SOP yang adaptif terhadap perubahan iklim, dekonstruksi lingkungan, pakan dan benur.
Kilas balik perjalanan budidaya udang di Indonesia perlu dipaparkan agar “fair” me lihat masa depan udang. Praktisi budidaya udang, Agus Saiful Huda menyebut, generasi pertama berbasis alam,di mana petambak bermitra dengan alam.
Di era 90-an begitu mudah menjalankan budidaya udang dengan kolam tanah, dipelihara 3 bulan sudah bisa dipanen udang size kepala 3. Lalu generasi kedua pada era 97-98-an, terjadi monodon virus. Pakar udang dari Taiwan menawarkan penggunaan desinfektan dan antibiotik hingga akhirnnya generasi kedua monodon kolaps.
Pada generasi ketiga, di era-99 ke atas mulai menebar benur udang vanamei, di mana petambak dan alam kembali bersinergi. Namun pada 2004 muncul virus IMNV, Taura sehingga menjadi problem pada budidaya. Pada saat ini petambak sudah meninggalkan antibiotik, namun masih menggunakan desinfektan.
Terakhir, di era- 2017 mulai lah generasi keempat menyusul munculnya beragam penyakit, seperti EMS, AHPNP, EHP, IMNV, WSSV dan lain-lain. “Dari kilas balik perjalanan tersebut dapat disimpulkan bahwa budidaya udang hari ini ternyata masih mengalami kesulitan. Untuk itu perlu dicari sebab, kenapa budidaya udang kian susah. Saya melihat secara fundamental yang jadi problem adalah carrying capacity (CC) atau biomassa maksimum (udang),” jelasnya.
Prisip CC, menuurt Agus, adalah setiap organisme butuh sumber daya untuk keberlangsungan hidupnya; bisa berupa abiotik dan biotik yang dapat dibudidayakan tanpa penurunan hasil dan efek merusak lingkungan. Ini menjadi pembatas bagi CC. CC itu dapat diturunkan dan dapat dinaikkan jika petambak dapat mengelola faktor-faktor eksternal seperti degradasi lingkungan, perubahan iklim dan faktor internal berupa praktik budidaya itu sendiri.
Faktor Internal dan Eksternal
Oleh karenanya, belajar dari masa lalu hingga saat ini bisa digambarkan bahwa terdapat lima faktor yang mempengaruhi keberhasilan budidaya udang. Agus menjelaskan, kelimanya yakni; perubahan iklim, dekonstruksi lingkungan (daya dukung dan daya lenting), benur dan kualitas, pakan dan manajemen pakan serta sistem budidaya.
“Salah satu di antaranya adalah perubahan iklim yang memberikan efek dominan dalam perjalanan budidaya udang di Indonesia. Terjadi asidifikasi di laut sehingga pH menurun, biomineral menjadi problem, ukuran plankton yang membesar dan perubahan biota,” tutur praktisi senior budidaya udang ini.
Dicontohkannya, dekonstuksi lingkungan di pantura dan pantai selatan Jawa. Mulai 1985-1986, udang windu mudah di budidayakan di pantura. Kemudian masuk investor yang tidak kapabel dan ekspansi tanpa kapasitas sehingga terjadi “hit and run” sampai 1995.
“Kondisinya diperparah oleh tambak intensif menggunakan konstruksi plastik HDPE. Di manasemua limbah terakumulasi ke sungai/ perairan. Jadi yang kita alami sekarang merupakan hukuman alam ter hadap kita,” lanjutnya dalam seminar daring mengenai kualitas air baru-baru ini.
Ia menilai kualitas benur sudah baik menyusul perbaikan genetik yang sudah mengikuti tren. Selanjutnya perbaikan genetik berdasarkan hidrologi, iklim dan topografi perlu dipikirkan mengingat sumber budidaya udang adalah benur itu sendiri. Perbaikan genetik merupakan suatu keharusan untuk tetap menghidupkan budidaya ke depan.
Demikian pula dalam pakan, hingga muncul pakan fungsional. Ini me rupakan salah satu perbaikan dalam pakan. Bagaimana cara memberi pakan, pakan yang berkualitas sudah banyak kemajuan. Jadi, sambungnya, sistem budidaya itu sendiri digerakkan untuk bisa mengatasi problem yang ada dan mengacu kepada bagaimana udang hidup, tumbuh dan sehat. Sistem apa pun yang digunakan, baik itu sistem simbiotik, bioflok, hibrid dan sebagainya kuncinya pada ketentuan yang berlaku.
Paramater Kritis
Dari lima proses budidaya, titik kunci keberhasilan adalah bagaimana menjalankan SOP yang adaptif terhadap perubahan iklim, dekonstruksi lingkungan, pakan dan benur. Dari indikator parameter fisika, kimia dan biologi, terdapat nilai titik kritis yang naik (DO, alkalinitas, biodiversitas, dan lain-lain). Pada 10 tahun lalu, nilai DO 2,5-3 udang tidak masalah, sekarang titik kritis DO naik sudah naik ke 4. Demikian pula alkalinitas, dulu 80-100, sekarang minimal 140-150. Artinya CC sudah menurun.
“Bagaimana caranya mengoptimalkan CC ekosistem? Adalah dengan mengatur dan mengendalikan eutrofikasi melalui desain&konstruksi kolam; water level/ketinggian air; water exchange/pergantian air
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 127/15 Desember - 14 Januari 2023