Analogikan saja dari 10 siklus produksi, per tiap 10 siklus itu menghasilkan profit. ‘Pe er’ nya yaitu ada di proses produksi.
Mengupas tentang udang, tentunya tak ada habisnya. Mau teknis budidaya di bagian hulu, hingga pemasaran dan harga udang di bagian hilirnya. Saat ini pun contohnya, harga udang global cukup membuat petambak ketar ketir. Kenapa? Karena sejak Oktober kemarin, petambak banyak mengakui harga udang cenderung turun.
Dan jika dibandingkan, harga udang turun selaras dengan naiknya pasokan udang Ekuador ke pasar dunia, khususnya pasar Amerika Serikat. Dan bila bicara apakah harga udang dari Ekuador lebih murah, semua pihak akan mengatakan hal yang sama.
Lantas, dimana untungnya Ekuador? Harga impas relatif sama dengan Indonesia misalnya. Harga pakan udang bisa dikatakan Indonesia relatif sama dengan harga pakan di negara lain. Dengan kandungan protein sekitar 30%, harga pakan udang di Indonesia bahkan lebih murah dibanding Vietnam dengan protein yang bisa mencapai 38%.
Lalu, apakah Ekuador tetap untung, bila harga pakan relatif sama dengan Indonesia? Nyatanya tetap untung dan pasar mereka justru melonjak dan ‘menendang’ Indonesia dari peringkat kedua pemasok udang terbesar ke pasar AS (data NOAA Oktober 2022). [Lebih lengkapnya data pasokan udang Indonesia tercantum dalam rubrik Pasar Udang edisi 127.
Break Down Proses Produksi
Sehingga, menjadi ‘pe er’ tersendiri bagi Indonesia itu di proses budidayanya. Dimana parameter ke berhasilan itu harusnya dicatat dari success rate –
nya. Alias tingkat keberhasilannya. Artinya, dari ke berhasilan itu diukur dari setiap siklus dan dari setiap petak, berapa yang kategorinya sukses.
Karena, berhasil itu kan ada kategorinya. Misalnya dari 1 hektar (ha) petak tambak itu produktivitasnya 12 ton kan gak rugi. Begitu pula bila produktivitasnya 5 ton, juga gak rugi. Analoginya seperti di h a t c h e r y (pembenihan) udang saat ini rata-rata success rate sudah mendekati 100%. Dan ini berbeda dengan survival rate (SR/laju sintasan). Contoh saja dari 10 siklus hatchery, semua siklus itu panen. SR-nya dari semua siklus, ada beberapa siklus yang SR-nya turun tapi itu masih oke.
Kita bandingkan dengan Ekuador yang memiliki succes rate itu diatas 90%. Itu ada faktornya. Dan mereka faktornya adalah menerapkan kepadatan rendah. Kepadatan rendah bukan berarti sistemnya tradisional, tapi kepadatannya bisa jadi hanya 5-10 ekor per meter persegi (m2 ). Panennya? Bisa jadi sekitar 2 ton per ha. Dan seorang petambak di Ekuador bisa memiliki hingga 1000 ha petak, yang artinya petambak tersebut adalah petambak besar!
Lantas, dengan padat tebar sedikit ini me ngapa bisa jual murah? Panen banyak, Jual murah bukan berarti rugi. Hanya saja untungnya tidak sebesar petambak yang di Indonesia misalnya menerapkan padat tebar lebih dari 100 ekor per m2 dengan panen yang bisa mencapai hingga 40 ton per ha. Simpelnya Ekuador, padat tebar ‘tradisional’, harga pakan gak murah-murah amat, harga jual udang termasuk murah. ‘Pe er’ nya Dimana? Bisnis udang ini ‘pe er’ nya di produksi.
Artinya bagaimana kita memastikan ke berhasilan budidaya dengan segala parameter yang ada. Bila ingin konsepnya agar success rate tambak di Indonesia berhasil seperti di Ekuador, yang mirip bisa jadi dengan melibatkan petambak level menengah ke bawah. Karena petambak kecil dengan padat tebar sedikit itu banyak.
Mengapa sasaran petambak kecil ini bisa didorong untuk success rate-nya? Analogikan saja seperti ini. Warung kopi dengan target profit Rp 1 juta. Strateginya bisa dengan dapat 100 pelanggan dengan untung Rp 10 ribu per orang. Atau dapat 1000 pelanggan dengan untung Rp 1 ribu per orang. Jika ingin cover pasar, akan cenderung lebih kuat bila mengambil strategi 1000 pelanggan. Karena, customer-nya kelas menengah ke bawah. Buka warung kopinya di sekitar kampus, pasar. Untuk yang mengincar untung Rp 10 ribu, buka warung kopi harus di mal besar misalnya dengan target menengah ke atas.
Bila disesuaikan dengan target produksi nasional, dengan analogi warung kopi berarti jangkauan target harus petambak menengah ke bawah. Yang menengah ke atas itu biarkan, karena sudah bisa mandiri. ‘Pe er’ kedua itu efisiensi. Yakni bagaimana cara produksi dengan cost (biaya) serendah mungkin dengan hasil seoptimal mungkin. Efisiensi bukan berarti kurangi kualitas benur, pakan misalnya. Namun, dengan mempertahankan kaidah-kaidah budidaya, genetiknya ditingkatkan kualitasnya, nutrisinya harus bagus, kombinasi semua parameter itu harus bagus sehingga tercipta efisiensi di budidaya.
Dimana intinya, dalam produksi budidaya itu harus dijaga keseimbangannya. Analogikan saja dengan Moto GP. Motornya itu layaknya benur udang. Genetic improvement. Indukannya itu pabrikan motornya, benur yang fast growth, tahan penyakit dan sebagainya (dsb) itu selayaknya motor yang akselerasinya tinggi, irit dsb.
Setelah itu, siapkan lintasan yang sebagus mungkin yang di udang diibaratkan tambaknya. Biker-nya itu teknisi di tambaknya. Tim di paddock dan owner nya itu layaknya pemilik tambak dan tim teknis lain yang berkaitan dalam budidaya udang di tambak.
Kalau semua parameter ini sudah perfect (sempurna), ada faktor yang tidak bisa dikontrol di alam. Misalnya ketika balapan, yang awalnya cuaca cerah tiba-tiba hujan sehingga ban motor harus diganti. Di udang, bisa jadi faktor cuaca, penyakit, hingga harga itu menjadi tantangan tersendiri.
‘Peer’ ketiga, terkait dengan sustainability alias keberlanjutan. Bisa dikatakan agar tambak berkelanjutan, sistem tambaknya mesti ramah dan tidak eksploitasi berlebihan. Bisa jadi, Ekuador lebih sustain karena beban di tambak mereka lebih kecil. Bayangkan saja 1 ha tambak, panen 2 ton dengan FCR (rasio konversi pakan) 1,5 otomatis butuh pakan sekitar 3 ton. Bandingkan dengan 1 ha yang panennya 30 ton di sini. FCR sama, butuh 45 ton pakan.
Otomatis buangannya akan lebih pekat, dan menjadi tantangan tersendiri bagi pembuangan limbahnya. Bagi pengaturan IPAL (instalasi pengolahan air limbah) nya. Dengan segala ‘pe er’ ini, harus di-break down, dicari sistem yang pas sehingga success rate-nya tinggi. TROBOS