Selasa, 15 Nopember 2022

Soenan Hadi Poernomo: Stop Boros Pangan!

Pangan adalah kebutuhan dasar manusia. Pola makan masyarakat tentu banyak berbeda, tergantung kondisi geografis, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Selaku negeri agraris di khatulistiwa yang hangat sepanjang tahun, para ibu memasak sayur, lauk dan bumbunya di dapur, hingga siap tersaji di meja makan keluarga.

 


Di negara yang memiliki empat musim—musim semi, panas, gugur dan dingin, dalam kondisi alam yang bersuhu ekstrim, telah biasa mengkonsumsi pangan siap masak atau siap saji, seperti roti dan mie. Perbedaan yang nyata antara penduduk di negara yang sedang berkembang dan negara maju, disebutkan dalam suatu kajian yakni antara negeri yang penduduknya mengolah sendiri makanannya, sedangkan di negara maju masyarakatnya langsung pesan makanan yang siap dinikmati.

 


Walaupun sesama di Nusantara, pola makan juga ternyata tidak sama. Masyarakat Maluku banyak mengkonsumsi ikan, Papua umbi-umbian, Jawa beras, dan sayur. Penduduk di pantai utara Jawa juga bisa berbeda dengan kawasan di selatan jawa. Di era milenial ini, wanita di pedesaan memang masih banyak yang berfungsi memasak di dapur, untuk melayani keluarga. Namun di perkotaan, banyak wanita yang aktif sebagai karyawati, sehingga untuk menyediaan konsumsi bagi keluarga adalah melalui pemesanan atau jasa on-line.

 



Food Loss and Waste
Dunia pangan saat ini banyak menyoroti masalah susut dan limbah pangan (Food Loss and Waste--FLW). Susut dan limbah pangan dunia diperkirakan 30 % per-tahun. Jumlah ini setara dengan 940 miliar dolar AS. Berdasarkan kawasan, wilayah yang terbesar susut dan limbah pangannya adalah Asia Tengah dan Selatan 20,79 %, diikuti Amerika Serikat dan Eropa 15,7 %. Kawasan yang sedikit susut dan limbah pangannya adalah Australia dan Selandia Baru 5,8 %.

 


Terkait pangan dan gizi ini Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk jejaring internasional guna meningkatkan gizi pada tahun 2002, dengan nama Glogal Alliance for Improved Nutrition (GAIN). Pada tahun 2014 membuka kantor di Indonesia. Karena negeri kita ini termasuk memiliki permasalahan susut dan limbah pangan tinggi—nomer dua terbesar di dunia, setelah Arab Saudi, maka program yang dilaksanakan adalah memecahkan problem FLW.

 


Pada tahun 2018 bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, pengusaha, organisasi masyarakat, dan akademisi terkait, membentuk Indonesia Postharvest Loss Alliance for Nutrition (I-PLAN), yang kemudian berubah menjadi organisasi mandiri Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia  (JP2GI). Kegiatannya antara lain melakukan kajian, edukasi, lomba inovasi, dan memperluas jejaring.

 


Menurut Global Food Security Index (GFSI), Indonesia bernilai 62,6; termasuk urutan ke-62 dari 113 negara. Dalam suatu kajian tahun 2014 diperkirakan susut dan limbah pangan di Indonesia adalah 300 kg/kapita/tahun. Bappenas juga memperoleh data 2000 - 2019, kerugian karena susut dan limbah pangan adalah senilai 213 - 551 triliun rupiah per-tahun. Hal ini berarti setara dengan 4 - 5 % Produk Domestik Bruto Nasional.

 


Apabila dilihat berdasarkan sektor pembangunan, FLW terbesar adalah sektor Tanaman Pangan 46 %, diikuti Hortikultura 35 %, lalu Perikanan 10 %, Peternakan 8 %, dan Perkebunan 1 %. Jika diklasifikasikan atas dasar kategori jenis makanan, maka yang tertinggi adalah Padi-padian 44 %, Buah-buahan 20 %, Sayuran 16 %, Ikan 9 %, dan lainnya total 11 %.

 


 Guna memecahkan permasalahan yang tidak sederhana ini, diantaranya Pemerintah tahun lalu membentuk Badan Pangan Nasional (Bapanas) melalui Peraturan Presiden Nomor 66/2021, yang diantaranya berfungsi untuk menangani kerawanan pangan dan gizi. Susut dan limbah pangan adalah termasuk pemberi dampak kerawanan pangan dan gizi. Solusi yang harus dilakukan tentu tidak sederhana, dan memerlukan kolaborasi yang baik dengan berbagai pihak terkait.

 


Susut pangan terjadi sejak produksi atau panen, saat pengolahan, penyimpanan, distribusi, penjualan eceran ataupun di pasar. Dengan demikian diperlukan edukasi mengenai penanganan atau pengolahan produk yang baik (good handling atau good manufacturing/processing practice) terhadap pelaku kegiatan atau usaha. Dalam hal tertentu juga diperlukan sarana atau prasarana yang memadai, misalnya kebersihan, ketersediaan air, listrik, bahkan pada produk tertentu, memerlukan sistem pendingin.

 


Limbah pangan banyak terjadi pada restoran, hotel, kedai makanan, bahkan juga di rumah tangga. Bahkan yang sering terjadi adalah pada saat acara pesta atau hajatan. Masalah ini banyak  disebabkan oleh perilaku masing-masing individu yang kurang menyadari. Kita patut memberikan apresiasi terhadap organisasi masyarakat yang penuh kesadaran “mengumpulkan” limbah pangan, yang diproses atau dikemas, pada akhirnya disumbangkan kepada pihak-pihak yang karena masalah ekonomi, memerlukan bantuan makanan. Misalnya saja yang dilakukan oleh Foodbank Of Indonesia (FOI).

 


 Susut dan limbah pangan saat ini masih berupa hal yang relatif baru, sehingga diperlukan semacam “gerakan” untuk mendukung kesadaran masyarakat. Alangkah baiknya bila The International Day of Awareness of Food Loss and Waste (tanggal 29 September) yang ditetapkan oleh PBB pada tahun 2019, ditetapkan juga sebagai Hari Kesadaran Susut dan Limbah Pangan Nasional oleh Presiden RI. Dengan demikian dapat dimanfaatkan sebagai momen perubahan perilaku masyarakat untuk tidak boros pangan.

 


 *Ketua Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI)
*Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta


 

 
Aqua Update + Kolom + Cetak Update +

Artikel Lain