Nonot Tri Waluyo : Berbagai Cara Menekan FCR

Nonot Tri Waluyo : Berbagai Cara Menekan FCR

Foto: trobos
Nonot Tri Waluyo

Efisiensi pakan bisa terwujud apabila memperhatikan beberapa indikator, seperti pengecekan anco secara rutin dan dijalankan oleh teknisi tambak yang disiplin

 


Pakan udang yang baik harus disesuaikan dengan jenis udang yang dipelihara, seperti untuk udang windu yang memerlukan kandungan protein lebih tinggi. Kesalahan pada umumnya, pemberian pakan berprotein tinggi diterapkan pula pada udang vannamei.


Sebenarnya, dengan kandungan protein 28-30% saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan vannamei. Pemberian pakan vannamei dengan protein tinggi dapat berakibat pada menurunnya kualitas air budidaya karena pakan bisa-bisa tidak dimakan oleh udang.


Pemberian pakan protein tinggi yang tidak dimakan, akan menjadi amoniak dalam tambak, sehingga memicu timbulnya serangan penyakit. Pemberian pakan sesuai dengan kebutuhan sangatlah perlu diperhatikan, baik dari segi waktu dan jumlah, serta metode pemberian pakan.


Dalam suatu penelitian, pemberian pakan udang hanya akan dikonsumsi sekitar 80 – 85 % nya. Yang terdiri dari 45 % digunakan untuk metabolisme tubuh dan adaptasi lingkungan. Sekitar 17 % yang menjadi daging, dan 18 % dibuang berupa feces. Hal ini perlu diperhatikan bahwa bagaimana cara meningkatkan penyerapan nutrisi dalam pakan sehingga persentase yang menjadi daging meningkat.

 


Rasio Konversi Pakan
Dalam budidaya udang khususnya vannamei, Rasio Konversi Pakan (FCR) merupakan salah satu kunci dari keberhasilan budidaya udang. Jika dapat menekan FCR, maka biaya operasionalnya akan lebih ringan dan petambak mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi.


Untuk mendapatkan nilai FCR rendah perlu diperhatikan beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah kesesuaian kandungan nutrisi pakan dengan kebutuhan udang. Jika kondisi ini saja tidak dapat terpenuhi maka bisa berakibat pada naiknya nilai FCR.


Contohnya, jika pemberian pakan udang melebihi kebutuhan protein udang, maka akan banyak terjadi kemungkinan. Dimana salah satunya, pakan tidak dimakan sehingga bisa menyebabkan lingkungan budidaya rusak dan berdampak pada timbulnya penyakit. Kemudian, jika kandungan nutrisi pakan tidak sesuai, bisa berdampak pada kurangnya asupan nutrisi udang sehingga pertumbuhan pun terhambat.


Faktor lainnya adalah metode pemberian pakan, yang juga sangat mempengaruhi nilai FCR. Jika pemberian pakan udang selalu dikontrol melalui anco, prediksi pemberian pakan udang dapat dilakukan sehingga mendapatkan FCR yang rendah.


Sebaliknya, jika tidak dilakukan kontrol pada anco, maka bisa berakibat over feeding. Penggunaan mesin autofeeder juga bisa menekan nilai FCR. Karena, dengan mesin ini pemberian pakan bisa dijadwalkan, baik secara bobotnya dan waktu sebarannya.


Seharusnya, dengan penggunaan autofeeder akan terwujud efisiensi pakan. Namun, patut diperhatikan bawah di satu sisi, pembuatan mesin autofeeder ini belum dilakukan dengan skala pabrik. Dan, belum ada Standar Nasional Indonesia (SNI) khusus yang mengatur spesifikasi alat ini.


Faktor selanjutnya, yang mempengaruhi nilai FCR adalah teknisi tambak. Dimana seorang teknisi tambak berperan mengatur dan me-monitoring proses input atau pemberian pakan. Teknisi yang baik akan selalu mengecek anco dalam kurun waktu tertentu, dan dapat memprediksikan kapan pakan udang itu bisa ditambah ataupun dikurangi.


Teknisi yang kompeten sangatlah diperlukan dalam menjalankan siklus tambak udang. Untuk mencapai nilai FCR rendah, seyogyanya seorang teknisi paham akan kondisi lingkungan tambak, kondisi udang, serta kondisi air tambak sehingga penentuan pemberian pakan dapat dilakukan dengan tepat.


Angka FCR juga bisa menjadi salah satu indikator bahwa penerapan manajemen pakan yang dilakukan oleh teknisi sudah benar apa belum. Jika nilai FCR-nya tinggi dan tidak sebanding dengan angka produksi, maka bisa jadi ada kesalahan dalam pemberian pakan. Sedangkan, jika FCR nya ideal mencapai angka 1,2 -1,4 berarti penerapan manajemen pakan berjalan dengan baik.

 


Feed Additive
Disisi lain, peningkatan penyerapan nutrisi pakan akan menekan FCR yang berdampak pada efisiensi alias berkurangnya biaya produksi. Salah satunya, yang banyak dilakukan petambak adalah melalui penggunaan feed additive pada pakan udang. Terlebih lagi, melihat kondisi udang terkini dengan banyaknya serangan penyakit, beberapa petambak menerapkan pemberian feed additive sebagai salah satu Standar Operasional Prosedur (SOP) pada metode budidayanya.


Idealnya, dengan memperhatikan kebutuhan udang, kondisi budidaya, serta biaya yang dibutuhkan, petambak bisa memutuskan imbuhan pakan apa yang akan diberikan. Contohnya, bagi petambak, tentunya penambahan bahan-bahan tertentu seperti vitamin c dan bahan lainnya dirasa perlu jika melihat kondisi lingkungan tambak kurang baik. Hal ini bertujuan untuk memperkuat daya tahan udang.


Pemberian multivitamin seperti omegaprotein juga bisa dilakukan, yang bertujuan untuk  meningkatkan nafsu makan udang. Yakni bagaimana caranya menarik udang untuk datang dan makan. Metode-metode seperti ini terlebih lagi ini perlu dilakukan ketika musim dingin yang mulai datang yang rentan perubahan lingkungan.


Selain penerapan imbuhan pakan secara manual oleh petambak, sebenarnya pakan udang pabrikan itu sudah diimbuhkan feed additive. Namun kondisinya di lapangan, para petambak masih memberikan lagi bahan-bahan tambahan karena kurang yakin dengan pakan yang diberikan.


Hasil yang diperoleh dari penggunaan feed additive sangat dirasakan oleh para petambak. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya laju sintasan hidup atau yang umum  dikenal dengan Survival Rate (SR). Kemudian juga terlihat dari hasil produksi udang yang meningkat dari sebelumnya. Penyerapan pakan yang maksimal dan penambahan vitamin akan berdampak pada penyerapan nutrisi pakan.



Tambak Skala Rakyat
Berhasilnya manajemen efisiensi pakan dan teknis budidaya lainnya juga tidak lain akan berdampak signifikan, yakni berhasilnya budidaya udang dan berlangsung secara berkelanjutan. Dengan berhasilnya budidaya udang, maka produksi dapat meningkat, yang secara signifikan pula dapat berperan besar untuk mencapai produksi udang nomor satu di dunia.


Efisiensi yang diterapkan tidaklah melulu diterapkan pada tambak skala besar, karena efisiensi dan produksi yang besar juga bisa dicapai dengan mengembangkan konsep tambak mini skala rakyat. Karena, secara realistis, jika memproduksi tambak dengan luas, tidak semua orang akan sanggup.


Maka dengan diusungnya konsep tambak rakyat, tambak yang dijalankan disesuaikan dengan kemampuan dari para petambak. Tak hanya sampai disitu, perlunya dilakukan pembinaan mengenai teknik budidaya agar dapat terwujud produksi udang yang berkesinambungan atau sustainable.


Sekitar tiga tahun lalu di Lampung, sudah dimulai 2 sampai 3 petak tambak rakyat. Kini, jumlahnya hampir mencapai 2000 petakan tambak skala rakyat. Konsep Rumah Tangga Vannamei (RTV) atau Rumah Produksi Vannamei (RPV) ini disambut baik oleh penduduk lokal.


Dengan harapan, produksi udang dapat dilakukan dengan skala lebih kecil dan berdampak pada peningkatan ekonomi serta kesejahteraan, baik untuk petambak maupun untuk lingkungan. Konsep tambak skala rakyat ini gencar diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia. Saat ini total petakan tambak rakyat mencapai kurang lebih 10.000 petakan tambak, dan terus dikembangkan hingga Indonesia menjadi produsen nomor satu di dunia.TROBOS

 

 

*General Manager Technical Partner
PT Centra Proteina Prima

 
Aqua Update + Anjungan + Cetak Update +

Artikel Lain