Laboratorium ini bertujuan untuk membantu mengamati dinamika kolam, baik fisik, biologis, kimiawi yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata
Produksi udang nasional tidak lepas dari bayang-bayang serangan penyakit. Terutama White Feces Disease (WFD) atau berak putih yang saat ini masih banyak melanda tambak-tambak di berbagai wilayah di Indonesia. Beragam upaya telah dilakukan oleh petambak, baik upaya yang sifatnya menanggulangi atau pun mengantisipasi.
Mana yang lebih tepat? Setiap petambak memiliki pilihan dan alasannya masing-masing. Tetapi bagi petambak asal Surabaya, Ge Recta Geson, antisipasi jauh lebih penting dari pada menanggulangi. Alasan Recta adalah, budidaya udang merupakan kegiatan yang dapat diprediksi dengan cara memerhatikan dinamika yang sedang terjadi di lapangan.
“Budidaya udang adalah bisnis yang paling ilmiah,” terang Recta dalam suatu kesempatan. Menurutnya, kondisi tambak merupakan dinamika yang terukur. Setiap perlakuannya pun dilakuan secara terukur. Sehingga harusnya setiap kejadian di tambak bisa diprediksi melalui pengamatan tersebut.
Menurut Recta, berbagai aktivitas di tambak dapat dikatakan sebagai riset yang paling nyata. Melalui perlakuan dan pengamatan yang berulang-ulang, petambak dapat mengambil banyak kesimpulan dari dinamika tambak yang saling berkaitan antara satu parameter dengan parameter lainnya. “Paling bagus mengaitkan parameter satu dengan yang lain dalam rentang waktu tertentu. Itu kita bisa mempelajari banyak sekali,” jelasnya.
Dinamika di dalam tambak tersebut tentunya tidak bisa hanya mengandalkan jam terbang teknisi tambak. Bantuan perangkat ilmiah seperti laboratorium menjadi keniscayaan jika ingin mengontrol tambak dengan baik. Karenanya, setiap tambak yang dimiliki oleh Recta selalu dilengkapi dengan fasilitas laboratorium (lab).
Laboratorium merupakan salah satu pendukung kesuksesan berbudidaya udang. Laboratorium ini bertujuan untuk membantu mengamati dinamika kolam, baik fisik, biologis, kimiawi yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata.
Menurut Hardjono, tenaga ahli tambak di Andulang -Sumenep, pengadaan laboratorium belum menjadi kesadaran semua petambak. “Tambak di Indonesia itu mungkin gak ada 10 persen menggunakan lab,” terang pria eks teknisi Dipasena ini.
Sebagai teknisi yang sudah menelan banyak asam garam, Hardjono mengakui bahwa teknisi tetap memerlukan laboratorium sebagai penunjang manajemen tambak. Ia mewanti-wanti agar teknisi tidak hanya menggunakan feeling atau intuisi saja dalam mengambil keputusan perlakuan di tambak. “Feeling itu nomor sekian,” bantahnya.
Pengamatan terhadap udang dan lingkungannya bahkan dilakukan Hardjono sejak benur masih di hatchery (pembenihan). Untuk memastikan benur yang akan digunakan di tambaknya berkualitas, Hardjono mengirim tim laboratoriumnya ke hatchery. “PL (post larvae) enam ini udah kita cek, jadi kita kirim orang ke hatchery,” ujarnya.
Parameter Pengamatan
Hardjono mengungkapkan sejumlah parameter yang sebaiknya diamati dari mulai benur. Ada pun parameter yang diamatinya adalah pengamatan PCR, Vibrio, bolitas, MGR (Muscle to Gut Ratio), nekrosis, dan lain-lain. Dari beberapa parameter tersebut, PCR dan vibrio merupakan parameter mutlak yang harus lulus pengujian. Sementaara sisanya masih ada toleransi. “kalau PCR dan vibrio gak lolos, gak diteruskan saja,” ucap Hardjono.
Ia menambahkan, vibrio acapkali tidak terdeteksi di hatchery, sehingga benur yang terlihat sehat bisa saja sebenarnya telah dijangkiti vibrio. Sementara untuk bolitas, MGR, dan nekrosis, Hardjono memberikan toleransi selama pengamatan hasil PCR dan pengamatan vibrionya dianggap lulus. Bolitas merupakan kelainan organ tubuh pada udang, seperti pada hepato pankreas dan usus. MGR merupakan perbandingan antara organ usus dan daging udang. Sementara nekrosis merupakan kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh bakteri.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Aqua Edisi-65/15 Oktober – 14 November 2017