Lika liku pembenihan bandeng di Bali dengan segala tantangannya
Gerokgak-Bali menjadi salah satu sentra produksi benih bandeng (nener) nasional. Namun, menurut Komang Prayit, salah satu pengelola pembenihan bandeng CV Dewata Laut, kondisi di area Pantai Gerokgak saat ini anginnya cukup kencang, kalau siang panas dan udara di malam hari sangat dingin. “Perubahan iklim ekstrim ini sangat berpengaruh terhadap produksi telur bandeng dan nener,” katanya.
Kemarau yang berkepanjangan berdampak terhadap menurunnya produksi telur bandeng. Produksi telur bandeng turun drastis dari sebelumnya mencapai 100 kantong, saat ini hanya sekitar 10 kantong per hari. Selain itu, sejumlah hatchery skala rumah tangga (HSRT) di Gerokgak juga mengalami kelangkaan tenaga teknis yang mengelola usaha perbenihan bandeng.
Ibarat pepatah, sejumlah HSRT di Gerokgak ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula’. Mereka, sangat sulit untuk memproduksi nener dengan skala besar. “ Karena tenaga teknis sudah mulai berkurang (langka, red),” ujarnya.
Disamping produksi telur dan nener menurun, sejumlah pembenih bandeng juga dihadapkan dengan kondisi permintaan pasar dalam negeri yang masih sepi. Hal yang tak jauh berbeda juga terjadi untuk pasar mancanegara.
Artinya, permintaan nener dari Malaysia dan Filipina saat ini masih sepi, bahkan bisa dibilang belum ada. “Permintaan di dalam negeri memang masih ada, tapi tidak banyak dan bayarnya agak susah,” ujarnya.
Nener yang diproduksi para pembudidaya bandeng di Gerokgak biasanya dijual ke kawasan Pantai Utara (Pantura) Jawa, Makassar, Jene Ponto, Kalimantan (Pontianak) dan sejumlah daerah lainnya. Sedangkan pasar manca negara yang paling dominan adalah Filipina dan Malaysia.
Permintaan nener ke Filipina, lanjut Komang Prayit , pernah menyentuh di angka 2 juta ekor per bulan. Harga nener yang diekspor memang lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar lokal. Untuk pasar ekspor rata-rata harganya Rp50 per ekor. “Harga lebih tinggi, karena kami dibebani biaya operasional dan biaya lainnya,” ujarnya.
Komang Prayit menuturkan, produksi nener di Gerokgak di saat normal antara 2 juta- 3 juta ekor per hari. Memang beberapa tahun silam pernah menyentuh di angka 5 juta ekor per hari. Dikarenakan adanya perubahan iklim ekstrem dan dampak el nino, maka produksi nener saat ini berkurang hingga 30 persen, atau sekitar 600 ribu ekor per hari.
“ Posisi kami saat ini hanya bertahan hingga akhir tahun nanti. Kami harapkan, menjelang akhir tahun, sudah mulai hujan, dan produksi kita bisa normal kembali,” kata Komang.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Perhimpunan Pembudidaya Perikanan Pantai Buleleng (P4B), I Nyoman Suitra. Menurutnya, usaha pembenihan bandeng di Gerokgak sangat dipengaruhi oleh alam, seperti cuaca dan iklim.
Bali menjadi salah satu lokasi pembenihan bandeng yang sudah dikenal pembudidaya di tanah air maupun manca negara. Namun, produksi telur dan nener sangat tergantung permintaan pasar. “Kalau pasar dalam negeri harganya lebih murah dibanding dengan harga yang dijual ke luar negeri. Tapi, kondisi saat ini komoditas bandeng yang ada di dalam negeri (lokal) seperti di Pantura Jawa masih banyak. Sehingga mereka belum melakukan pembesaran lagi,” kata Nyoman Suitra.
Nyoman memperkirakan, pada Oktober-Desember 2024 produksi telur dan nener di Gerokgak akan naik lagi. “Kalau saat ini cuacanya sedang kurang baik. Sehingga produksi nener dan telur bandeng menurun. Karena produksi turun, maka harga nener di pasar naik,” paparnya.
Kendati harga tinggi, lanjut Nyoman, saat ini bisa dibilang belum banyak pembudidaya lokal yang membeli nener. Begitu juga permintaan pasar manca negera juga sepi.
“Di Pantura Jawa sedang musim kemarau. Nanti kalau musim penghujan, diperkirakan permintaan akan banyak,” kata Nyoman Suitra.
Tulisan ini sudah dituliskan kembali di majalah TROBOS Aqua edisi 149/14 Oktober – 15 Desember 2025. pada rubrik gebombang



