utara (Sumatera). Menurut Binsar Situmorang, Ketua Penataan KJA Danau Toba yang juga Staf Ahli Gubernur Sumut Bidang Polhukam, saat ini pemerintah daerah tengah melakukan penataan KJA dan langkah-langkah yang telah dilakukan diantaranya penertiban sejumlah KJA di beberapa titik lokasi.
 
Lebih lanjut Binsar mengatakan, penataan ini dilakukan guna mengikuti peraturan yang tengah berlaku saat ini dengan merujuk SK Gubsu 2017 tentang Daya Dukung Daya Tampung (DDDT) Danau Toba sebesar 10 ribu ton per tahun. “Namun begitu dalam SK tersebut ter cantum setelah 5 tahun diberlakukan perlu ada kajian ulang untuk menentukan daya dukung KJA di Toba,” pada acara Focus Discussion Group (FGD) terkait DDDT Toba 5 Desember lalu di Parapat Sumut.
 
Binsar menjelaskan, pada awal tahun 2022 kajian terbaru sudah dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumut terkait DDDT yang merekomendasikan
DDDT Toba sekitar 55 ribu ton per tahun dengan status kesuburan air yakni Mesotrofik. “Hasil kajian terbaru ini dapat menjadi pertimbangan dan rujukan utama dalam melakukan peninjauan ulang atau revisi terhadap peraturan Penataan KJA dan SK Gubernur Sumut,” ungkap Binsar.
 
Binsar mengungkapkan bahwa semua sepakat bahwa Danau Toba merupakan aset yang sangat pen ting dan memiliki multi fungsi. Namun pemanfaatannya
telah menimbulkan berbagai dampak terhadap kualitas ekosistem danau. Meskipun demikian, perlu diingat, bahwa pembangunan dan kegiatan ekonomi merupakan penggerak kesejahteraan masyarakat.
 
Ia menambahkan, Danau Toba merupakan salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pem bangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 - 2025. Selain dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata, Danau Toba juga dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti pembangkit listrik tenaga air, sumber air baku air minum, transportasi, dan budidaya perikanan.
 
Kajian Terbaru
Prof Ternala Barus, Ketua Peneliti Kajian DDDT Toba, serta Guru Besar Universitas Sumatera Utara, baru saja merampungkan penelitiannya di 2022 terkait
Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba yang diinisiasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara.Ia mengungkapkan, tujuan kajian ini antara lain untuk menganalisis kualitas air Danau Toba, mengidentifikasi sumber-sumber pencemaran Danau Toba, menentukan status trofik Danau Toba, menghitung daya dukung Danau Toba untuk kegiatan KJA, serta menganalisis aspek sosial ekonomi dan budaya keberadaan keramba jaring apung terhadap masyarakat di sekitar Kawasan Danau Toba.
 
Dalam sosialisasinya pada acara FGD dihadapan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi Sumut, Pemerintah Kabupaten di Sekitar Danau Toba, Prof Ternala menyampaikan bahwa, Hasil kajian Daya Dukung Danau Toba yakni sebesar 55.083,16 ton per tahun. Daya dukung ini, jelasnya, tentu dapat dijalankan dengan mengaplikasikan tata kelola pembangunan yang berkelanjutan, yang meliputi pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
 
Dari hasil kajian tersebut, lanjut Prof Ternalan, juga menunjukkan kelas mutu air Danau Toba masuk kategori Kelas 2 (Berdasarkan PP 22/2021: Nilai Total Fosfor 23,03 μg/l). Pada kategori ini air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
 
Selain itu hasil kajian juga menunjukan status trofik Danau Toba masuk dalam kategaori Mesotrofik. Dimana kadar total Fosfor merupakanfaktor penentuan status trofik. Data Primer menunjukkan total Fosfor sebesar 23,03 μg/l (Mesotrofik). Definisi status trofik berdasarkan Permen LH nomor 28/2009.
 
Prof Ternala menilai, keadaan kualitas perairan Danau Toba yang pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia, terutama pe mukiman penduduk,
peternakan, pertanian, kegiatan perindustrian dan perdagangan termasuk hotel, restoran dan kegiatan transportasi air. 
 
“Pada dasarnya, kegiatan budidaya perikanan ini dapat dilakukan dengan syarat mengedepankan tata kelola pembangunan berkelanjutan, di mana aspek ekonomi, sosial dan lingkungan berjalan ber iringan. Salah satunya dengan mematuhi zona budidaya ikan KJA sesuai dengan Perpres nomor 81/2013,” ujar Prof Ternala.
 
Usaha KJA terus ber kembang hingga saat ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan produksi ikan nila di Danau Toba sebesar 80.941 ton
dengan rata-rata produksi 62 mribu ton per tahunnya, belum termasuk jenis ikan lainnya yang dibudidayakan. Kontribusi sektor perikanan terhadap produk domestik regional bruto 21 %. 
 
Hasil Kajian serupa juga di lakukan oleh CARE IPB. Prof Parulian dan Dr Dahri Tanjung, peneliti dari CARE LPPM IPB menyampaikan hasil kajian CARE IPB tahun 2021 yang bekerjasama dengan LPDP, menemukan bahwa kualitas air Danau Toba dalam status Mesotrofik. Adapun daya dukung daya tampungnya berkisar 33.830 – 101.435 ton/tahun dan merekomendasikan sebesar 60 ribu ton per tahun. “Dengan status kesuburan air Mesotrofik, maka kegiatan perekonomian dapat dilakukan di Danau Toba seperti kegiatan pariwisata, sumber bahan baku air minum, transportasi air, pertanian, dan perikanan dengan tetap mengedepankan keberlanjutan lingkungan,” kata Prof Parulian.
 
Prof Parulian menambahkan, keberadaan usaha KJA sudah jelas memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang terlibat dan menjadi usaha penopang perekonomian yang dapat bertahan bahkan saat masa pandemi sekalipun. Kehadiran KJA di Danau Toba mampu memberikan multiplier efects ekonomi yang cukup besar, yaitu mendekati Rp 5 triliun per tahun, yang dapat mengurangi ketimpangan sosial ekonomi antar wilayah dan antar kelompok.
 
Dari acara FGD tersebut disimpulkan para peneliti merekomendasikan revisi SK Gubsu 2017 dilakukan berdasarkan beberapa hasil penelitian terbaru. Selain
itu pengelolaan KJA di masa yang akan datang sebaiknya KJA harus ramah lingkungan (teknologi konservasi), berstandar manajemen budidaya berkelanjutan,
dan terintegrasi KJA-Pariwisata berkelanjutan, serta perlu memiliki izin. TROBOS/Adv

 
Aqua Update + Advertorial Aqua + Cetak Update +

Artikel Lain