Harga pakan terus melambung, siapa yang mau bela dan dengar suara pembudidaya?
Meningkatkan kesejahteraan pembudidaya ikan yang selalu digaungkan oleh pemerintah kini terus bertambah tantangannya. Biaya operasional teknis budidaya perikanan kian bertambah di tengah berasanya dampak pandemi terhadap hampir semua jenis usaha ataupun bisnis. Kenaikan harga pakan budidaya perikanan manjadi sorotan utama dan berpengaruh besar terhadap membengkaknya modal usaha budidaya.
Faktanya, sejak Januari – April 2022, tercatat harga pakan telah mengalami kenaikan sebanyak 5 kali yang menyebabkan semakin besarnya biaya produksi budidaya. Hal tersebut tentunya berimbas kepada pembudidaya yang semakin sulit untuk menjalankan kehidupannya. Salah satu alasannya karena naiknya harga pakan tidak diiringi dengan naiknya harga jual ikan ditingkat pembudidaya.
Di kondisi normal, pakan ikan lele contohnya dijual dikisaran harga Rp 10.200 hingga Rp 10.350 per kg. Namun setelah kenaikan harga, pakan dijual dengan harga mencapai Rp 11 ribu per kg. Jika pembudidaya menggunakan pakan khusus lele yang sudah banyak dipakai, per karungnya (30 kg) dapat dibeli dengan harga Rp 340 – 350 ribu atau per kgnya dihargai Rp 11.500.
Sementara itu, apabila pembudidaya membeli pakan dalam bentuk eceran, harga pakan akan jauh lebih mahal lagi. Ditaraf eceran, dengan tipe yang sama, pakan dijual dikisaran harga Rp 13.500 – Rp 14.000 per kg. Andaikata selama masa pemeliharaan FCR (Food Conversion Ratio) yang dihasilkan senilai 1,1, maka HPP (Harga Pokok Produksi) budidaya lele mencapai Rp 15 ribu per kg.
Sementara pembudidaya lele kemitraan di daerah Bandung Jawa Barat dan sekitarnya saat ini menjual lele yang siap panen dengan harga Rp 17 - Rp 18 ribu per kg. Sedangkan pembudidaya yang tidak memiliki kemitraan hanya mampu menjual lele dengan harga Rp 15 ribu per kg. Tentunya tiap daerah memiliki patokan harga jual lele yang berbeda-beda.
Dengan HPP yang tinggi dan harga jual serendah itu, tentunya akan semakin sedikit keuntungan yang akan didapatkan oleh para pembudidaya. Belum lagi apabila selama masa budidaya nilai sintasan yang dihasilkan rendah, tentunya akan makin sedikit keuntungan bahkan bisa merugi. Bila pembudidaya ingin mendapatkan keuntungan, nilai sintasan harus mencapai di atas 90 %.
Tidak Menguntungkan
Setiap kali mengeluh akan tingginya harga pakan pasti ada saja yang mengatakan ‘naikkan harga jual ikannya’. Realita di lapangnya adalah apabila harga lele dinaikkan maka konsumen akan berkurang. Dikarenakan umumnya konsumen akan lebih memilih jenis ikan lain yang memiliki harga yang hampir sama. Misalnya ikan nila ataupun mas.
Jika menilik beberapa tahun kebelakang, kita bisa belajar dari kondisi serupa beberapa tahun lalu. Imbas dari ketidak seimbang biaya produksi dan harga jual ikan telah terjadi terlebih dahulu di daerah Tulungagung Jawa Timur. Pada tahun 2012 - 2015, daerah Tulungagung termasuk daerah yang gencar akan budidaya ikan lele. Kendati demikian, seiring waktu dengan naiknya harga pakan yang terus menerus akhirnya hampir 60 % pembudidaya lele di daerah tersebut gulung tikar. Demi dapat menyambung hidup, pembudidaya lele di Tulungagung dimasa itu beralih menjadi pembudidaya ikan patin.
Kemudian, sekitar tahun 2018 - 2019, budidaya lele di daerah Tulungagung mulai bangkit kembali dengan masuknya APCI (Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia) ke daerah tersebut. Lambat laun kembali banyak yang membudidayakan lele disana, namun lagi-lagi diterpa dengan kenaikan harga pakan yang menyebabkan goyahnya usaha budidaya. Sehingga saat ini semuanya hanya bisa berharap dapat bertahan dan tidak ada yang gulung tikar kembali.
Solusi lainnya yang kerap kali diberikan adalah bermain di kandungan nutrisi pakan. Semakin tinggi nutrisi suatu pakan, tentu akan semakin tinggi harga pakan tersebut. Ataupun sebaliknya. Saat ini pabrik-pabrik pakan banyak memberikan pilihan harga, atau dapat dikelompokkan menjadi pakan dengan harga tinggi, menengah, dan rendah.
Pilihan dikembalikan lagi ke pembudidaya. Hampir seluruh pembudidaya dimasa sekarang ini sangat memahami dampak penggunaan pakan yang memiliki nilai nutrisi yang menengah dan rendah. Alih-alih meraup untung yang lebih besar malah merugi. Ikan yang diberi pakan dengan kandung nutrisi yang menengah dan rendah akan menghasilkan waktu pemeliharaan yang lebih lama dikarenakan nutrisi yang dibutuhkan tidak terpenuhi.
Sebagaimana yang diketahui, nutrisi pakan ideal untuk pertumbuhan ikan lele adalah yang mengandung protein berkisar diangka 31 - 33 %. Jika ikan lele dimasa pertumbuhannya diberi pakan dengan kandungan di bawah 31 % atau berkisar diangka 26 - 28 %, tentu waktu untuk menuju masa panen akan lebih lama.
Berikan Solusi Sesungguhnya
Apabila pemerintah benar-benar mau mendengarkan suara pembudidaya, sebenarnya solusi yang diharapkan oleh para pembudidaya ikan untuk mengatasi kenaikan harga pakan dari tahun ke tahun sama saja. Yang diharapkan yaitu adanya bantuan berupa mesin pembuat pakan sekelas dengan pabrik-pabrik konvensial yang nantinya diletakkan di masing-masing sentra budidaya.
Kemudian mempercayakan mesin tersebut untuk dioperasikan oleh pembudidaya yang berkompeten. Nantinya pakan yang dihasilkan akan didistribusikan ke pembudidaya-pembudidaya kecil di daerah tersebut. Dengan harapan semuanya akan terbantu dengan adanya mesin tersebut.
Konsep seperti itu sebenarnya telah ada sejak tahun 2016, namun hanya sebuah wacana yang tidak terealisasikan. Setiap kali ada pertemuan baik dengan pihak pemerintah maupun swasta, topik kenaikan harga pakan selalu dibicarakan serta diberikan solusikannya, nyatanya hanya sebatas dipertemuan itu saja, tidak ada tindak lanjutnya. Seumpama hal tersebut terealisasikan, tentu banyak pembudidaya yang kehidupannya akan jauh lebih baik.
Dikatakan demikian karena hampir 80 % biaya produksi berasal dari biaya pakan. Andai adanya bantuan mesin pakan seperti yang diharapkan, setelah dihitung, apabila pembudidaya membuat pakan mandiri, biaya yang dikeluarkan hanya sebesar Rp 9.000 – Rp 9.500 per kg. Bandingkan dengan harga saat ini, jika membeli pakan yang diproduksi oleh pabrik secara karungan maka akan dikenai harga Rp 11.500 per kg.
Antara pakan yang diproduksi secara mandiri dan pakan pabrik terdapat selisih harga sebesar Rp 2.000 per kg. Jika setiap harinya pembudidaya membutuhkan pakan sebanyak 100 kg maka pembudidaya dapat menyimpan uang sebesar Rp 200 ribu. Bayangkan seandainya masa pemeliharaan selama 3 bulan, silahkan hitung berapa total selisih harga yang dapat di-save oleh pembudidaya.
Jika ingin membangun budidaya yang maju dan sejahtera, diperlukan dukungan dari semua sisi. Dimulai dari pemerintah (Menteri berserta jajarannya), pengusaha pabrik pakan, asosiasi, wartawan, dan pembudidayanya. Semuanya harus terintegrasi. Apabila tidak, hal yang akan terjadi adalah yang kuat yang akan mampu meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Stop permainan tidak sehat dan jangan menekan pembudidaya lagi, itulah harapan pembudidaya.
Budidaya tetap harus berjalan walau harga pakan selalu naik, namun tetap harus memperhatikan total biaya produksi dan total pendapatan. Usaha dapat terus berjalan apabila ada keuntungan yang didapatkan. Hingga sekarang ini, demi mendapatkan keuntungan berbagai upaya dilakukan. Seperti yang sudah-sudah, untuk mengefisiensikan pakan, pembudidaya menerapkan manajemen pakan, manajemen kualitas air, serta didukung dengan penerapan teknologi budidaya seperti probiotik.
Ketua Bidang Lele
Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI)