Dalam pandemi Covid-19 sejak awal 2020 lalu, tercatat ekspor perikanan dari Indonesia relatif meningkat. Terkhusus untuk ikan nila atau tilapia, peluang pasarnya terbilang terbuka. Apalagi ada kondisi pasar global yang seharusnya bisa diambil celah peluang oleh Indonesia.
Pasar utama tilapia dunia diketahui adalah Amerika Serikat (AS) dengan market share pada 2019 lalu diatas 50 %. Dan pemasok nila ke pasar AS ini diantaranya adalah China selain Indonesia dimana China meraih share pasar lebih dari 50 %. Jauh dibanding Indonesia yang masih dibawah 10 % untuk pasokan nila ke pasar AS sesuai data pada 2019 lalu.
Kondisi pasar global yang dimaksud antara lain perang dagang yang tempo hari sudah digaungkan oleh China dan AS yang harusnya bisa lebih dilirik oleh Indonesia. Terlebih China yang sebelum perang dagang ini tampak susut share pasarnya yang sempat mencapai 70 % beberapa tahun lalu.
Indonesia sebagai satu negara penghasil nila ekspor harusnya bisa merebut pasar ini. Namun, apa daya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan untuk meraih prestasi ini.
Dukungan Pemerintah untuk Pasar Ekspor
Untuk pasar ekspor saja, produksi nila diarahkan dalam ukuran yang relatif besar, diatas 500 gram (gr)/ekor hingga satu ekor/kg. Ukuran yang besar ini diarahkan untuk ekspor dalam bentuk segar atau fillet (daging tanpa tulang).
Karakteristik ikan untuk pasar ekspor ini berbeda dengan ikan yang dijual di pasar lokal. Dimana untuk pasar lokal, biasanya adalah satu kg isi enam ekor dan lebih cenderung dijual dalam kondisi hidup atau segar.
Dengan segmentasi yang berbeda antara pasar lokal dan ekspor, harus lebih dioptimalkan masing-masing segmen ini. Dari sisi stakeholders (pemangku kepentingan) saja misalnya. Harus ada sinkronisasi lebih antara pembudidaya, eksportir, dan pemerintah.
Saat ini pasar ekspor lebih banyak dilakukan oleh pelaku usaha industri atau yang sudah mapan. Jika ingin mengoptimalkan pembudidaya skala kecil sekalipun untuk merengkuh pasar ekspor, pemerintah haruslah bergerak.
Untuk pasar ekspor ini, pemerintah, bisa membantu semua pelaku usaha dengan mencari celah pasar internasional. Yaitu, melalui kamar dagang di setiap kedutaan besar di tiap negara.
Mengapa demikian? Saat ini saja pengimpor nila bisa mencapai 154 negara. Sementara Indonesia baru bisa memasok hingga 16 negara alias 10 % saja.
Sedangkan pelaku usaha harus inisiasi sendiri mencari peluang pasar ini. Baru-baru ini bahkan sudah pernah ada pelaku usaha yang ekspor nila langsung dari Sulawesi Utara ke Jepang.
Menjadi peluang, karena selama ini Jepang identiknya justru dengan ikan tuna. Ternyata bisa juga masuk produk ikan lainnya, yakni nila. Oleh karena itu, peran pemerintah diperlukan bagaimana untuk optimalkan peran kamar dagang yang ada di tiap kedutaan itu.
Ini peluang pasar yang bisa didorong pemerintah supaya lebih ekspansif dalam pasar. Maka, Indonesia tidak lagi tergantung pada pasar tradisional, karena masih banyak pasar yang bisa ditembus.
Di sisi lain, pemerintah harus mendukung melalui kebijakan yang mendorong penetrasi pasar. Saat ini, produksi nila banyak dihasilkan dari keramba jaring apung (KJA), namun kebijakan pemerintah adalah solusi zero KJA.
Sementara, ikan produk KJA tidak bau tanah, maka produk KJA lebih masuk pasaran internasional. Apalagi pasar internasional sangat alergi dengan bau tanah dan merupakan isu sensitif.
Untuk itu alternatif lain bisa dikembangkan melalui budidaya nila bioflok. Karena walau sangat tergantung listrik, tapi kualitas ikan bioflok jauh lebih bagus dan bisa menjadi andalan produk ekspor.
Tapi, permodalan untuk bioflok tidaklah kecil. Yang artinya, jika sasaran pengekspor pelaku usaha kecil hingga menengah, maka haruslah dibentuk kelompok. Dimana diharapkan dari kolaborasi dalam bentuk kelompok ini bisa menunjang untuk ke arah ekspor.
Begitu pula dari dukungan pakan untuk pembudidaya. Kedepan perlu diantisipasi juga adalah pakan. Saat ini yang bisa dijadikan acuan adalah pakan udang yang sudah diperhatikan apakah pakan tersebut ramah lingkungan, hingga aspek sustainability and traceability (keberlanjutan dan ketertelusuran) yang terjamin.
Kedepannya, di komoditas nila juga harus perhatikan itu. Sumber bahan baku pakan yang dipakai untuk nila itu harus diperhatikan. Baru komoditas udang yang memperhatikan hal-hal ini, bahkan dari beberapa produsen pakan udang sudah menyajikan dari kapal apa menangkap ikan rucah untuk bahan baku pakannya.
Prospek Pasar Domestik
Di sisi lain, yakni di pasar domestik, segmentasi yang berbeda ini mestinya juga bisa didorong secara optimal. Berbeda dengan pasar ekspor, pembudidaya kecil lebih menyasar pasar lokal karena tidak tahan harus menunggu 5-6 bulan panen untuk ukuran ekspor. Karena pembudidaya kecil perlu perputaran uang lebih cepat.
Hal ini perlu dicatat dan itulah sebabnya, segmentasi pembudidaya khusus pasar lokal tidak bisa disatukan dengan pembudidaya ekspor. Harus ada pemindahan khusus bila pembudidaya tersebut untuk menjangkau pasar ekspor.
Karena, semakin panjang masa panen, otomatis biaya produksi akan meningkat. Di sini, diperlukan dukungan modal yang misalnya dibentuk dalam kelompok atau perkumpulan organisasi pembudidaya akan sangat mumpuni untuk ke pasar ekspor.
Dan jika ditilik dari segi teknis budidaya, pembudidaya nila nasional sudah sangat mapan dan mahir. Yang perlu didorong adalah tingkat penyerapan di tiap segmennya, ekspor dan nasional.
Pasar domestik saat ini pun mulai banyak meningkat seiring dengan pergerakan pasar online (daring). Yang mana sekarang produk ikan beku yang sudah dibumbui laku di masyarakat. Itu peluang pasar sangat besar dan bisa jadi penyebat di triwulan ketiga 2021 nilai tukar pembudidaya tidak anjlok seperti pertama kali pandemi di triwulan dua 2020.
Yang perlu diperhatikan di pasar domestik ini bahwa awal pandemi banyak sekali ikan tidak terserap sehingga harga anjlok di pembudidaya. Kedepan, pemerintah harus mulai memikirkan bagaimana ketika kasus seperti pandemi ini tidak terulang. Termasuk, ketika panen raya, harga ikan tidak anjlok.
Dalam hal ini peran pemerintah bagaimana bisa menyediakan infrastruktur cold storage (CS/penyimpanan beku) untuk pasar. Selama ini pemerintah menyediakan CS di wilayah produksi, misal di pelabuhan dan sebagainya. Tapi, pemerintah belum menyentuh kepada CS untuk distribusi pasar.
Bagaimana misalnya ikan-ikan itu bisa bertahan mutu tetap terjaga sampai pasar. Itu perlu rantai dingin yang sampai ke pasar. Contek saja dari es krim, dimana rantai dingin sampai ke desa-desa.
Bila dibandingkan dengan ikan seperti nila salin, yaitu bagaimana caranya agar nila salin yang diproduksi di Pati-Jawa Tengah bisa didistribusi sampai pegunungan di Tasikmalaya-Jawa Barat dalam bentuk segar. Karena kebanyakan di pegunungan, masyarakat menikmati ikan itu yang sudah diasinkan, bukan ikan segar.
Infrastruktur untuk pasar dalam negeri pun perlu didorong pemerintah untuk menekan biaya distribusi. Dimana infrastruktur dari mulai produsen sampai konsumen rantai dinginnya harus betul-betul disiapkan. Karena, selama ini pemerintah sendiri khususnya KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) belum melihat bagaimana rantai dingin di dalam negeri. Semua sekarang bicaranya untuk ekspor, sementara untuk infrastruktur dalam negeri relatif tidak terpraktikkan dengan baik.
Pengamat Perikanan dan Dosen
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah Jakarta