Budidaya Udang Supra Intensif

Terus bertambahnya permintaan udang di pasaran dari tahun ke tahun telah membuat inovasi dan kreasi dalam meningkatkan produksi udang nasional juga kianbervariasi. Satu diantaranya pemikiran yang dikembangkan Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) wilayah Indonesia timur, Hasanuddin Atjo. Dengan budidaya udang vannamei yang dinamakan budidaya supra intensif, iatelah berhasil memproduksi 15,3 ton per 1.000 m2 per siklus di Barru – SulawesiSelatan tanpa risiko berarti.

 

Pria yang akrab disapa Atjo ini memulai pengembangan budidaya udang supra intensif sejak April 2011. Budidaya ini terfokus pada budidaya yang mengutamakan 3 prinsip. Yakni akurasi menetapkan daya dukung lingkungan budidaya seperti pond engineering, infrastruktur, sertamanajemen lingkungan internal dan eksternal. Daya dukung yang diperhitungkan Atjo untuk tambak budidayanya adalah 9 ton per 1.000 m2.

 

Lebih rinciAtjo menggambarkan, kebutuhan modal investasi awal kurang lebih Rp 400 jutadan modal operasionalsekitar Rp 350 juta  untuk satu petak tambak per siklus produksi. Untuk teknis dari infrastruktur dan teknologi yaitu mengendalikan limbah organik. Yakni setiap enam jam dilakukan pembuangan limbah secara mekanik sehingga kotoran udang tidak berada dalam jangka waktu lama di dalam tambak. Manfaatnya,mampu mengurangi konsentrasi amonia (NH3) dan belerang (H2S). Dalam mendukung ini maka digunakan central drain (pembuangan di tengah dan berada di dasar tambak).

 

Atjo mengungkapkan, biasanya petambak menitikberatkan tugas penguraian bahan organik pada probiotik. Padahalmenurutnya tidak semua bahan bisa teruraikan sehingga teknis mekanik juga sangat penting.

 

Di samping itu, Atjo juga menerapkan kemampuan untuk menjaga ketersediaan oksigen melalui kincir, turbo jet,serta blower. Ini berguna untuk menyemprotudang yang kepanasan dan untuk mengendalikan suhu air agar tidak terjadi perbedaan besar antara suhu siang dan malam hari.

 

Tak hanya itu, Atjo juga menerapkan standardisasi terhadap semua input produksi. “Tidak kalah penting adalah menggunakan benih bermutudan pemberian pakan yang teratur dengan auto feeder yang terprogram frekuensi dan jumlah pakan yang diberikan,” jelasnya.

 

Lalu dengan manipulasi stok. Yakni penebaran awal tinggi dan bila populasi mendekati daya dukung, harus dikurangi melalui panen parsial atau penjarangan sebanyak 25–30%. Penerapannya dengan melandaskan ukuran yang diinginkan pasar. Misalkan, panen pertama untuk pasar dalam negeri dengan ukuran  100 ekor per kg (size 100). “Harganya pun tidak main-main. Bisa laku Rp 38 – Rp 40 ribu per kg,” ujar Atjo.

 

Kemudiansetelah panen parsial kedua, ukuran panen bisa masuk pasar ekspor. Yakni 70–75   ekor per kg (size 70 – 75) . Selanjutnya panen parsial ketiga sudah ukuran 55–60ekor per kg (size 55–60). Dan yangterakhir antara 40–45ekor per kg (size 40–45).

 

Tekan FCR
Dengan budidaya udang dalam satu petak tambak persegi seluas 1.000 m2, kedalaman air berkisar 2,3 – 2,7 m;pematang serta dasar tambak dilapisi beton, Atjo telah menerapkan 4 siklus sampai Oktober 2012. Awalnya ia menebar benih sebanyak 312,5 ekor per m2 dan menghasilkan  produksi awal sebanyak 4,07 ton. Lalu pada siklus keempat, tebaran benih  mencapai 720 ekor per m2 dan panen 15,3 ton.

 

Nilai konversi pakan (FCR) pun tidak main-main. Dari semula FCR yang diterapkan mencapai 1,57, lalu pada siklus keempat FCR nya menjadi 1,18 (lihattabel).

 

Selengkapnya baca di majalah TROBOS Aqua Edisi 15 Juli - 14 Agustus 2013

 
Aqua Update + Primadona + Cetak Update +

Artikel Lain